Wong Liplap, Kebencian Jawa Pada Pengaruh Asing

Sketsa Keraton Yogyakarta dlihat dari alun-alun utara tahun 1771.

Suluh Indonesia – Sejauh mana orang-orang Jawa di masa lalu siap beradaptasi dengan budaya asing sekaligus mempertahankan identitasnya bisa dilihat dari keengganan mereka menyekolahkan anak-anaknya ke Eropa.

Di awal abad ke-19, Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles memfasilitasi beasiswa ke luar negeri, tak pernah ada indikasi ‘beasiswa’ itu pernah dipakai para bangsawan Jawa.

Di Surakarta, Mangkunegoro II tegas menolak anjuran itu meski mengaku mendapat tekanan Inggris agar mengizinkan putranya belajar ke Eropa. Ia tak mengizinkan anak-anaknya karena ketakutan, putranya pulang sebagai “bukan orang Belanda dan bukan seorang Jawa.”

Sejarawan Inggris, Peter Carey dalam The British in Java 1811-1816, a Javanese Account menyebut ketakutan akan menjadi “bukan ikan dan bukan unggas” secara budaya menjadi hal yang ancaman di benak para bangsawan Jawa.

“Mereka mulai sadar akan identitas mereka dalam dunia yang tengah berubah dengan cepat, dan penganut budaya campuran sekarang makin diremehkan,” tulis Carey.

Orang Jawa dengan nada yang sangat merendahkan menyebut para penganut budaya campuran ini dengan istilah wong liplap. Orang yang tidak jelas identitasnya.

Peter Carey mengajukan contoh menarik dari kebencian orang Jawa kepada kebudayaan ‘setengah-setengah’ ini pada sikap orang Keraton Yogyakarta pada Tumenggung Secodiningrat alias Tan Jin Sing.

Baca juga:

Secodiningrat adalah gelar yang diberikan kepada seorang kapiten Cina dari Kedu bernama Tan Jin Sing atas jasanya membantu Inggris menggulingkan Sultan Hamengkubowo II atau Sultan Sepuh dan menggantinya dengan Sultan Hamengkubuwana III.

Tan Jin Sing diangkat sebagai Bupati Nayoko pada 18 September 1813 oleh Thomas Stamford Raffles.

Meskipun berjasa bagi Hamengkubuwana III, pengangkatan Tan Jin Sing itu memicu kontroversi dan dibenci keraton khususnya para pendukung Sultan Sepuh.

Tan Jin Sing ini selain fasih berbahasa Jawa dan mengganti agamanya menjadi Islam, juga berteman secara pribadi dengan Sultan HB III. Sayang, semua kelebihannya itu tak berarti karena tetap dianggap sebagai orang aneh sekaligus berbahaya oleh sebagian bangsawan Keraton Yogyakarta.

Peter Carey menulis para orang-orang Yogyakarta  menciptakan sebuah peribahasa pendek yang cerdas tentang sang Kapiten Cina itu dengan sebutan, “Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung.

Setelah kembalinya pemerintahan Belanda pada Agustus 1816, Tan Jin Sing didesak untuk melepaskan gelarnya, merelakan tanah apanase-nya yang luas di Loano di Purworejo dan kembali pada lingkungannya dengan pangkat mayor.

Menanggapi desakan itu, lebih lanjut Carey menyebut, lelaki mengerikan itu mengatakan bahwa permintaan itu mustahil untuk dipenuhi. Pengangkatan resmi dan posisi politiknya yang unik sebagai kolega residen Eropa dan Sultan telah membuatnya dibenci oleh kalangannya sendiri. Tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga oleh kalangan Cina yang lebih luas di Semarang dan Surakarta.

Ia dibenci orang-orang Cina karena dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa pembantaian orang-orang Cina dalam peristiwa Perang Diponegoro.

Ditolak oleh lingkungannya, Tan Jin Sing dan keluarga peranakannya harus hidup dalam ketelantaran budaya dan terombang-ambing di antara budaya Jawa, Cina dan Eropa.

Mereka baru lepas dari beban ini setelah Keraton Yogyakarta mengasimilasikan mereka kembali dalam komunitas Cina di pada pertengahan abad ke-19. (TGU)

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 2 April 2018)