Utang Indonesia Naik Hampir Dua Kali Lipat di Bawah Jokowi

Ilustrasi/ing.com

Koran Sulindo – Kenaikan utang pemerintah Indonesia menjadi topik panas menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019. Pemerintah pusat mengalami kenaikan utang sebanyak 48% (atau hampir dua kali lipat dari pemerintahan sebelumnya) semenjak Presiden Joko “Jokowi” Widodo memulai pemerintahannya pada 2014.

Prabowo Subianto, lawan politik Jokowi di pilpres tahun depan, menyatakan bahwa dalam kondisi utang yang terus bertambah, Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Jokowi dalam hal ini beranggapan bahwa klaim Prabowo mengandung pesimisme yang berlebihan.

Di dalam artikel ini kami memberikan elaborasi dan analisa objektif mengenai situasi utang pemerintah. Tulisan ini diharapkan akan membantu menjawab kekhawatiran masyarakat tentang prospek ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Pinjam Lagi, Pinjam Lagi

Utang negara yang berlebihan membawa Yunani ke krisis ekonomi pada 2017. Pengalaman ini pelajaran berharga bagi bangsa lain untuk mengevaluasi strategi pengelolaan utang negara. Mungkin ini yang menjadi dasar kekhawatiran Prabowo bahwa Indonesia akan terjerumus dalam krisis yang sama.

Tapi, apakah Indonesia akan mengalami hal serupa dengan Yunani?

Untuk menjawabnya, mari kita tinjau lebih dalam status utang Indonesia saat ini.

Utang negara pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 berkisar di angka US$122 miliar. Selama 4 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, utang tersebut bertambah 48% hingga mencapai US$181 miliar. Penambahan utang yang terjadi cukup besar jika dibandingkan dengan masa pemerintahan SBY; antara 2009 dan 2013 utang negara naik di kisaran 26%.

Utang Pemerintah Indonesia, 2010-2018* (US$ Miliar); Sumber: Bank Indonesia; *data Maret 2018.

Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini berada pada kisaran 30%, meningkat dari 24,7% pada 2014. Angka tersebut masih relatif aman dan sesuai dengan aturan Undang-Undang Keuangan Negara yang membatasi rasio utang terhadap PDB di angka 60%.

Utang pemerintah Indonesia juga masih relatif terkendali jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Di Amerika dan Jepang, rasio utang terhadap PDB masing-masing berada di angka 105% dan 253%. Angka sebesar itu cukup umum di negara maju yang secara mudah bisa mendapatkan pinjaman. Di kawasan Asia Tenggara, rasio utang terhadap PDB Indonesia juga relatif rendah.

Rasio utang terhadap PDB, 2008 dan 2017; Sumber: Bank Dunia dan IMF.

Membedah Utang Indonesia

Setelah memahami status utang Indonesia saat ini, pertanyaan berikutnya adalah: haruskah kita khawatir tentang hal itu?

Pertama, kita perlu menganalisis strategi Indonesia dalam pencarian sumber utang.

Dalam beberapa tahun terakhir pinjaman Indonesia lebih bergantung pada dana lokal daripada dana asing. Ini upaya pemerintah dalam mengurangi risiko nilai tukar dan goncangan ekonomi global yang terkait dengan pinjaman luar negeri. Strategi tersebut tercermin pada meningkatnya penggunaan surat utang berdenominasi rupiah yang diterbitkan dalam lingkup domestik.

Statistik dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa proporsi pinjaman luar negeri dalam portfolio utang Indonesia menurun dari 78% ke 30% pada 2008 ke 2017. Di sisi lain, proporsi surat utang berdenominasi rupiah meningkat dari 21,7% menjadi 70% pada periode yang sama.

Isu lainnya yang penting untuk kita amati adalah penggunaan utang oleh pemerintah.

Pengurangan proporsi pinjaman luar negeri memberikan fleksibilitas dan ruang lebih dalam penggunaan pinjaman. Utang yang diperoleh dari kreditor asing sering kali disertai dengan kondisi dan batas-batas bagaimana debitur dapat menggunakan pinjaman tersebut.

Pemerintah telah mengalokasikan sebagian besar utangnya ke bidang infrastruktur yang menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Jokowi. Dana utang dialokasi untuk proyek-proyek skala besar seperti bandara, pelabuhan laut, sistem transportasi massal, jalan tol, serta pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi.

Di dalam rencana kerja dan anggaran Jokowi, pengeluaran untuk infrastruktur meningkat secara konsisten di kisaran US$10 miliar per tahun, hampir empat kali lipat dari pemerintahan sebelumnya.

Selain infrastruktur, pemerintahan Jokowi juga memprioritaskan pengeluaran di dua sektor ekonomi utama lainnya yaitu pendidikan dan kesehatan.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar, pemerintah Jokowi telah mengalokasikan 20% dari anggaran tahunan untuk pendidikan, termasuk menyiapkan Sovereign Wealth Fund untuk mengelola dana beasiswa bagi pendidikan pascasarjana.

Di sektor kesehatan pemerintah telah meningkatkan anggaran untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hingga September 2017 sekitar 70% penduduk Indonesia telah menikmati manfaat dari program jaminan kesehatan pemerintah. Target pemerintah adalah menjamin kesehatan seluruh penduduk Indonesia melalui program ini pada 2019.

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi telah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak 2015. Beberapa pihak menganggap kebijakan ini tidak populer untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di jangka pendek. Biaya bahan bakar yang meningkat memacu peningkatan biaya produksi dan penurunan kegiatan ekonomi. Namun keputusan ini akan berdampak positif dan substansial dalam pengurangan beban utang Indonesia di masa mendatang.

Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan kenaikan anggaran di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur sebesar masing-masing 11%, 54% dan 118% dari tahun 2014 ke 2017. Di sisi lain, anggaran untuk subsidi BBM mengalami penurunan sebesar 77%.

Strategi anggaran pemerintah dapat dikatakan sebagai keputusan yang baik untuk peningkatan produktivitas dan standar hidup. Sesuai dengan argumen teori ekonomi makro klasik, pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang disertai dengan peningkatan standar hidup yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas.

Produktivitas sangat ditentukan oleh pertumbuhan infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia. Dengan mengalokasi sebagian besar anggaran untuk sektor infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, Jokowi berada di jalur yang benar untuk meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas yang memicu pertumbuhan ekonomi akan membawa Indonesia ke posisi utang yang semakin membaik.

Lalu Apa?

Akumulasi utang pemerintah Indonesia memang satu hal yang perlu disikapi dengan cermat. Pengalaman Yunani telah memberikan pelajaran bagi negara-negara untuk mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap manajemen utang.

Namun kami tidak melihat masalah utang Indonesia sebagai isu ekonomi yang mengancam. Di masa menjelang pemilihan presiden, persoalan utang Indonesia sepertinya dibesar-besarkan dan dipolitisasi.

Rasio utang terhadap PDB Indonesia masih dalam batas yang dapat dikendalikan. Indonesia juga bergerak ke arah yang benar dalam penggunaan utangnya secara efektif. Tiga lembaga internasional pemberi peringkat kredit dalam hal ini sepakat dengan analisa tersebut. Peringkat kredit rating Indonesia baru-baru ini mengalami kenaikan.

Tentu saja masih ada ruang perbaikan di berbagai hal yang lain. Indonesia masih harus terus berjuang untuk menaikkan pendapatan perpajakan, meningkatkan efisiensi birokrasi dan memerangi korupsi. [Tommy Soesmanto, pengajar Ekonomi di Griffith University Australia; Yenny Tjoe, pengajar Ekonomi Internasional di Griffith University Australia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia, di bawah lisensi Creative Commons.