Pada tanggal 13 Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II sedang melewati ribuan umat Katolik yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Roma, Italia. Dia tengah memberkati orang-orang dari mobil kepausannya yang terbuka, ketika tiba-tiba empat tembakan dilepaskan dari jarak dekat. Paus jatuh ke pelukan para pembantunya dan segera dilarikan ke rumah sakit Gemelli di Roma. Di sana, dia menjalani operasi darurat selama lebih dari empat jam, sementara kepanikan pecah.
Pelaku penembakan itu adalah Mehmet Ali Ağca, seorang militan Turki berusia 23 tahun dan beragama Islam yang terkait dengan Grey Wolves, organisasi bersenjata nasionalis Turki.
Paus Yohanes Paulus II terluka di bagian perut, tangan kiri, dan lengan kanan, tapi tidak ada organ penting yang terkena tembakan. Dia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk pulih dari serangan itu. Kebencian terhadap Ağca terus bermunculan, kecaman datang dari mana-mana, para pemimpin dunia menyatakan kekecewaan terkait upaya pembunuhan itu.
Namun pada 27 Desember 1983, dua hari setelah Natal, Paus mengunjungi penembaknya di selnya di penjara Rebibbia, Roma.
Pertemuan itu merupakan puncak kunjungan ke para narapidana di penjara Rebibbia sebagai bagian dari perayaan Natal Paus. Pertemuan itu telah diatur secara terperinci, berbagai tindakan pencegahan keamanan yang ketat diterapkan. Tempat pertemuan telah ditetapkan sebelumnya dan dua kursi diletakkan berdampingan di dalam sel.
Seorang pejabat Vatikan melaporkan bahwa ketika Paus tiba, Ağca mencium cincinnya dan menjawab ya ketika ditanya apakah dia merasa sehat. Para wartawan menjadi heboh dan menyewa seorang pembaca gerak bibir profesional untuk mengetahui percakapan antara keduanya.
Ağca tidak mengatakan apa pun tentang alasan yang membuatnya menembak Paus. Dia juga tidak diborgol atau ditahan dengan cara lain selama pertemuan tersebut.
Paus Yohanes Paulus II dan Ağca berbincang selama 21 menit. Para penjaga penjara dan pejabat kepausan mengamati pertemuan itu dari koridor di luar sel terbuka, tetapi keduanya berbicara dengan sangat pelan sehingga tidak dapat didengar dari luar.
Paus menyesali penembakan itu dan sekali dua kali Ağca tertawa. Seorang juru bicara Vatikan, Pastor Pierfranco Pastore, mengatakan bahwa Ağca berlutut dan mencium cincin Paus saat dia bangkit untuk pergi.
Seorang pejabat Vatikan juga berkata bahwa Paus mengucapkan selamat tahun baru kepada Ağca dan memberinya benda keagamaan yang tidak disebutkan namanya sebagai hadiah perpisahan.
‘”Apa yang kami bicarakan satu sama lain merupakan rahasia antara dia dan saya,” kata Paus Yohanes Paulus II kepada wartawan setelah pertemuan itu, seperti dikutip dari The New York Times. ”Saya berbicara kepadanya seperti saya berbicara kepada seorang saudara yang telah saya maafkan dan yang saya percayai.”
Paus Yohanes Paulus II secara terbuka memaafkan Ağca dari ranjang rumah sakit, empat hari setelah penembakan di Lapangan Santo Petrus. Ağca sendiri secara terbuka menyatakan telah bertobat.
Ağca menjalani hukuman 19 tahun di penjara Italia karena menembak Paus Yohanes Paulus II. Motifnya masih menjadi misteri. Akan tetapi, dia kembali dipenjara karena menembak mati seorang jurnalis Turki, Abdi İpekçi, pada 1 Februari 1979.
Pada tahun 2010, Ağca dibebaskan dari penjara setelah menjalani hukuman yang dikurangi menjadi sepuluh tahun atas pembunuhan Ipekçi. Dokter mendiagnosis Ağca mengidap gangguan kepribadian antisosial.
Tiga tahun kemudian, Ağca menerbitkan otobiografinya, di mana dia menuduh Ayatollah Khomeini, Mantan Pemimpin Tertinggi Iran, telah memerintahkan upaya pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II. Tuduhan ini semakin memperumit jalannya penyelidikan.
Kemudian pada tanggal 27 Desember 2014, Ağca mengunjungi makam Paus Yohanes Paulus II dan meletakkan bunga. Dalam penampilan media terbarunya di saluran Italia Canale 5 pada tahun 2016, Ağca mengklaim telah meninggalkan Islam dan pindah ke agama Katolik. Dia bahkan menyatakan ingin menjadi seorang pastor.
“Di sini, di Turki, saya hidup sebagai seorang pensiunan yang membuang-buang waktu,” kata Ağca dalam sebuah wawancara, dikutip dari CathNews. “Itulah sebabnya saya ingin mengajukan permohonan kepada Paus Fransiskus: Sambutlah saya di Vatikan, dan saya akan menjadi seorang pastor.”
“Setelah Yohanes Paulus II mengunjungi saya di penjara, saya memikirkannya, dan saya mempelajari Injil secara mendalam. Saya mengenal kitab suci lebih baik daripada banyak orang lain. Jika Paus menyambut saya, saya akan menjadi seorang pastor dan saya akan merayakan Misa, jika di menginginkan saya,” tambahnya. [BP]