Koran Sulindo – Rasa waswas melanda negara hari-hari belakangan ini. Setidaknya rasa itu menyelimuti hati banyak orang yang pernah mengalami bagaimana rezim militer di bawah kepemimpinan Jenderal (Purnawirawan) Soeharto berkuasa. Melalui konsep Dwifungsi ABRI (kini TNI), tentara pada masa itu menguasai hampir semua aspek kehidupan di negara ini, termasuk ke ranah sosial dan politik. Tentara mendapat “jatah” juga di DPR, MPR, dan DPRD. Di DPR/MPR, mereka bertanggung jawab langsung kepada Panglima ABRI, sementara di DPRD provinsi atau kabupaten bertanggung jawab kepada komandan setempat. Rezim Soeharto meyakini, upaya mengatasi ancaman pertahanan dan pembangunan nasional hanya bisa dilakukan dengan menyelaraskan peran ABRI dalam kehidupan bernegara yang lebih luas, bukan semata-mata mengurus pertahanan dan keamanan.
Dengan kekuasaan yang sangat besar seperti itu, dan kemudian dengan mengatasnamakan stabilitas pembangunan nasional, tak jarang tentara menyalakkan senjatanya, yang menelan banyak korban dari masyarakat sipil. “Dan dengan pakaian seragam, dinas atau tak dinas, haknya selalu utama,” demikian kata penyair besar Rendra dalam sajak “Pesan Pencopet kepada Pacarnya” (1972).
Dengan rekam jejak tentara yang seperti itu, manuver Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo baru-baru ini wajar jika membuat banyak orang cemas. Pernyataannya soal impor senjata, misalnya, membuat hubungan TNI dengan Polri menjadi tegang. Sebelumnya, Gatot juga menginstruksikan semua jajaran di institusinya untuk menonton kembali film Pengkhianatan G30S PKI, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai film propaganda yang tidak sepenuhnya berdasarkan fakta sejarah.
Dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang bertajuk “Tentara Profesional dalam Tarik Ulur Politik Nasional”—yang dirilis awal Oktober 2017—bahkan diungkapkan ada lebih dari lima peristiwa yang menunjukkan Panglima TNI ikut dalam arus politik nasional. Beberapa di antaranya adalah pernyataan Gatot soal hak politik bagi anggota TNI, hadir dalam demonstrasi 212, hadir dalam rapat Partai Golkar, dan perkataannya bahwa politik Panglima TNI adalah politik negara.
Jenderal Gatot Nurmantyo memang pernah mengatakan, dirinya sebagai Panglima TNI pasti berpolitik, tapi politik seorang Panglima TNI bukanlah politik praktis. “Politik Panglima adalah politik negara, bukan politik praktis,” katanya di Banten, 3 Oktober 2017.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyayangkan sikap Panglima TNI tersebut, terutama soal pernyataan Gatot mengenai impor senjata. Menurut Hasto, seharusnya Panglima TNI bisa lebih bijaksana dalam menyikapi persoalan yang ada. “Kita ini negara hukum yang punya aturan. Saya yakin Bapak Panglima bisa berkomunikasi dengan pihak-pihak yang beliau sebut sehingga, tanpa perlu harus disampaikan kepada publik, beliau bisa langsung sampaikan informasi,” tuturnya. Tugas pemimpin, lanjut Hasto, adalah menyatukan, memberikan arah, dan pernyataannya jangan sampai menimbulkan hal-hal yang kontroversial.
Banyak politisi yang berpandangan serupa dengan Hasto. Bahkan, ada yang mengatakan, pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal senjata impor sudah menabrak batas kepatutan dan undang-undang. Karena, informasi soal senjata impor tersebut dinilai sebagai data intelijen yang sensitif dan tidak seharusnya disampaikan kepada publik. Dengan demikian bisa ditafsirkan, Gatot sedang mengumpulkan dukungan lewat manuver politiknya.
Tak bisa dinafikan, tentara punya kontribusi sangat besar bagi bangsa dan negara ini. Karena, tentara menjadi salah satu unsur utama dalam upaya bangsa ini merebut kemerdekaan dan meraih kedaulatannya.
Namun, gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan Soeharto pada tahun 1998 telah mengamanatkan, TNI harus bersikap profesional dan fokus kepada tugasnya sebagai garda terdepan alat pertahanan negara. Amanat tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Karena itu, tentara aktif haruslah membatasi perilakunya pada upaya membela negara dari ancaman dan serangan dari luar. Dengan begitu, kalangan sipil bisa menjadi lebih fokus dalam menjalankan amanat konstitusi juga, terutama dalam upaya mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan menegakkan keadilan. Kesempatan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pun akan semakin terbuka lebar.
Akan selalu ada kebisingan dan kegaduhan memang. Tapi, itulah demokrasi, itulah alam kemerdekaan. “Kemerdekaan adalah tanah air dan laut semua suara. Janganlah takut kepadanya,” demikian kata penyair Toto Sudarto Bachtiar dalam puisi “Tentang Kemerdekaan”. Merdeka! [PUR]