Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akhir-akhir ini menandai krisis struktural dalam industri media massa. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan pekerja media, tetapi juga pada keberlanjutan praktik jurnalisme berkualitas. Apun alasannya PHK tersebut teman-teman jurnalis harus bertahan dalam hantaman PHK yang melanda indrustri media massa saat ini.
Dalam konteks ini, profesi jurnalis harus melakukan diversifikasi peran agar tetap bisa bertahan. Mereka yang sebelumnya bekerja dalam sistem redaksi yang hierarkis, kini harus belajar menjadi pekerja kreatif yang mandiri dan fleksibel sesuai dunia digital saat ini. Jurnalis saat harus mampu membangun audiens sendiri serta menjual kompetensinya di luar institusi formal medianya dahulu.
Realitas ini, menuntut jurnalis untuk lebih dari sekadar melaporkan data dan fakta, mereka harus membangun brand pribadi, merancang konten yang dapat bersaing dengan berbagai unggahan viral. Namun tidak hanya itu, konten juga haruslah menarik perhatian audiens agar tetap relevan. Banyak jurnalis kini terlibat dalam pembuatan video singkat, podcast, youtube, atau bahkan membuat thread informatif di media sosial. Tidak jarang juga bebera jurnalis eX Tv join dengan selebbrity atau selebgram menjadi kreatif konten kreator mereka.
Meskipun, kebutuhan untuk tampil menarik dan mengedukasi audiens dengan cara yang menyenangkan sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang mengedepankan ketepatan dan kedalaman informasi. Namun inilah tantangan dan tentu saja tidak mudah. Meskipun beberapa jurnalis berhasil menavigasi perubahan ini dengan cerdik, banyak yang merasa terjebak antara tuntutan profesionalisme dan dorongan untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat monetisasi.
Dalam kerangka teori jurnalisme digital, perubahan ini menggambarkan terjadinya konvergensi ruang produksi berita. Di mana batas antara produsen, distributor, dan konsumen informasi menjadi kabur. Jurnalis tidak lagi beroperasi dalam institusi yang otonom, melainkan dalam ekosistem platform yang menuntut kecepatan, keterlibatan, dan performativitas, sesuai tuntutan penonton digital yang emang doyan instan.
Dilema yang muncul adalah apakah seorang jurnalis tetap dapat menjaga objektivitas dan independensinya ketika ia harus menjadi sosok yang menghibur dan menarik perhatian untuk bertahan di dunia digital? Di satu sisi, media sosial memberikan kebebasan bagi jurnalis untuk lebih dekat dengan audiens dan membangun hubungan yang lebih personal. Di sisi lain juga, jurnalis harus menghindari godaan untuk terjerumus pada sensationalisme atau clickbait demi mengejar angka pengikut dan keuntungan finansial.
Seiring perkembangan pesat media sosial saat ini, profesi jurnalis dihadapkan pada tantangan yang tak biasa. Salah satunya beradaptasi dengan cara baru dalam menyampaikan informasi. Jurnalis yang dahulu dikenal dengan peranannya sebagai penyampai berita objektif kini harus memikul tanggung jawab ganda-sebagai wartawan dan sekaligus content creator. Fenomena ini menciptakan pergeseran yang menarik, di mana batasan antara profesi jurnalisme dan dunia hiburan semakin kabur, mengikuti keingian folowers.
Perubahan besar ini dipicu oleh disrupsi digital yang mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi. Dulu, media massa satu-satunya arus utama menjadi saluran utama untuk mendapatkan berita. Namun sekarang, platform media sosial seperti Instagram, Twitter/X, YouTube dan yang lainnya, memberikan alternatif yang lebih cepat dan interaktif. Audiens kini lebih memilih konten yang dapat mengundang reaksi langsung, disukai, dan dibagikan, alih-alih berita yang disampaikan dalam format yang kaku seperti media mainstream sebelumnya.