Bom Atom untuk Halau Tangan Jahil

Koran Sulindo – Tahun 1944, Kepulauan Marshall di Samudra Pasifik diserbu pasukan dari Amerika Serikat. Negara Uwak Sam itu kemudian memasukkan kepulauan tersebut ke dalam Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik  atau Trust Territory of the Pacific Islands.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Amerika Serikat pada tahun 1954 melakukan uji coba bom hidrogen (termo nuklir) di kepulauan tersebut. Presiden Republik Indonesia Soekarno waswas wilayah timur Indonesia akan terkena dampak radiasinya. Maka, ia pun membuat Keputusan Presiden Nomor 230/1954 tentang Pembentukan Panitia Negara untuk Penjelidikan Radio-Aktivitet, yang dikeluarkan pada 23 November 1954. G.A. Siwabessy, yang baru pulang studi di London, ditunjuk sebagai ketua panitianya. Siwabessy memang ahli radiologi.

Hasil penyelidikan panitia itu atas pulau-pulau Indonesia yang dekat Samudra Pasifik memperlihatkan, tak ada dampak dari radiasi dari uji coba termo nuklir Amerika Serikat. Kendati begitu, panitia tersebut mengusulkan kepada Panglima Besar Revolusi Indonesia untuk membuat reaktor atom. Usul disetujui Bung Karno. Maka, kemudian dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1958 pada tanggal 5 Desember 1958. Siwabessy dipercaya menjadi direktur jenderalnya.

Bung Karno menaruh perhatian besar terhadap lembaga itu. Ilmuwan-ilmuwan di sana diberi keleluasaan untuk mempelajari teknologi nuklir di berbagai negara. Juga memberikan beasiswa kepada yang ingin menempuh pendidikan di bidang nuklir. Kerja sama dengan berbagai lembaga internasional pun dilakukan, termasuk dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Bukan hanya Lembaga Tenaga Atom yang bekerja, tapi juga Bung Karno sendiri turun tangan langsung. Ketika itu, Amerika Serikat dipimpin oleh Presiden John F. Kennedy, sahabat Bung Karno. Dan, Perang Dingin sedang berlangsung antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Dengan memanfaatkan ketegangan yang terjadi di antara kedua negara itu, Bung Karno berhasil membujuk Kennedy agar negaranya membantu Indonesia mendirikan reaktor kecil berkuatan 250 kilowatt untuk tujuan riset.

Amerika Serikat bersedia. Kerja sama bilateral di bidang nuklir antara Indonesia dan Amerika Serikat ditandatangani pada Juni 1960, di bawah program “Atom for Peace”. Amerika Serikat antara lain memberikan bantuan dana sebesar US$ 350.000 untuk pembangunan reaktor nuklir. Untuk riset pengembangannya, Indonesia diberi dana US$ 141.000. Maka, dibangunlah reaktor kecil tersebut di Institut Teknologi Bandung pada April 1961.

Dari Uni Soviet, Indonesia melalui Bung Karno juga mendapat bantuan. Negara itu membiayai pembangunan dua reaktor nuklir di Indonesia. Juga untuk tujuan riset. Reaktor pertama selesai pun dibangun pada November 1962, dengan perjanjian untuk memperoleh reaktor lain berkekuatan 2.000 kilowatt yang ditandatangani tahun 1964.

Sebelum reaktor tersebut jadi, Republik Rakyat Cina pada 16 Oktober 1964 berhasil meledakan bom atom pertama. Uji coba ini seakan ingin menujukkan kepada dunia bahwa negara berkembang pun memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi nuklirnya sendiri.

Dengan adanya peristiwa itu, Bung Karno semakin tertarik dengan nuklir. Ia pun kemudian ingin mengalihkan penggunaan tenaga nuklir demi tujuan riset menjadi senjata nuklir. Dalam pandangan Bung Karno, jika Indonesia memiliki senjata nuklir, status Indonesia di dunia internasional juga akan meningkat.

Maka, pada 15 November 1964, Direktur Pengadaan Senjata Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hartono membuat pengumuman: Indonesia akan melakukan uji coba bom atom pada tahun 1969. Dikatakan juga, ada sekitar 200 ilmuwan sedang bekerja memproduksi bom atom tersebut di Indonesia. Rencananya, bom atom Indonesia akan diledakkan dalam sebuah uji coba di luar Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Reaktor Atom Triga Mark II, Bandung

Selang sehari kemudian, pada 16 November 1964, ilmuwan-ilmuwan nuklir Indonesia yang dipimpin Ir. Djali Ahimsa berhasil menyelesaikan criticality-experiment terhadap reaktor nuklir pertama Triga Mark II di Bandung. Triga adalah sebuah reaktor nuklir kecil yang didesain dan dibuat oleh General Atomics dari Amerika Serikat. Nama Triga sendiri adalah akronim dari “Training, Research, Isotopes, General Atomics“. Reaktor tipe kolam itu bisa dipasang tanpa gedung dan didesain untuk digunakan institusi ilmiah dan universitas untuk keperluan pendidikan tinggi, riset swasta pribadi, tes tidak merusak, dan produksi isotop.

Pengumuman Brigadir Jenderal Hartono mendapat perhatian dari media internasional. Pada 18 November 1964, misalnya, Radio Australia mengumumkan “Indonesia mampu membuat reaktor atom”.

Pada Desember 1964, Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Payung hukumnya: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom.

Pengoperasian reaktor atom pertama (Triga Mark II) di Bandung dilakukan pada tahun 1965. Pada Kongres Muhammadiyah di Bandung, akhir Juli 1965, Bung Karno mengatakan dalam pidatonya, “Insya Allah dalam waktu dekat ini, kita akan berhasil membuat bom atom sendiri. Bom atom itu bukan untuk mengagresi bangsa lain, tetapi sekadar untuk menjaga kedaulatan tanah air kita dari gangguan gangguan tangan jahil. Akan kita gunakan kalau kita diganggu atau diserang. Bila kita diganggu, seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakkan seluruh senjata yang ada pada kita. Sudah kehendak Tuhan, Indonesia akan segera memproduksi bom atomnya.“

Dunia gempar, terutama negara-negara Barat dan sekutu mereka. “Pernyataan ini tak boleh disepelekan,” kata Menteri Pertahanan Australia masa itu, Shane Paltridge.

Bahkan, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak mengatakan, Malaysia merasa sangat terancam dengan pernyataan Bung Karno. Malaysia juga menyerukan agar ada penyelidikan serius terhadap reaktor nulir Indonesia.

Yang terusik dengan pidato Bung Karno juga adalah Amerika Serikat. Pemerintahnya kemudian melakukan penyelidikan diam-diam. Hasilnya, menurut mereka: kemampuan nuklir Indonesia belum mencukupi untuk memproduksi bom.

Itu sebabnya, menurut Matthew Fuhrmann dalam Atomic Assistance: How ‘Atom for Peace’ Programs Cause Nuclear Insecurity, Amerika Serikat tetap melanjutkan bantuannya kepada program nuklir Indonesia. Perjanjian kerja sama nuklir pun ditandatangani lagi antara Indonesia dan Amerika Serikat pada September 1965, dengan syarat Indonesia harus mengizinkan reaktor nuklirnya diinspeksi IAEA. Tujuannya: untuk mengendalikan Indonesia yang dikhawatirkan tak mengembalikan uranium suplai dari Amerika Serikat dan menggunakan uranium tersebut untuk membuat bom.

Namun, tampaknya, Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya masih takut dengan Bung Karno. Maka, kemudian, terjadilah Prahara September 1965. Bung Karno digulingkan dari kursi kepresidenannya. Rezim Orde Baru berdiri. Dan, Indonesia sampai kini tak memiliki bom nuklir. [Purwadi Sadim]