Wartawan, Pejuang Kemerdekaan, Perempuan

Presiden Megawati Soekarnoputri menganugrahkan penghargaan kepada perintis kemerdekaan dan tokoh wanita Ibu S.K. Trimurti pada Hari Ibu 2003/ist

Koran Sulindo – Sejarah pers Indonesia tak hanya diisi para lelaki, kaum perempuan juga berjuang. Ini beberapa nama:

Rohana Koedoes

Rohana Koedoes dilahirkan pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat. Rohana memiliki nama asli Siti Rohana . Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam. Rohana adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama, juga sepupu dari Agus Salim, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Rohana adalah mak tuo (bude) dari penyair terkenal Chairil Anwar.

Rohana berasal dari keluarga relijius namun cendekia. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal di bangku sekolah. Pendidikan baca tulis diajari ayahnya, Mohammad Rasjad Maharadja Soetan, seorang pegawai pemerintah Belanda.

Rohana kecil sering dibawakan majalah-majalah berbahasa Belanda oleh ayahnya. Pada waktu berusia 8 tahun, Rohana sudah mampu mengajarkan baca tulis kepada teman-teman sepermainannya. Ketika teman-temannya asyik bermain boneka, Rohana asyik dengan buku-buku bacaannya. Kecerdasan Rohana sudah terlihat menonjol sedari kecil.

Pada masa kecil itu, keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi menyebabkan Rohana cepat mengusai materi-materi yang diajarkan oleh ayahnya. Materi pelajaran tersebut meliputi membaca, menulis, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Melayu, dan berhitung.

Rohana juga berteman baik dengan istri pejabat Belanda, atasan ayahnya. Istri pejabat Belanda itu mengajari Rohana materi-materi keputrian seperti menyulam, menjahit, menenun, merajut, dan memasak. Dari pertemanan baik itu ia bisa membaca banyak majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai hal tentang politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa. Selain itu, Rohana kecil juga belajar agama kepada para alim ulama di surau dan masjid.

Pada 1908, Rohana menikah dengan seorang pria bernama Abdoellah Koedoes. Sang suami merupakan seorang wartawan yang berwawasan luas, dan dikenal dalam kepiawaiannya mengatur kata-kata di surat kabar.

Ada satu cita-cita yang ingin Rohana wujudkan yaitu membentuk sekolah khusus bagi kaum perempuan. Berbekal semangat yang tinggi dan tekad membaja, Rohana mengundang dan mengumpulkan 60 tokoh masyarakat Koto Gadang. Dia mempresentasikan cita-cita pendirian sekolah khusus perempuan. Para tokoh masyarakat tersebut sangat mengagumi visi dan misi sekolahan Rohana. Akhirnya para tokoh masyarakat menyetujui berdirinya sekolah tersebut. Pada 1911 berdirilah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS). Materi pelajarannya meliputi tulis-menulis, budi pekerti, dan keterampilan lainnya.

Cita-citanya ternyata tidak terhenti hingga di situ. Setelah berhasil mendirikan Sekolah, Rohana ingin mewujudkan impiannya yang lain yaitu mendirikan surat kabar khusus perempuan. Rohana sering mengirimkan artikel yang mencerminkan gagasan-gagasannya. Banyak orang yang mengagumi tulisan Rohana. Tak terlihat bahwa sebenarnya Rohana tak berpendidikan tinggi.

Hobi membaca dan menulis inilah,  yang mengantarkan Rohana sebagai jurnalis perempuan pertama di negeri ini. Pada akhirnya, Rohana mewujudkan impiannya, dengan mendirikan surat kabar Sunting Melayu pada 10 Juli 1912, surat kabar perempuan pertama di Indonesia.

Sesuai dengan target pembaca yang jadi sasarannya, oleh karena itu pemimpin redaksi, redaktur, penulis, semuanya adalah perempuan. Surat Kabar ini, terbit atas kerjasama Rohana dengan Dt. St. Maharaja pimpinan surat kabar Utusan Melayu. Rohana bernegosiasi dengan Dt. St. Maharaja melalui korepondensi surat menyurat.

Rohana meminta agar surat kabar yang dipimpin Dt. St. Maharaja dapat menyediakan ruangan-rubrik yang membicarakan masalah perempuan. Sekaligus menawarkan untuk menerbitkan sebuah surat kabar khusus perempuan.

Rohana adalah tipe perempuan dinamis, cerdas, menyukai tantangan-tantangan baru. Kemudian dia memutuskan untuk mencoba di daerah lain. Dia memutuskan untuk pindah ke Lubuk Pakam dan Medan. Di tempat yang baru itu, dia tetap melakukan apa yang dicintai yaitu mengajar dan memimpin surat kabar ‘Perempuan Bergerak”.

Ada peribahasa lama menyebutkan, “Sejauh-jauhnya bangau terbang, pada akhirnya dia pulang kandang juga” dan itu yang dilakukannya yaitu kembali ke kota Padang.

Sekembali ke kampung halamannya, dunia jurnalistik tetap tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Di kota kelahirannya tersebut, dia menjadi redaktur surat kabar ”Radio”. Surat kabar ini diterbitkan oleh Tionghoa-Melayu. Dia juga berkontribusi terhadap surat kabar ”Cahaya Sumatera”.

Siti Rohana Koedoes setia menyuarakan hak-hak kaumnya untuk mendapat pendidikan setara dengan laki-laki. Setelah berjuang sepanjang hidupnya, Rohana dipanggil ke hadirat Illahi pada 17 Agustus 1972 di usia 88 tahun.

SK Trimurti

Nama SK Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah
wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda sudah menjalani hidup di bui (1936-1943) karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara. Di usia tua, hidupnya tetap penuh semangat, penuh canda, dan tampak tetap enteng menjalani hidup.

S.K. Trimurti diapit oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Presiden Sukarno setelah dilantik sebagai Menteri Perburuhan pada Oktober 1947

Soerastri Karma Trimurti, lahir di kota kecil Boyolali, Jawa Tengah, 11 Mei 1912. Keluarga Soerastri dapat dikatakan sebagai kalangan priyayi. Sewaktu Surastri lahir, ayahnya bekerja sebagai carik atau juru tulis camat, kemudian meningkat menjadi asisten wedana atau camat.

Pengalaman pertama Soerastri menulis di majalah dimulai pada 1933, saat bergabung dengan Partindo yang menerbitkan majalah “Bedug”, yang kemudian berganti nama menjadi ”Terompet”. Ia lalu menjadi pemimpin redaksi majalah “Suara Marhaeni”.

Saat di majalah terakhir inilah mulai mencantumkan nama samaran, “Trimurti”. Ia takut ibunya tahu aktivitasnya.

Ketika tinggal di Solo, ia pernah mengirim beberapa tulisan dengan nama samaran Karma. Sejak itu hingga selamanya namanya berubah Soerastri Karma Trimurti, disingkat S.K. Trimurti.

Kehidupannya mulai berubah ketika pada 1937 Trimurti berkenalan dengan Mohammad Ibnu Sayuti, saat membantu majalah “Sinar Selatan”. Laki-laki yang biasa dipanggil dengan Sayuti Melik itu, untuk membedakan dengan Sayuti Melok, melamarnya. Mereka menikah pada 19 Juli 1938 diSolo.

Watak keras kepala dan keberanian Trimurti sudah terlihat sejak masih remaja. Selain aktif dalam berorganisasi, ia juga aktif menulis pada berbagai majalah majalah.Tulisannya yang berisi perjuangan dan kemerdekaan menyebabkan ia ditangkap dan dipenjara penjajah Belanda.

Namun hal itu tidak menimbulkan rasa jera. Bahkan setelah menikah pun ia sempat di penjara. Bisa dikatakan pada setiap periode Trimurti pasti ditangkap dan dipenjara, sejak dari masa penjajahan Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, dan masa Revolusi.

Pengalaman terparah dia alami saat hamil anak kedua, ia ditangkap Kenpetai Jepang. Ia kenyang dipukul kepalanya dengan pentungan. Trimurti menghembuskan nafas terakhir pada 20 Mei 2008, di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta dalam usia 96 tahun.

Rangkayo Rasuna Said

Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada 14 September 1910. Sejak kecil telah mengenyam pendidikan Islam di pesantren. Pada saat sekolah inilah, ia pernah menjadi satu-satunya santri perempuan.

Rasuna Said/dok

Sejak mengalami kondisi itu Rasuna mulai memperhatikan kemajuan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ia menilai bahwa perjuangan tersebut tidak bisa hanya melalui jalur pendidikan, namun harus dengan perjuangan politik.

Maka bergabunglah ia di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang, menyusul menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.

Sebagai putri Minang yang dibesarkan dalam tradisi keluarga yang taat dan mendalami agama, Rasuna berguru pada Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka. Alhasil, selain mendapat kedalaman ilmu agama, ia juga memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai Pergerakan Islam modern. Pelan-pelan kesadaran politik Rasuna mulai bangkit.

Dipenuhi dengan berbagai macam pemikiran yang bergolak, membuat dia memutuskan untuk mencari wadah untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Pada 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah “Raya”. Majalah ini dikenal radikal bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat.

Dampak dari tulisan-tulisan kritisnya membuat polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Melihat kondisi demikian, membuat Ia mengambil keputusan pindah ke Medan, Sumatera Utara.

Di kota itu. Pada 1937, Rasuna mendirikan perguruan putri. Sementara itu, kesukaannya akan dunia tulis menulis dan menyebarluaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan “Menara Poeteri”. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu”. Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan antikolonialisme di tengah-tengah dada kaum perempuan.

Di sisi lain, dalam karir politiknya, Rasuna pernah menjabat sebagai DPR RIS dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai meninggal.Hajjah Rangkayo Rasuna Said tutup usia pad 2 November 1965 pada usia 55 tahun. (Noor Yanto)