Utang Pemerintah Memang Naik, tapi Tak Sampai Gagal Bayar

Krisis bisa terjadi akibat utang yang begitu besar dan pemerintah tidak dapat membayar utangnya [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Utang pemerintah memang naik signifikan dan menimbulkan kekhawatiran sebagaimana disebut Badan Pemeriksa Keuangan tapi utang itu dinilai tidak akan sampai pada tahap gagal bayar.

Hal itu dipastikan ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Teuku Riefky dalam keterangannya, Sabtu (26/6).

“Saya rasa memang iya utang kita naiknya melonjak drastis. Kita tidak pernah memiliki utang secara rasio PDB setinggi ini, tapi kalau dibandingkan banyak negara kita memang jauh lebih aman. Jadi, saya tidak melihat ini sebagai ancaman bahwa kita akan mendekati gagal bayar,” ujar Riefky.

Per Mei 2021, utang pemerintah Indonesia meningkat 22 persen menjadi Rp6.418,15 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp5.258,7 triliun.

Sementara, rasio utang pemerintah per Mei 2021 mencapai 40,49 persen, melonjak dibandingkan posisi Mei 2020 lalu 32,09 persen.

Utang pemerintah memang meningkat selama masa pandemi karena mendesaknya berbagai kebutuhan untuk menangani krisis kesehatan dan juga berbagai program perlindungan dan bantuan sosial untuk menjaga agar dampak pandemi terhadap masyarakat dan badan usaha yang rentan tidak terlalu parah.

“Permasalahannya ini kita harus membahasnya dalam konteks yang sesuai. Memang betul di satu sisi utang Pemerintah Indonesia ini naik melampaui kondisi-kondisi sebelum adanya pandemi, tapi kalau kita bandingkan dengan negara lain, utang kita melonjaknya tidak yang paling parah. Bahkan, banyak negara yang utangnya sampai di atas 100 persen dari GDP-nya atau mendekati 100 persen. Kita masih 40 persen. Ini pun juga sebelum pandemi kita jauh lebih rendah dari negara lain,” kata Riefky.

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020, rasio defisit dan utang terhadap PDB Indonesia masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, namun trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.

BPK menyebutkan indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief antara lain rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen. Selain itu, indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.

“Apa yang disampaikan BPK itu betul, tapi saya rasa belum komplit atau belum utuh. Satu, iya utang kita meningkat, tapi yang tidak disampaikan oleh BPK, utang Indonesia sebagian besar itu utang jangka panjang. Jadi, kita tidak bicara kita gagal bayar setahun dua tahun, ini adalah utang yang memang jatuh temponya 30 sampai 50 tahun,” ujar Riefky.

Riefky menambahkan utang pemerintah tersebut digunakan untuk membantu masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau usahanya terganggu karena pandemi agar tetap bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.

Utang juga digunakan untuk berbagai program strategis pemerintah seperti pembangunan infrastruktur dan juga membuat lapangan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kemampuan membayar utang Indonesia juga akan meningkat.

“Jadi, saya rasa ini isunya juga perlu didudukkan sesuai dengan konteksnya. Bahwa ini untuk kebutuhan yang urgent iya, bahwa ini tidak ada cara lain, iya, karena saat ini penerimaan pemerintah sangat tertekan selama pandemi. Namun, bahwa ini adalah utang yang bukan jatuh tempo dalam waktu dekat, itu juga perlu disampaikan,” kata Riefky.

Meski demikian, Riefky mengingatkan utang pemerintah harus dikelola secara sangat hati-hati dan disiplin, serta publik juga harus terus memantau pengelolaan utang pemerintah tersebut.

Ia menilai selama utang pemerintah digunakan untuk kebutuhan yang produktif seperti menjaga daya beli dan kesejahteraan masyarakat, tidak akan menjadi masalah ke depannya. Risiko gagal bayar pun juga tampaknya kemungkinan kecil akan terjadi.

“Saya juga perlu tekankan ini sangat jauh, saya rasa ini bahkan tidak akan mungkin terjadi gagal bayar. Artinya, kalau kita melihat kondisi pandemi ini, ada 50 lebih negara yang utangnya jauh lebih parah dari Indonesia. Kalau kita sampai melihat Indonesia gagal bayar, berarti kita sudah sampai di tahap melihat 50 negara lain ini sudah mengalami gagal bayar. Saya rasa ini skenario yang sangat kecil kemungkinannya akan terjadi,” ujar Riefky. [Wis]