Salah satu lukisan Semsar Siahaan.

Koran Sulindo – Mengusung tajuk Semsar Siahaan: Art, Liberation, Gadjah Gallery di Singapura menghelat pameran tunggal karya pengabadi humanisme rasa realisme, Semsar Siahaan. Setidaknya ada 28 lukisan karya Semsar dari periode 1984 hingga 2004 yang akan dipamerkan. Di antara karya itu termasuk beberapa karya yang sering disebutkan namun jarang ditunjukkan, seperti “Olympia: Identity with Mother and Child” dan “G-8 Pizza” yang luar biasa—karya monumental terakhir yang terlahir di akhir oeuvre-nya.

Jasdeep Sandhu, penggagas pameran sekaligus pemilik Gadjah Gallery, butuh persiapan hingga tiga tahun untuk mempersiapkan pameran tunggal Semsar tersebut. Dia mengatakan, sulitnya mengumpulkan karya-karya kunci Semsar yang bisa memberi roh menjadi tantangan utama menghelat pameran itu.

“Ini bukan lagi tentang kami menjadi galeri, tapi tentang warisan yang sangat penting. Semsar mungkin adalah artis Indonesia yang paling penting dari akhir 1970-an, 1980-an, dan awal 1990-an,” tutur Jasdeep, seperti dikutip pluralartmag.com.

Di mata Jasdeep, Semsar adalah permata yang sedang ditemukan kembali oleh akademisi lokal dan asing di tingkat tertinggi. Dan, Semsar Siahaan: Art, Liberation memang tak berniat menunjukkan “potongan-potongan”.

“Dia sangat menderita dan dia adalah yang terdepan dalam gerakan aktivis seni. Kami, jika saya bisa mengatakannya, menunjukkan tubuh yang sangat penting dari karyanya,” kata Jasdeep.

Dia menyebut, melalui karya-karya yang dibuat pada fase perlawanan terhadap rezim Soeharto, Semsar menggambarkan seni sebagai unsur penting proses kemanusiaan menuju kebebasan. Oleh karenanya, karya-karya Semsar berpengaruh pada masyarakat—sebagaimana dia terus menggunakan karya seni sebagai alat perlawanan.

Alat perlawanan itulah yang dietalasekan secara luas di beberapa institusi seni di Jepang, Singapura, dan di Tanah Air sebelum kepindahan Semsar ke Kanada tahun 1998. Ada benang merah menjulur: sejarah dan pergerakan politik memang  menjadi  dasar karir Semsar. Namun, inspirasinya selalu datang dari pengalam pribadinya yang berada di luar institusi, bahkan institusi seni sekalipun.  Jasdeep menganggap Semsar belum mendapatkan tempatnya yang layak di barisan seniman-seniman penting Indonesia.

Olympia: Identity with Mother and Child” adalah garapan Semsar sebagai apropriasi “Olympia” karya Edouard Manet, dengan mengkritik kepatuhan Indonesia atas kuasa kapitalisme Barat. Akan halnya “G-8 Pizza” merupakan simbol politik global dari negara G8 yang maujud dalam bentuk delapan iris pizza yang terbuat dari medium kardus bekas kemasan.

Sebagian karya gambar Semsar.
Sebagian karya gambar Semsar.

Tak hanya cermat memotret geopolitik global yang dikuasai negara maju dengan neokapitalisme, Semsar juga memperluas konteks dan mempercanggih visual negara G-8 menjadi bentuk piza raksasa yang dipotong delapan. Dan, piza raksasa itu dikontrol manusia-binatang-iblis alias si Manubilis dan kroninya.

Bersama Semsar, lukisan menjadi begitu bertenaga sebagai alat pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketidakadilan. Bagi dia, keindahan muncul sendiri dari upaya pembebasan yang dilakukan seniman. Kebebasan ada demi pembebasan manusia terbanyak.

Tak hanya Gadjah Galeri, perhelatan seni dua tahunan Jakarta Biennale 2017 pada 4 November -11 Desember 2017 juga bakal menampilkan sosok dan karya Semsar Siahaan dalam Menimbang Kembali Sejarah, yang dikhususkan mengangkat seniman berkontribusi khas di dunia seni rupa Indonesia. Selain memamerkan karya lukisan, gambar dan reproduksi poster, Jakarta Biennale 2017  juga akan memajang arsip pribadi Semsar, termasuk buku harian yang dia tulis pada rentang 24 Oktober 1998 sampai 13 September 2002.

Lahir sebagai anak tentara, Semsar memperoleh pendidikan formal seni pertama kali di San Francisco Art Institute (SFAI), San Francisco, Amerika Serikat, tahun 1975. Dia berguru dari para pelukis Amerika, seperti Bruce McGaw hingga Ursula Schneider, dan kembali ke Indonesia dua tahun kemudian.  Di Tanah Air, Semsar menekuni seni patung di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, di bawah bimbingan pematung-pematung top, seperti Rita Widagdo, G. Sidharta, Soenarjo, dan Surya Pernawa. Di Kampus Gajah, Semsar tak cuma belajar membuat patung, tapi juga mulai melukis.