Tarumanagara

Fa Xian juga mencatat di masa itu sudah banyak kapal-kapal dagang besar yang secara rutin menempuh rute pelayaran China-Yavadvipa. Selain lebih besar, kapal-kapal itu juga dianggap berlayar lebih cepat dengan waktu tempuh 50 hari. Padahal di era Dinasti Han dari Re Nan di Vietnam Utara ke Du Yuan di Semenanjung Malaya yang memakan waktu lima bulan.

Lantas negara apa di Yavadvipa yang disebut Fa Xian dalam kisah Fu Guo Ji itu? Itu adalah Tarumanagara atau Kerajaan Taruma.

Tak cuma bisa didengar dalam naskah-naskah yang seringkali butuh penafsiran dan rawan pemalsuan, Tarumanagara meninggalkan banyak jejak sejarah sekaligus menjadi kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah.

Di era ini setidaknya terdapat tujuh prasasti dan kompleks percandian yang luas di Batujaya dan Cibuaya. Ketujuh prasasti yang menyebutkan kerajaan Tarumanagara yang dipimpin Maharaja Purnawarman yakni Prasasti Tugu di Cilincing, Jakarta, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi yang berada di Bogor dan Prasasti Cidangiang di wilayah Bandung Selatan.

Prasasti Ciaruteun

Dari berbagai catatan dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, jelas diketahui bahwa Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Namun, menilik catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, sejauh ini belum ada penjelasan atau catatan yang pasti siapa pendiri kerajaan tersebut.

Dari Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batutumbu, di Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi diketahui raja inilah yang pada tahun tahun 417 memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sejauh 6112 tombak atau setara dengan 11 km.

Prasati Tugu juga menulis, selesai penggalian, Purnawarman memerintahkan untuk menggelar selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Purnawarman menggagas sodetan itu untuk menghindarkan ibu kota Tarumanagara di Candrabaga atau Bekasi dari banjir di musim penghujan dan kekeringan pada saat kemarau.

Menurut Poerbatjaraka, Bekasi secara filologis berasal dari kata Candrabhaga. Candra berarti bulan atau sasi dalam bahasa Jawa Kuno sementara Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan.

Pelafalan Candrabhaga seringkali berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi yang dalam pengucapannya sering disingkat sebagai Bhagasi. Karena pengaruh bahasa Belanda yang sering menulis dengan Bacassie, maka kata Bacassie tersebut kemudian berubah menjadi Bekasi sampai sekarang.

Kalingga

Dalam Jiu Tang Shu atau Kepustakaan Dinasti Tang Lama disebut pada tahun 14 Tahun Zhen Guan  (640 masehi) Raja Ho Ling/He Ling atau Kalingga mengirim uturan kepada Kaisar. Di sebut juga letak kerajaan Ho Ling berada di tengah Laut Selatan bersepadan dengan Po Li atau Bali di timur dan Duo Po Deng di barat serta berada di selatan Zhen La atau Khmer.

I-Tsing, seorang penjelajah Cina yang sempat singgah di Kalingga pada tahun 664/665 menyebutkan Kalingga telah menjadi telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di kerajaan itu tinggal seorang pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa. Dia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana.

Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo atau Ratu Shima yang dikenal sebagai ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Baca juga : Ratu Sima, Teladan Kejujuran dari Jawa Kuno

Di era Kalingga ini ditemukan Prasasti Tuk Mas atau mata air emas yang dipahat pada dipahatkan pada batu alam besar yang berdiri di dekat sebuah mata air di lereng barat Gunung Merapi di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Grabag, Magelang.

Prasasti Tukmas di Grabag, Magelang

Prasasti Tuk Mas ditulis dengan huruf Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta dengan bentuk aksara lebih muda dibanding masa Purnawarman. Diperkirakan prasasti ini berasal dari masa abad ke-6 hingga abad ke-7.

Meski sebagian aksara pada prasasti tersebut banyak yang rusak, namun pada beberapa bagian masih bisa dibaca menyebutkan adanya sebuah sungai yang mengalir bagaikan Sungai Gangga di India.  ada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat, seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung. [TGU]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 26 Februari 2018