Sejarah ditulis oleh pemenang; jargon ini populer di seluruh dunia, dan sekilas kebenarannya tak mudah dibantah. Oleh karena itu sang pemenang dan pecundang tak abadi, selalu berganti, terjadilah koreksi-mengoreksi penulisan sejarah.
Sekadar contoh, Serangan Umum 1 Maret 1949, sebelum Jenderal Soeharto berkuasa, tak begitu dianggap penting. Setelah Soeharto menjadi presiden, 1 Maret selalu diperingati dan dikatakan yang memprakarsai dan memimpin serangan itu adalah Letnan Kolonel Soeharto. Di masa reformasi, muncul beberapa versi 1 Maret yang lebih masuk akal, rencana dan pelaksana 1 Maret adalah garis komando militer, langsung dari Jenderal Sudirman dan petinggi lain, misalnya Letkol Bambang Sugeng.
Tampaknya jargon tersebut lebih digunakan oleh para penguasa guna mengesahkan “kemenangan”nya. Bila demikian, tidakkah ini bisa membingungkan masyarakat, apalagi siswa-siswa sekolah yang tentu saja belajar sejarah dan isi buku sejarah berganti-ganti sesuai siapa penguasanya?
Untunglah, di dunia ini di samping para penguasa adalah para cendekiawan. Diasumsikan para cendekiawan ini bebas politik, sehingga bisa menyajikan sejarah berdasarkan fakta dan data autentik. Dua hal tersebut terakhir itu, data dan fakta autentik, menjadi syarat mutlak agar para cendekiawan melakukan analisis berdasarkan hal yang memang terjadi, bukan fiksi. Analisis bisa berbeda, dan kita boleh mendukung atau mengkritik analisis menurut pemahaman kita sendiri, namun data dan fakta autentik tak bisa ditawar-tawar.
Bagaimana pun cerdas sebuah analisis, bila didasarkan bukan atas data dan fakta autentik, mengandung unsur yang bisa menyesatkan. Bila analisis ini dijadikan acuan pengambilan kebijakan suatu pemerintahan bukankah ini riskan, setidaknya akan ada yang dirugikan. (Contoh dari buku Menggugat Arsip Nasional , di awal Orde Baru sejarawan Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa Mohammad Yamin telah berpidato di sidang BPUPK tentang dasar negara pada 29 Mei 1945, tiga hari sebelum Bung Karno.
Pidato itu dimuat dalam buku Yamin Naskah Persiapan UUD 1945, terbit pada 1959. Ini dijadikan alasan Orde Baru membatalkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Padahal di arsip autentik BPUPK – yang baru ditemukan kemudian– pidato Yamin yang disebut oleh Nugroho tersebut tidak ada. Menurut Bung Hatta yang pada 1975 diminta mengkaji buku Naskah Persiapan UUD 1945 itu, Yamin tak pernah menyampaikan pidato seperti yang dimuat di buku Persiapan UUD 1945; yang dipidatokan Yamin waktu itu lebih singkat dan sangat berbeda).
Dalam hal penulisan sejarah itulah kehadiran Menggugat Arsip Nasional tentang Arsip Otentik “Badan Penyelidik” dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (R.M. A.B. Kusuma, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017) mengingatkan kembali perihal arsip autentik tersebut.
Buku ini memang tidak membahas secara langsung tentang dunia kearsipan. Yang menjadi pokok pembahasan adalah adanya arsip penting yang merupakan dokumentasi pembentukan sebuah negara yang kemudian disebut Republik Indonesia, dan apa akibatnya bila arsip tersebut tidak ada, atau ada namun tidak bisa diakses oleh masyarakat bahkan oleh para ilmuwan.