Ilustrasi/dema.faperta.ugm.ac.id

Koran Sulindo – Meski telah lewat sepekan, gaung Hari Tani Nasional masih terasa hingga kini. Berbicara Hari Tani, tentu terkait dengan reforma agraria sejati. Di samping, nasionalisasi aset asing,   pembangunan industri nasional, reforma agraria – cita–cita Revolusi Agustus 1945 itu – diwujudkan Presiden Soekarno dengan menerbitkan Undang Undang Pokok Agraria [UUPA] 1960.

Penerbitan UU ini merupakan usaha untuk menggantikan UU Kolonial Agraria 1870 yang memberikan kesempatan luas bagi kolonial, tuan tanah, dan investor untuk merampas serta memonopoli tanah rakyat. Lahirnya UUPA ini boleh disebut sebagai kemenangan besar kaum tani dan rakyat Indonesia pada umumnya.

Keinginan kaum tani yang menghendaki keadilan dan hak atas sumber daya alam itu sejalan dengan pemikiran Bung Karno. Apalagi Bung Besar ini sejak awal telah terinspirasi oleh seorang kaum tani yang bernama Marhaen. Lewat Marhaen pula Bung Karno menelurkan pemikirannya yang menjadi sebuah paham: Marhaenisme. Paham ini merupakan analisis dan pemikiran Bung Karno atas kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia pada 1926 hingga 1927.

Penetapan UUPA boleh disebut tonggak sejarah paling penting dalam sejarah agraria Indonesia. Pada masa-masa awal revolusi, struktur agraria yang menjadi warisan feodalisme dan kolonialisme menjadi problem pokok yang membelenggu kaum tani. Di bawah Bung Karno, hal itu kemudian yang dirombak lewat UUPA.

Cita-cita yang melandasi UUPA adalah untuk menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah untuk meningkatkan kehidupan kaum tani. Bahkan program landreform yang menjadi inti dari UUPA oleh Bung Karno di berbagai kesempatan menyebutnya sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.

Berdasarkan itu pula, Bung Karno lewat keputusan presiden menetapkan hari lahir UUPA sebagai Hari Tani Nasional.

Akan tetapi, 56 tahun berselang, struktur penguasaan agraria dan tanah di Indonesia justru kian timpang. Penguasaan lahan dalam jumlah besar hanya di tangan segelintir orang.

Untuk perkebunan sawit, tuan tanah besar telah mengantongi izin yang mencapai 29 juta hektare, termasuk luas lahan perkebunan yang dikuasai negara. Sedangkan kawasan hutan terdapat 531 konsesi hutan skala besar di atas lahan sekitar 36 juta hektare.

Di sektor pertambangan terdapat sekitar delapan ribu izin pertambangan di atas lahan sekitar 2,5 juta hektare hingga Juni 2012. Secara nasional kepemilikan atau monopoli tanah itu terdiri atas 16 grup tuan tanah besar termasuk pemerintah.

Berdasarkan fakta tersebut, UU PA bisa saja akan bernasib seperti pembela utamanya yakni Bung Karno, yaitu tersingkirkan. Hingga hari ini UU PA ini tak pernah terlaksana walau sempat terjadi aksi sepihak [aksef] dari kaum tani di bawah organisasi Barisan Tani Indonesia [BTI]. Meski dikritik oleh lawan politiknya, Bung Karno tidak gegabah dan ikut-ikutan menyalahkan aksef tersebut.

Justru untuk membela kaum tani itu, Bung Karno pernah berkata “Terlebih dulu saya akan menjawab pengkritik-pengkritik saya, yang menganggap saya telah berbuat ‘keterlaluan’ dengan mendudukkan kaum tani sebagai salah satu sokoguru revolusi, bersama dengan kaum buruh. Tukang-tukang kritik itu rupanya begitu terpisahnya dari hidupnya kaum tani, sehingga tak tahu mereka apa yang menjadi watak kaum tani itu.”

Bung Karno nampaknya paham betul kaum tani tidak dapat dipisahkan dari tanah. Itu sebabnya, tanah untuk kaum tani dianggap mutlak sehingga tanah tidak menjadi alat penghisapan oleh kaum yang bukan pembela petani. Pada akhirnya Bung Karno menyimpulkan revolusi Indonesia tanpa landreform sama saja dengan omong besar. [KRG]