Ilustrasi: Peta baru NKRI/Kemenko Maritim

Koran Sulindo – Republik Rakyat Cina menuntut Indonesia membatalkan keputusan mengganti nama wilayah maritimnya di bagian barat daya Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara.

Kementerian Luar Negeri China mengirim tuntutan resmi itu melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Indonesia mengubah nama pulau yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan itu pada 14 Juli lalu, saat mengumumkan peta resmi baru NKRI.

“Langkah Indonesia mengubah nama yang sudah diterima secara internasional itu menghasilkan komplikasi dan perluasan perselisihan, mempengaruhi perdamaian dan stabilitas,” tulis surat tertanggal 25 Agustus itu, seperti dikutip Channel News Asia.

Menurut Kementerian Luar Negeri Cina, tindakan perubahan nama secara sepihak itu tidak kondusif untuk mempertahankan situasi yang saat ini disebut sangat baik.

Cina juga menyatakan penggantian nama itu tidak mengubah fakta bahwa RI dan Cina mempunyai klaim tumpang tindih di wilayah itu.

Langkah Indonesia itu dilakukan setelah pada Pengadilan Arbitrase di Den Haag Belanda mengenai perselisihan Laut Cina Selatan antara China dan Filipina, menyimpulkan tidak ada dasar hukum atau historis untuk klaim China terhadap perairan yang kaya sumber daya alam itu.

Peta NKRI Baru

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diperbarui, pada 14 Juli 2017. Pada peta NKRI 2017 itu terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan berdasarkan perkembangan hukum internasional dan penetapan batas maritim dengan negara tetangga.

Menurut rilis Biro Informasi dan Hukum Kemenko Kemaritiman, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno mengatakan terdapat beberapa hal yang baru yang melatar-belakangi pembaruan ini.

Yang paling penting adalah Natuna. Dalam peta baru ini terdapat perubahan kolom laut di utara Natuna. Pertimbangannya, landas kontinen di kawasan tersebut sejak tahun 1970-an menggunakan nama Blok Natuna Utara, Blok Natuna Selatan, Blok Natuna Timur, dan Blok Natuna Tenggara yang menggunakan referensi arah mata angin.

“Jadi biar ada satu kejelasan, kesamaan antara kolom air di atasnya dengan landas kontinennya, maka kolom air tersebut disepakati oleh tim nasional diberi nama Laut Natuna Utara,” kata Arif.

Nama Laut Natuna Utara juga menyesuaikan dengan nama blok-blok migas yang ada di landas kontinen di bawahnya. Sebelumnya, wilayah di I disebut Laut China Selatan.

Menurut peta lama Indonesia edisi 1953, keterangan Laut China Selatan digunakan untuk wilayah perairan yang hampir mendekati wilayah Laut Jawa. Ujung laut Jawa yang berbatasan dengan Selat Karimata itu pada 1953 masih dalam klasifikasi Laut China Selatan.

Karena peta 1953 itu merupakan dokumen lama, pemerintah melakukan pemutakhiran dengan memasukkan dan memberikan nama baru di sejumlah wilayah Nusantara.

Penggunaan nama Laut Natuna ditetapkan pada 2002 meski eksplorasi migas di sana telah menggunakan nama Natuna Utara sejak tahun 1970an.

Sementara nama Laut China Selatan, penamaannya dikembalikan sesuai dengan nama di peta dunia.

“Indonesia memiliki kewenangan untuk memberikan nama wilayah di teritorial Tanah Air,” kata Arif.

Pencatatan nama resmi secara internasional dilakukan melalui forum khusus pencatatan nama laut yaitu International Hydrographic Organization (IHO).

Penetapan pemutakhiran peta NKRI melibatkan oleh 21 perwakilan kementerian/lembaga terkait, antara lain Kemenko Kemaritiman, Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu ada Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, Polri, Bakamla, Badan Informasi Geospasial, LIPI, BPPT dan BMKG. [DAS]