DEKADE KEMAJUAN akan menjadi terbalik, rasa ketidakamanan, kerusuhan dan ketidakpastian meningkat di banyak negara di dunia.

Inilah lima krisis yang dihadapi anak-anak yang tidak bisa diabaikan dunia pada tahun 2022:

Kelaparan

Ancaman kelaparan kini dihadapi 45 juta orang di 43 negara di seluruh dunia.

Anak-anak di titik-titik rawan kelaparan di Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Timur Tengah tidak tahu dari mana makanan mereka selanjutnya berasal. Jutaan orang hidup di ambang kelaparan dan sangat membutuhkan makanan jika ingin bertahan hidup. 

Impian untuk mengatasi kelaparan pada tahun 2030 benar-benar terasa berat karena kondisi-kondisi yang mendorong kelaparan, yaitu meliputi konflik, COVID-19, dan perubahan iklim.

Selain ancaman kelaparan, malnutrisi parah mempengaruhi lebih dari 45 juta anak di seluruh dunia dan krisis kelaparan berkembang dengan cepat. Kesehatan fisik dan perkembangan mental anak dalam jangka panjang akan rusak ketika mereka tidak mendapatkan nutrisi penting yang mereka butuhkan.

Konflik

Saat ini ada lebih banyak konflik aktif sejak tahun 1945. Konflik sipil dan internal, pemberontakan dan kekacauan politik di tempat-tempat seperti Yaman, Sudan Selatan, Ethiopia, Kongo, Afghanistan, Venezuela dan Myanmar mendorong perpindahan orang secara besar-besaran.

Secara global sekarang ada lebih dari 82 juta orang yang tinggal di kamp pengungsi dan melakukan pengungsian atau jauh dari rumah yang menciptakan ketegangan dengan komunitas tuan rumah; memaksa keluarga untuk melakukan perjalanan berbahaya dan rentan terutama untuk perempuan dan anak-anak sebagai objek perdagangan dan eksploitasi.

Perubahan Iklim

Konferensi perubahan iklim internasional terbaru di Glasgow, Skotlandia, gagal menghasilkan komitmen untuk menjaga suhu hingga mengancam dunia dengan titik kritis dan hasil yang tidak terduga.

Kekeringan yang berulang di Afrika Timur dan Selatan serta Afghanistan; banjir bandang di Asia dan Amerika Latin;  angin kencang dan badai api yang mempengaruhi banyak negara bahkan negara-negara kaya, menghancurkan rumah dan mata pencaharian serta menciptakan lingkaran setan atas kemiskinan baru.

Naiknya permukaan laut, perubahan musim dan ancaman wabah penyakit baru mempengaruhi masyarakat pedesaan dan perkotaan serta meningkatkan ketegangan, juga persediaan air yang menyusut, harga pangan melonjak dan banyak orang meninggalkan rumah mereka untuk mencari keamanan di tempat lain.

Tambah parah adalah ketika anak-anak terpaksa meninggalkan sekolah untuk mencari pekerjaan; anak yang kelaparan atau yang menjadi pengungsi karena bencana iklim.

Pelecehan Pada Anak

Dalam menghadapi berbagai jenis bencana, anak perempuan dan laki-laki menghadapi tantangan yang sama besarnya, yang akan merusak impian dan harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik.

Konflik, kelaparan, pengungsian dan kemiskinan memaksa mereka dan keluarga mereka untuk mengambil keputusan yang berat dan kadang menyeramkan untuk bertahan hidup. 

Pandemi telah melihat tingkat pernikahan anak meningkat dengan jumlah terbesar dalam 25 tahun. Analisis World Vision sendiri menemukan bahwa anak yang tidur dalam keadaan lapar 60% lebih mungkin untuk menikah daripada teman sebayanya yang tidak merasakan lapar. 

Di tempat-tempat seperti Amerika Latin anak-anak sangat rentan terhadap perdagangan manusia dan narkoba serta eksploitasi seksual, sementara di seluruh dunia 160 juta anak saat ini sedang bekerja.

COVID-19

Penyebaran varian Omicron telah menunjukkan ketidaksetaraan dalam akses ke vaksin di seluruh dunia.

Negara-negara yang paling miskin hanya menerima sebagian kecil dari pasokan global, bahkan ketika negara-negara kaya memberikan populasi mereka vaksin booster. Ketidaksetaraan ini menciptakan kondisi di mana varian baru bisa saja muncul, menunjukkan mengapa tidak ada yang aman sampai semua dirasakan benar-benar aman. 

Dengan lebih dari lima juta orang tewas oleh COVID, rumah sakit dan sistem kesehatan tentu saja kewalahan. Tindakan lockdown telah menghancurkan mata pencaharian bagi lapisan termiskin, terutama di negara-negara yang tidak memiliki kesejahteraan sosial.

Ratusan juta atau anak-anak juga menderita berbulan-bulan dikurung di rumah, bahkan sekolah mereka mundur berbulan-bulan. Di seluruh dunia, masalah kesehatan mental melonjak ketika masyarakat harus bergulat dengan isolasi, kehilangan pekerjaan dan kematian teman dan keluarga.

WHO dan Bank Dunia menyatakan bahwa pandemi telah mendorong setengah miliar orang ke dalam kemiskinan ekstrim, dan UNICEF mengatakan tambahan 100 juta anak sekarang hidup dengan kemiskinan multidimensi yang menciptakan krisis terburuk bagi anak-anak dalam 75 tahun. [S21/WVI]