Koran Sulindo – Bagi orang-orang di Yaman, perang di negeri mereka benar-benar ibarat neraka.
Anak-anak tewas oleh serangan udara tiada henti, pasar dibom, kelaparan, kolera dan sebut saja sekaligus 1001 penderitaan lainnya.
Disponsori Arab Saudi dan Uni Emirat Arab serta 7 negara Timur Tengah dan Afrika, mereka menyerbu Yaman yang miskin Maret 2015 dengan dukungan melimpah dari AS dan alat-alat perangnya.
Bertahun-tahun sejak itu, ketika kampanye udara Saudi menyasar pemberontak Houthi yang miskin dan dianggap kaki tangan Iran, al-Qaeda dan semua afiliasinya di sana justru terus berkembang.
Jet-jet Saudi seperti tak ada habisnya terus menerus menargetkan warga sipil, menggunakan bom pintar dan rudal AS tanpa sedikitpun keluhan pelanggaran HAM oleh orang-orang Amerika.
Baru akhir-akhir ini saja, begitu pembantaian besar-besaran dipublikasikan secara meluas, Pentagon sedikit ‘menggoyangkan’ jarinya.
Laporan mengerikan
Tengok saja kisah terakhirnya, pada tanggal 7 Agustus lalu serangan udara Saudi menghantam bus sekolah di Yaman utara menewaskan 51 orang dengan 40 di antaranya adalah anak-anak, 79 terluka termasuk 56 anak-anak.
Segera setelah serangan itu, sekelompok ahli yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan PBB mengeluarkan laporan merinci begitu banyak serangan mengerikan terhadap warga sipil lainnya di Yaman, bahkan termasuk mereka yang tengah menghadiri pernikahan dan pemakaman.
Terburuk dari yang terkutuk sebuah serang udara menewaskan 137 orang sekaligus melukai 695 lainnya saat upacara sebuah pemakaman di Sana’a, ibukota Yaman, April tahun ini.
Meski sangat terlambat, serangan terhadap anak-anak sekolah dan laporan PBB itu memperkuat kecaman global melawan pembantaian Saudi di Yaman.
Namun, ‘goyangan’ jari Washington hanya berupa tanggapan Menteri Pertahanan James Mattis pada tanggal 28 Agustus yang menyebut dukungan AS bukannya tanpa syarat.
Ia mengatakan dukungan administrasi Trump terhadap kampanye di Yaman harus dilakukan dengan, “segala sesuatu yang manusiawi untuk menghindari kehilangan nyawa orang-orang tidak bersalah.”
Masalahnya, sejak pertama kali penyerbuan ke Yaman dimulai Saudi dan sekutu-sekutunya tak pernah sedikitpun berminat memenuhi standar perang yang ‘beradab’. Di sisi lain, Trump juga jelas tak meniat mengurangi dukungannya bagi Saudi atau perang mereka.
Standar yang disebut Mattis tak lebih dari sekadar lelucon keji dengan mengorbankan warga sipil Yaman.
Laporan-laporan yang mendokumentasikan penderitaan orang-orang Yaman dengan perkiraan paling konservatif mencapai 6.475 jiwa dengan mereka yang terluka mencapai 10.000 orang.
Korban begitu tinggi karena Saudi dan sekutunya secara sengaja menargetkan fasilitas-fasilitas sipil termasuk peternakan, rumah, pasar, rumah sakit, sekolah, dan masjid termasuk situs-situs bersejarah di Sana’a yang tak hanya terjadi sekali, serangan bahkan dilakukan berkali-kali.
Laporan mencatat pada bulan April 2018 saja, Saudi melakukan 17.243 serangan udara di Yaman termasuk menghantam 386 peternakan, 212 sekolah, 183 pasar, dan 44 masjid. Ribuan kali berulang tentu bukan ketidaksengajaan.
Kolera
Dalam beberapa hari setelah memulai perang, Saudi secara total melakukan blokade darat, udara dan laut sementara pada saat bersamaan menghancurkan sektor-sektor pertanian dan infrastruktur pasokan makanan yang menopang kehidupan 29 juta warga Yaman.
Hampir semua serangan itu menargetkan jalur kehidupan orang-orang Yaman untuk bertahan hidup: pasokan makanannya.
Kapal perang, jet tempur dan helikopter Saudi tanpa pandang bulu menargetkan perahu nelayan, nelayan, dan pasar ikan yang memicu makin tipisnya akses orang-orang di Yaman kepada bahan-bahan pokok makanannya.
Bukannya menerima kritik, Saudi dan koalisinya justru menuduh bahwa milisi Houthi juga menyerang warga sipil, hebatnya lagi tuduhan itu divalidasi oleh Human Rights Watch.
Yaman, negara termiskin di Arab memenuhi kebutuhannya dengan bergantung pada impor yang jumlahnya mencapai 85 persen. Impor mencakup bahan pangan, bahan bakar, obat-obatan, dan blokade Saudi seketika membuat harga-harga melonjak.
Saat ini hampir 18 juta warga Yaman sekarang bergantung pada bantuan makanan darurat untuk bertahan hidup. Jumlah itu merupakan 80 persen dari total populasi di Yaman. Laporan Bank Dunia menyebut 8,4 juta orang lebih berada di ambang kelaparan.
Di sisi lain, blokade juga berkontribusi pada berjangkitnya epidemi kolera yang diperparah dengan minimnya obat-obatan. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia antara April 2017 hingga Juli 2018 lebih dari 1,1 juta kasus kolera terjadi di Yaman dengan korban jiwa mencapai 2,310 orang.
Dalam sejarah modern, epidemi itu menjadi wabah terburuk sejak tahun 1949. Sebelumnya, Haiti memegang rekor epidemi kolera dengan 800.000 kasus sepanjang 2010 sampai 2017. Yaman melampaui rekor itu dalam waktu hanya dalam waktu satu setengah tahun dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Faktor paling utama dari merebaknya kolera adalah air minum yang terkontaminasi sampah busuk yang tak pernah lagi dikumpulkan sejak terjadinya perang, sistem pembuangan limbah yang rusak, dan macetnya sistem penyaringan air karena kelangkaan bahan bakar. Ya, semua kehancuran fasilitas sipil itu dipicu serangan udara.
Bom tandan
Saudi dan sekutu-sekutunya berdalih blokade diperlukan untuk mencegat aliran persenjataan dari Iran. Itu jelas omong kosong bahkan setelah Houthi menembakkan rudal balistik ke bandara dan istana Raja Saudi.
Dalam standar hukum humaniter internasional atau standar akal akal sehat saja, blokade untuk mencekik impor Yaman adalah respon yang tidak proporsional dan sangat berlebihan.
Menggemakan tuduhan Saudi, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley menyebut bahwa rudal Houthi adalah Qiam-1 yang dipasok Iran sekaligus mengutuk campur tangan Teheran di Yaman. Jelas itu pernyataan menggelikan karena justru senjata-senjata AS yang digunakan Saudi dan sekutu-sekutunya di Yaman itulah yang paling menghancurkan.
Senjata-senjata itu termasuk bom tandan menjadi bahaya khusus bagi warga sipil karena begitu dilepaskan dari pesawat bom-bom itu menyebar ke wilayah-wilayah yang lebih luas dan menghancurkan segalanya tanpa pandang bulu.
Bom-bom semacam itu berdasarkan sebuah perjanjian internasional tahun 2008 telah dilarang penggunaannya di medan perang dan ditandatangani oleh 120 negara. Tentu saja kecuali Saudi dan AS.
Bulan Mei 2016, Presiden Obama menegaskan Washington sama sekali menghentikan pengiriman bom-bom model itu ke Saudi. Saudi berpaling ke bom-bom serupa buatan Brasil.[TGU]