Kota Jakarta.

Koran Sulindo – Dalam lima tahun terakhir (2010-2015), pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun akibat pengaruh krisis global. Padahal, pada tahun 2010 dan 2011, pertumbuhan masih berada di level 6,2% dan 6,49%. Mulai 2013 hingga 2015, pertumbuhan menurun menjadi 5,2% hingga 4,7%, termasuk target pertumbuhan pada 2016 yang dipatok 5,3%.

Menurut ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih, pertumbuhan ekonomi quartal to quartal telah dua kali mengalami minus berturut-turut. Kuartal keempat tahun 2014 minus 2,1% dan kuartal pertama tahun lalu minus 0,18%. Anjloknya ekonomi dua triwulan berturut-turut ini perlu diwaspadai pemerintah. Untuk memperbaiki kondisi ini, langkah yang paling realistis adalah pemerintah memperbaiki konsumsinya, yakni dengan cara mengontrol pengeluarannya sendiri.

Lana mencontohkan dengan mempercepat realiasasi penyerapan anggaran dan percepatan pembangunan infrastruktur. “Itu yang bisa dikontrol secara langsung,” kata kepada wartawan di Jakarta, baru-baru ini.

Jika pertumbuhan ekonomi ini dikorelasikan dengan pemerataan kesejahteraan, menurut dia, belum tercapai pemerataan karena yang terjadi justru ketimpangan ekonomi terus meningkat.  “Artinya, jumlah rakyat miskin semakin berkurang, namun ketimpangan ekonomi justru meningkat,” ujar Lana.

Data Badan Pusat Statistik mengungkapkan, sejak 2010 hingga 2015, persentase angka kemiskinan tercatat 13,3%, 12,5%, 11,7%, 11,5%, 11%, dan September 2015 sekitar 11,31%. Secara absolut, jumlah penduduk miskin selama 2010-2015 dari 31 juta menurun hingga 28,51 juta jiwa hingga September 2015. Adapun koefisien gini/rasio gini dalam lima tahun sejak 2010 sampai hingga 2015 tercatat 0,38; 0,41; 0,41; 0,42; 0,42; dan 0,42.

Data tersebut menggambarkan ketimpangan ekonomi Indonesia cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan begitu tidak sulit digambarkan dengan jelas siapa yang sesungguhnya menikmati pertumbuhan ekonomi karena justru rata-rata rasio gini menunjukkan angka peningkatan.

Ini berarti pencapaian pendapatan domestik bruto (PDB) yang tinggi selama ini ternyata masih tak mampu mewujudkan berbagai fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Menurut Lana,  tak mengherankan jika saat sebagian kalangan bangga dengan prestasi pertumbuhan PDB yang kita capai, mayoritas rakyat justru kurang merasakan ada perbaikan taraf kehidupannya.

Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pencapaian pertumbuhan mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbesar jumlah kelas menengah. Namun, di sisi lain juga mempelebar ketimpangan ekonomi.

Menurut Bank Dunia, manfaat dari pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sekitar 80% penduduk, lebih dari 205 juta orang, terlihat merasa masih tertinggal.

Jadi, ketimpangan ekonomi harus menjadi agenda serius pemerintah seiring upaya pemerintah memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Salah satu upaya adalah menggiatkan sektor riil. Namun,  kata Enny, high cost economy menyebabkan kinerja sektor riil turun. Di antara  high cost tersebut adalah suku bunga yang tinggi, mahalnya biaya transportasi dan logistik, kenaikan upah, dan depresiasi rupiah. “Itu semua menjadi tekanan dunia usaha kita,” kata Enny. [ARS]