SEIRING DENGAN ITU, Kementerian Keuangan bersama Kementerian BUMN serta kementerian/lembaga terkait terus melakukan pemantauan berkala terhadap kapasitas neraca serta likuiditas BUMN yang mendapat penugasan. Ini dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan keuangan BUMN dan memitigasi risiko gagal bayar utang (default risk) dari perusahaan pelat merah. “Perkembangan risiko likuiditas BUMN, khususnya yang bergerak di sektor konstruksi dan ketenagalistrikan, akan terus dimonitor dan dievalusi, untuk memastikan pelaksanaan pendanaan infrastruktur tetap dalam koridor terjaganya kesehatan keuangan BUMN,” ungkap pihak Kementerian Keuangan dalam siaran pers itu juga.

Menurut Kementerian Keuangan, pinjaman dan penerbitan obligasi merupakan salah satu sumber pendanaan potensial. Karena, kebutuhan pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur tidak dapat tercukupi melalui PMN dan ekuitas BUMN.

Namun, Laporan Survei Ekonomi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, Organisasi Negara untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) yang baru ternyata menilai peningkatan kerentanan keuangan di sejumlah BUMN. Laporan tersebut dirilis di sela pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali, awal Oktober 2018 lalu.

Dengan berdasarkan rencana pemerintah tahun 2016 dalam mempercepat 245 Proyek Strategis Nasional (PSN), OECD menilai pemerintah Indonesia menjadikan BUMN unsur penting dalam strategi infrastruktur dan pembangunan dalam beberapa tahun terakhir. Kurang-lebih 30% dari PSN mengandalkan pembiayaan dari BUMN.

Memang, belanja modal BUMN ditargetkan hampir 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun ini, lebih dari dua kali lipat dari porsi belanja 2015. Pemerintah memberikan dukungan terutama dengan suntikan modal dan program revaluasi aset untuk pembiayaannya.

Setidaknya sejak tahun 2015, suntikan modal pemerintah ke BUMN melalui PMN melonjak tajam. Pada tahun 2015, pemerintah memberikan PMN kepada BUMN sebesar Rp 50,5 triliun, padahal pada tahun 2014 “hanya” Rp 3 triliun. Tahun 2016, jumlahnya meningkat lagi  menjadi Rp 64,5 triliun. Namun, pada tahun 2017, jumlahnya diturunkan drastis, menjadi Rp 6,4 triliun dan tahun 2018 menjadi Rp 3,6 triliun. Tahun 2019 nanti, jumlahnya akan kembali dinaikkan menjadi Rp 17,8 triliun.