Koran Sulindo – Jakarta, 2 Desember, pukul 03.00 WIB, gerimis, ribuan orang mulai memenuhi Masjid Istiqlal. Di dalam ruang utama masjid ada yang sedang melaksanakan solat, ada yang sedang mengaji, ada juga yang merebahkan badannya. Di luar masjid, ada antrean panjang orang-orang untuk mendapatkan makanan yang dibagikan gratis.
Mereka berasal dari berbagai penjuru Tanah Air. Mereka adalah orang-orang yang akan ikut berdoa dan solat Jumat bersama di Lapangan Monumen Nasional (Monas) dan sekitarnya, yang mereka namakan Aksi Bela Islam III 212. Angka terakhir mengacu ke tanggal aksi: 2 Desember 2016. Aksi pertama mereka dilakukan 14 Oktober 2016, dengan diikuti ribuan peserta. Mereka menuntut agar Gubernur DKI Jakarta Nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diadili karena dinilai telah menistakan kitab suci Alquran dalam pidatonya di Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 27 September 2016.
Namun, karena aparat hukum dianggap mengabaikan tuntutan mereka, kurang-lebih dua juta umat Islam dari berbagai penjuru Indonesia kembali turun ke jalan pada 14 November 201. Aksi ini sejak pagi sampai magrib berlangsung damai. Mereka menuntut agar aparat hukum segera memproses aduan masyarakat dan menetapkan status hukum kepada Ahok.
Aksi mulai ricuh setelah magrib dan polisi menembakkan gas air mata. Akibat kericuhan itu, satu orang wafat dan banyak peserta aksi yang mengalami luka-luka serta sesak napas.
Akhirnya, pada 16 November 2016, pihak kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama, dengan dijerat Pasal 156 KUHP dan atau Pasal 156 a KUHP. Toh, umat Islam yang merasa agamanya dinistakan tidak puas. Mereka kemudian melakukan aksi lagi pada 2 Desember itu, yang diikuti kurang-lebih 3 juta orang.
Dan, pada Jumat dini hari tanggal 2 Desember itu, ketika calon peserta berkumpul di Masjid Istiqlal dan juga ada jutaan orang lagi sedang menuju Jakarta, sejumlah polisi dari Polda Metro Jaya bergerak. Para polisi itu menangkap para aktivis yang dianggap akan mengadakan makar serta melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Polisi menangkap mereka di tempat terpisah, mulai pukul 03.00 WIB sampai dengan 06.00 WIB.
Para aktivis yang ditangkap itu adalah Rachmawati Soekarnoputri, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Firza Husain, Mayjen (Purnawirawan) Kivlan Zen, Brigjen (Purnawirawan) Adityawarman Thaha, Eko Suryo Santjojo, Rizal, dan Jamran. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Komisaris Besar Rikwanto, kesepuluh orang tersebut ditangkap atas jeratan pasal yang berbeda. “Delapan orang di antaranya dikenakan Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP berkaitan masalah makar,” kata Rikwanto. Sementara itu, dua tersangka lain dikenakan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.Rachmawati Soekarnoputri adalah anak ketiga Bung Karno dan Ibu Fatmawati. Dia merupakan adik kandung langsung dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Rachma dikenal sebagai tokoh yang vokal dalam menyerukan pengembalian ke UUD 1945 sebelum diamandemen. Ia pernah menyerukan massa untuk menduduki Gedung DPR. Juga beberapa kali bertemu tokoh-tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), yang aktif menyerukan massa agar melakukan aksi damai.
Musisi Ahmad Dhani atau lengkapnya Ahmad Dhani Prasetyo memang dikenal sebagai artis yang sangat kritis terhadap pemerintah dan juga terhadap gaya kepemimpinan Ahok. Ia pernah secara terang-terangan mengajak massa umat Islam untuk menggelar demonstrasi 2 Desember, dengan tuntutan Ahok dipenjara karena menista Alquran.Ia juga pernah dilaporkan ke polisi karena orasinya dinilai sejumlah orang menghina Presiden Joko Widodo. Pada aksi 4 November 2016, Dhani terlibat aktif.
Ratna Sarumpaet ditangkap di rumahnya. Aktivis yang pekerja teater ini memang sejak masa Orde Baru senantiasa kritis terhadap pemerintah, terutama yang ia nilai merugikan bangsa dan negara. Pada masa rezim sekarang, mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini pernah menyatakan Kapolri Tito Karnavian telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan karena tidak segera menahan Ahok. Ia juga mengungkapkan, rumor makar diembuskan Tito selaku Kapolri merupakan upaya membatalkan unjuk rasa pada 2 Desember 2016 di Monas.
Memang, setelah unjuk rasa 4 November 2016, Presiden Joko beberapa kali mengatakan adanya aktor politik yang menunggangi aksi tersebut. Pertama kali ia nyatakan soal itu pada Sabtu dini hari, 5 November 2016. Presiden menuding keberadaan aktor politik sebagai salah satu penyebab aksi 4 November berujung rusuh, karena seharusnya aksi itu sudah bubar pukul 18.00 WIB. Namun, ia tidak mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan aktor politik tersebut.
Lalu, ketika memberikan pengarahan ke jajaran pemimpin Polri, 8 November 2016, Presiden Joko juga mengatakan soal aktor politik itu lagi. Pada kesempatan ini, ia juga tidak mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan aktor politik itu. “Kalau Polri sudah menemukan bukti-buktinya,” ujarnya.
Setelah itu, pada 21 November lalu, Tito Karnavian menyatakan pula ada indikasi peserta aksi di Monas pada 2 Desember 2016 berencana melakukan upaya makar. Tito mengatakan akan memperkuat pengamanan di gedung DPR/MPR. Karena, katanya, ada rumor upaya pendudukan gedung legislatif berbarengan dengan aksi umat Islam.
Akan halnya Sri Bintang Pamungkas ditangkap di rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur. Tokoh demokrasi dan reformasi ini juga dikenal kerap mengkritisi pemerintahan Joko Widodo.
Kivlan Zen ditangkap di rumahnya di Kelapagading, Jakarta Utara. Pada 29 November lalu, Kivlan menyerukan agar umat Islam tetap menjalankan aksi damai di kawasan Monas. Ia juga menyanggah adanya upaya makar yang sudah beredar di berbagai media, yang akan menunggangi aksi massa yang menuntut Ahok dipenjarakan.
Adityawarman Thaha adalah mantan Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia. Dia adalah purnawirawan TNI Angkatan Darat.
Sementara itu, Firza Husain adalah Ketua Gerakan Solidaritas Sahabat Cendana. Ia dikenal dekat dengan keluarga mantan Presiden Soeharto. Tak jelas, mengapa Firza dikaitkan dengan dugaan upaya makar. Ia ditangkap di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta.
Eko Suryo Santjojo ditangkap di rumahnya, di Bekasi Selatan, Jawa Barat. Eko dikenal sebagai orang kepercayaan Rachmawati Soekarnoputri.
Rizal adalah pemimpin organisasi Komando Barisan Rakyat (Kobar). Ia aktif memobilisasi massa untuk mengikuti aksi 2 Desember di Monas. Namun, ia dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang juga dijerat dengan undang-undang itu adalah Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Jakarta Utara, Jamran, yang ditangkap di sebuah hotel di bilangan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Rizal dan Jamran adalah kakak-beradik.
“Penetapan tersangka keduanya berkaitan dengan hate speech, menyebarluaskan informasi permusuhan terhadap individu dan terhadap isu SARA,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar diJakarta, 3 Desember 2016.Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga dilaporkan relawan Jokowi, Bara JP, ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindakan penghasutan dan ajakan melakukan makar dalam orasinya pada aksi 4 November 2016. Fahri pun mempertanyakan banyak hal terkait pelaporan tersebut. “Patut disayangkan, banyak nasihat yang masuk kepada presiden tidak memahami peta konstitusi dan undang-undang dasar pasca-amandemen keempat. Ini menyebabkan banyak sekali pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan,” kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, 9 November 2016.
Pertama, katanya, soal demonstrasi masih digunakan kata “ditunggangi” dan “digerakkan”. Padahal, menurut dia, demonstrasi 4 November untuk mendorong kepolisian mengusut pidato kontroversi Ahok soal surah Almaidah 51 itu penggeraknya legal dan sah. “Kedua, terkait makar. Banyak yang belum paham, pasal makar itu sebagian besar sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk penyesuaian dengan UUD 1945 yang baru,” tuturnya.
Dijelaskan Fahri, makar dalam terminologi di KUHP disebut anslaag, yang diartikan sebagai gewelddadige aanval, yang dalam bahasa Inggris artinya ‘violent attack’ atau ‘serangan yang menyebabkan kerusuhan’. “Artinya, makar itu hanya terkait dengan fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat. Memang, di Bab II KHUPidana sebelum reformasi, makar di bahas dari pasal 104 sampai dengan 129. Namun, sekarang sudah banyak yang dihapus dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat,” tutur Fahri.
Akan halnya yang dimaksud violent attack, diungkapkan Fahri, antara lain membocorkan rahasia negara serta kerja sama dengan tentara asing dalam massa perang. Sementara itu, yang terkait dengan kehormatan dan martabat kepala negara, tambahnya, sudah berubah menjadi delik aduan. “Amandemen 1945 memigrasi segala anasir otoriter yang berpotensi mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi masyarakat. Jadi, salah tempat di era demokrasi ini kalau masih ada yang berpikir tentang makar. Presiden naik dan jatuh diatur jalan keluarnya dalam konstitusi. Tak ada yang tidak diatur demi tertib sosial,” ujarnya.
Dalam keterangan pers-nya itu, Fahri juga menjelaskan soal posisi dan tugasnya sebagai anggota legislatif. Menurut dia, tidak ada fungsi pengawasan eksekutif terhadap legislatif, yang memiliki fungsi pengawasan itu adalah legislatif. “Fungsi pengawasan ini bisa di kantor DPR ataupun di luar kantor,” katanya.
Pasal-pasal makar dalam KUHP memang sejak lama telah memancing kontroversi karena multitafsir karena itu sering disebut pasal-pasal karet. Penguasa bisa seenak-enaknya saja menafsirkan pasal itu untuk membungkam siapa saja yang mereka anggap dapat merongrong kekuasaannya.
“Pasal ini sering digunakan rezim Orde Baru untuk mengkriminalisasi para aktivis. Pada era reformasi, pasal ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis Papua yang melakukan protes,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa di Jakarta, 23 November 2016.
Padahal, tambahnya, dalam sebuah aksi demonstrasi merupakan hal yang lazim bila demonstran menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pemerintah atau meneriakkan agar presiden dan wakil presiden mengundurkan diri atau digulingkan. “Merupakan hal yang berlebihan jika kepolisian menerapkan pasal makar hanya karena ekspresi,” ujarnya. Apalagi, lanjutnya, pemerintahan yang sekarang ini berkuasa menikmati betul kebebasan berekspresi ketika melawan Orde Baru, menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid, bahkan mengkritisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelumnya, pada 26 September 2016, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group, Muhammad Hafiz, juga telah menyatakan pasal-pasal makar dalam KUHP menimbulkan ancaman pelanggaran hak asasi manusia, antara lain hak menyatakan pendapat. Misalnya, ekspresi politik sebagian kelompok dianggap sebagai tindakan makar. Padahal, ekspresi politik tersebut tidak terbukti memiliki tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah. “Sekarang dilihatnya begini. Ada kumpul sedikit dianggap makar. Yang kita tahu dan lihat, hampir semua tindak pidana makar tidak terbukti secara fisik memang membuat gerakan agar terjadi tujuan tertentu,” kata Hafiz di Jakarta
Pada Mei 2016 lampau, Aliansi Nasional Reformasi KUHP pun telah mengingatkan masyarakat, pemerintah, dan DPR untuk tidak melepaskan fokus pada pembahasan pasal-pasal krusial, dalam Pembahasan Rancangan KUHP yang sekarang masih berlangsung antara pemerintah dan DPR. Pasal-pasal itu antara lain, ya, yang menyangkut tindak pidana yang terkait dengan posisi individu terhadap negara, yang begitu kuatnya proteksi terhadap negara. Misalnya soal penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, dan penghinaan terhadap badan umum.
Masih adanya pasal-pasal yang seperti itu, menurut mereka, akan membuat KUHP baru lebih eksesif dan “menjajah“ warga negara sendiri daripada KUHP buatan kolonial yang sekarang berlaku. Karena, dalam beberapa praktik, pengaturan seperti itu kemudian nyata-nyata menimbulkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. “Contohnya dapat dilihat dari dibangkitkannya lagi penghinaan presiden dan penghinaan pada pemerintah yang sah, yang jelas-jelas sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yakni aliansi yang terdiri dari Elsam, ICJR, PSHK, ICW, LeIP, AJI Indonesia, LBH Pers, Imparsial, KontraS, HuMA, Wahid Institute, LBH Jakarta, PSHK, ArusPelangi, HRWG, YLBHI, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, dan ECPAT.
Dunia Melihat
PENANGKAPAN 10 orang aktivis pada 2 Desember 2016 pagi oleh aparat Polda Metro Jaya mendapat perhatian media internasiona. Media Singapura, Channel News Asia, misalnya, mengatakan polisi Indonesia menahan saudara perempuan mantan Presiden Megawati.
Media dari negeri jiran juga, dari Malaysia, New Straits Times Online, mengutip Bernama, membuat berita dengan judul “Sukarno’s daughter, rockstar Ahmad Dhani among 10 nabbed over treason“. Ditulis di New Straits Times Online, penangkapan itu tidak terkait aksi demo 2 Desember yang meminta penahanan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tapi karena melakukan tindakan makar melawan pemerintah.
Lalu, media Inggris, The Telegraph, membuat berita penangkapan tersebut dengan judul “Daughter of Indonesia’s founding president arrested over alleged anti-government plot, amid mass protests“. Dituliskan dalam berita Telegraph yang bersumber dari seorang pengacara, “Rachmawati Soekarnoputri, anak dari pendiri Indonesia, Presiden Soekarno, dan adik dari mantan Presiden Megawati, ditangkap pada dini hari Jumat….”
Ditulis pula, sebelumnya, wartawan dari media-media di Indonesia meliput konferensi pers Rachmawati yang meminta para pendemo menduduki gedung parlemen. Aksi Rachmawati tersebut, dikatakan dalam dalam berita itu, dianggap sebagai tindakan makar oleh polisi karena telah melawan pemerintah.
Reuters dalam laporannya yang bertajuk “Sea of protesters in Jakarta amid fury over Christian governor” menulis, 10 orang ditangkap menjelang pagi, yang delapan di antaranya diduga akan melakukan makar. [PUR]