Pelabuhan Batavia di era penjajahan Ingggris (foto/rafflesandjavablog.wordpress.com)

Koran Sulindo – Sukses mengambil alih Hindia dari Belanda yang didukung Prancis pada 11 September 1812, Kerajaan Inggris pada akhirnya mewarisi sebuah wilayah luas yang sangat kaya.

Ketika Inggris datang, kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai kekuatan maritim hanya tinggal menyisakan cerita.

Kebudayaan Jawa telah berevolusi menjadi budaya agraris dengan sebagian besar populasinya tinggal di wilayah pedalaman dan bergantung di sektor pertanian.

Mereka buta bahkan ‘buta’ dengan keadaan geografis di luar pulau mereka sendiri.

Pengetahuan yang mereka dapat umumnya hanya bersumber dari pengetahuan pedagang Arab dan kisah pelayaran nenek moyang mereka dahulu.

Situasi inilah yang menjelaskan mengapa hampir semua bandar laut di sepanjang pantai utara dikuasai oleh para pedagang Melayu, Bugis, Arab, India, dan Cina.

Meski dibanjiri banyak perhiasan emas dan permata sebagai alat tukar hasil-hasil pertanian, di bawah sistem perdagangan ketat yang diterapkan Belanda orang-orang Jawa harus puas dengan dengan keuntungan kecil dan menjadi penonton di tanah sendiri.

Dengan semua jalur perdagangan rempah ke pasar dunia dikuasai orang-orang Eropa, perekonomian di Jawa yang berbasis perdagangan berangsur-angsur merosot hingga titik yang mengerikan.

Jawa justru tampil menjadi wilayah penghasil produksi pertanian dan bahkan disebut sebagai lumbung pangan bagi pulau-pulau di sekitarnya.

Dengan pesisir pantai selatan sulit disandari kapal karena gelombang tinggi, pelabuhan sebagai pintu masuk barang dan orang terkonsentrasi di pesisir utara Jawa dengan jumlah pelabuhan utama mencapai 13 pelabuhan dengan puluhan lainnya berupa pelabuhan kecil-kecil.

Tanpa gelombang besar, pelabuhan-pelabuhan itu menjadi tempat yang sangat ideal bagi kapal-kapal untuk bersandar. Bahkan berlabuh di laut terbuka sekalipun, kapal bakal tetap terlindung dari angin hembusan angin kencang dan jangkar tetap aman.

Hampir di semua pelabuhan-pelabuhan besar itu sekaligus dibangun pasar untuk menopang transaksi perdagangan seperti di Banten, Batavia, Rembang, Gresik dan Surabaya.

Beberapa sungai besar di Jawa juga dapat dilayari sampai ke tengah kota seperti di sungai-sungai dari Tangerang, Karawang dan Indramayu di bagian barat yang adalah urat nadi mengalirnya produk-produk pertanian dari pedalaman.

Dari sungai-sungai itu produk pertanian bernilai tinggi dikumpulkan di Batavia untuk kemudian di ekpsor ke pasar internasional.

Di timur, Sungai Bengawan Solo menjadi lalu lintas utama aliran barang dari Surakarta menuju Kediri dan pesisir utara.

Namun dengan sedimentasi berat, kapal-kapal besar hanya bisa masuk ke pedalaman di musim hujan ketika permukaan sungai naik. Kapal-kapal itu umumnya mengangkut hasil bumi dan menukar muatannya dengan garam.

Selain itu, karena sungai-sungai itu melewati hutan-hutan jati dan dengan gampangnya mengirim kayu-kayu itu mengikuti aliran, maka dengan mudah banyak dibangun pelabuhan-pelabuhan kecil di sepanjang pantai utara.

Diperah Habis-habisan

Secara umum perdagangan laut di Jawa terbagi dalam dua bagian yakni yang dilakukan oleh saudagar lokal baik yang bersifat intern dan ekstern yang melibatkan seluruh pulau di Nusantara, dan pedagang Eropa dan Amerika yang menyasar pasar India, Cina, Afrika, Amerika, dan Eropa.

Menurut catatan Inggris, jumlah kapal dagang besar yang berlabuh di Pelabuhan Batavia di tahun 1821 berjumlah 239 kapal dengan total muataan sebanyak 48.290 ton.

Sementara itu jumlah kapal Jawa yang beroperasi hanya 455 kapal dengan muatan 7.472 ton.

Di sisi lain, dengan jumlah bongkar muat barang di Pelabuhan Batavia mencapai 55.762 ton, jumlah barang ekspor tetap menjadi andalan hingga mencapai 44.613 ton dan hanya 7.762 ton berupa industri kerajinan lokal.

Tahun berikutnya, Pelabuhan Batavia disandarai 288 kapal asing dengan muatan 51.099 ton. Di sisi lain, jumlah kapal pribumi yang bersandar naik hampir dua kali lipat menjadi 796 kapal dengan muatan 13.214 ton.

Naiknya jumlah kapal pribumi yang sandar di Batavia menunjukan perbedaan cara orang Eropa memberlakukan saudagar pribumi.

Era Batavia di masa VOC adalah pelabuhan yang tertutup dan baru dibuka menjadi pelabuhan terbuka. Jumlah barang bongkar muat itu terus naik di sepanjang tahun-tahun berikutnya.

Sementara itu jumlah muatan yang dibongkar dan dimuat di Anyer yang dalam perjalanannya melewati Selat Sunda dari Eropa, Afrika dan Amerika tercatat 73 kapal dengan muatan 29.450, tahun berikutnya jumlah  kapal yang sama mengangkut 37.544 ton dan naik lagi menjadi 13 kapal dengan muatan 56.942 ton di tahun 1814.

Dari data resmi tahun 186 menunjukkan muatan kapal yang berlabuh di Selat Sunda sebanyak 45.000 ton, 56.000 ton, 64.000 ton dan 130.000 ton  dari tahun 1812, 1813, 1814 dan tahun 1815 dengan jumlah total muatan dalam empat tahun tersebut adalah 390.000 ton.

Sementara itu di Pelabuhan Surabaya, selama tiga tahun sejak 1812 jumlahnya bongkar muat jumlahnya mencapai 30 ribu ton. Jumlah lebih besar dibongkar muat di Pelabuhan Gresik.

Di Sumenep yang terletak di ujung timur Madura yang menampung kapal-kapal dagang lokal tercatat bongkar muat di tahun 1812 mencapai 3.765  dengan jumlah tonase 15.230 ton. Jumlah itu naik di tahun berikutnya menjadi 4.752 kapal dengan tonase 33.769 ton.

Sama dengan di Jawa Timur, di pelabuhan-pelabuhan Jawa Tengah juga mengalami peningkatan. Di Rembang tercatat 862 kapal dengan muatan 8.058 ton dan naik menjadi 1.095 kapal dengan 8.657 ton di tahun berikutnya dan naik lagi menjadi 1.455 kapal dengan muatan 12.935 ton.

Di tahun yang sama, dari Pelabuhan Pekalongan tercatat jumlah muatan sebanyak 5.962 ton dan naik namun turun di tahun berikutnya menjadi 4.679 sementara di Tegal muatan yang dibongkar mencapai 2.445 ton namun juga turun di tahun berikutnya menjadi 1.926 ton.[TGU]