Koran Suluh Indonesia Volume II Nomor 18, 4-17 September 2017

Koran Sulindo – Dunia adalah drama. Mari kita buka lembar-lembar sejarah. Betapa panjangnya perjalanan sejarah manusia yang dipenuhi darah dan air mata. Konflik dan perang seakan silih berganti terjadi di berbagai belahan dunia.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, manusia dan kemanusiaannya seakan tak memiliki arti, tak layak dihargai. Bagi banyak manusia, hidup menjadi semacam kutukan yang tak bisa dihindari. Apalagi, malapetaka dan bencana alam pun kerap mewarnai kehidupan.

Hari-hari belakangan ini, foto-foto dan video yang menggambarkan tragedi demi tragedi yang terjadi di berbagai negara dan Tanah Air juga menyeruak dalam kehidupan. Masuk dalam kehidupan keseharian banyak orang lewat genggaman tangan, lewat gawai atau gadget, lewat komputer mini dengan teknologi kecerdasan buatan yang luar biasa. Yang terbaru antara lain tragedi yang terjadi di Myanmar.

Tergugahkah kemanusiaan kita? Atau justru kita merasa terteror dengan adanya informasi semacam itu, termasuk yang berupa foto dan video, karena mengusik kenyamanan kita?

Kalau memang demikian, mengapa kita justru tak berupaya menjalankan dan menyebarkan nilai-nilai yang dapat membuat hidup kita dan orang lain nyaman, tenteram, dan damai? Bukankah merasa aman serta mendapatkan cinta dan kasih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, seperti pernah diungkapkan Abraham Maslow, psikolog kenamaan dari Amerika Serikat?

Sebagai orang dewasa, naif rasanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan klise semacam itu. Namun, apa pun, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai yang meyakini bahwa sesama manusia ada hubungan dan harus saling menghormati, merupakan keniscayaan yang tak bisa diabaikan, apa pun latar belakang dan bangsanya. Bahkan, nasionalisme pun tak ada gunanya jika menafikan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan bersama dengan bangsa-bangsa lain. Dalam bahasa Bung Karno: “Nasionalisme hanya bisa hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanya dapat hidup subur jikalau berakar di buminya nasionalisme.”

Nasionalisme Indonesia, menurut pandangan Bung Karno, adalah nasionalisme yang menolak isolasionisme. Begitu pula dalam memperjuangkan masyarakat adil dan makmur sebagai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, tak boleh membatasi perjuangan hanya dalam skala nasional, tapi juga juga harus berupaya mewujudkannya untuk seluruh umat manusia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Tambahan pula, tentakel-tentakel kolonialisme dan imperialisme menjulur ke berbagai pelosok penjuru dunia, sampai hari ini.

“Kita harus mencari hubungan dengan bangsa-bangsa lain di atas dasar persamaan, daulat sama daulat, dan saling-menguntungkan,” ungkap Bung Karno.

Nasionalisme jahat ala Hitler dan juga berbagai jenis chauvinisme ditentang keras oleh Bung Karno. Karena, nasionalisme seperti Hitler itu tak berperikemanusiaan, yang hanya mengakui turunan bangsa Aria sebagai manusia.

Mengapa sedemikian pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, perikemanusiaan? Karena: kita manusia!

Namun, nilai-nilai itu tidak dengan sendirinya dapat terinternalisasi dalam jiwa setiap manusia. Harus ada upaya budaya secara sistematis dan tidak-sambil-lalu agar nilai-nilai tersebut benar-benar terpatri di dalam dada manusia dan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan bersama.

Tak mudah memang, dan tak bisa instan. Namun, relakah kita bila anak keturunan kita kelak hidup tak ubahnya seperti mesin, yang tanpa perasaan bisa menjadi pencipta dan pelaku tragedi kemanusiaan? [PUR]