Ribuan simpatisan PDI Perjuangan yang setia pada Megawati Soekarnoputri [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Posisi politik dan capaian PDI Perjuangan hari ini tentu saja tidak turun dari langit dan diperoleh begitu saja. Gerak sejarah partai ini telah merentang panjang sejak – walau secara tidak langsung – zaman Bung Karno hingga selepas zaman reformasi. Dan seringkali pula identik dengan wong cilik, marhaen atau rakyat tertindas.

Karena identifikasi itu pula, tentu saja basis perolehan suara PDI Perjuangan berasal dari kaum rakyat banyak itu. Berkat suara kaum marhaen dan wong cilik, PDI Perjuangan bisa eksis dan bertahan hingga hari ini. Perolehan suara PDI Perjuangan memang mengalami naik turun sejak zaman rezim fasis militer Soeharto hingga 20 tahun reformasi.

Untuk periode 2014 hingga 2019, PDI Perjuangan lagi-lagi mendulang suara terbanyak untuk pemilihan legislatif. Kendati memiliki perwakilan terbanyak di parlemen, PDI Perjuangan lagi-lagi tidak pernah mampu mendudukkan kadernya sebagai pimpinan DPR. Dan itu bukan kali pertama terjadi, sejak zaman rezim Soeharto hingga mendulang suara terbanyak untuk kali pertama pada periode 1999 hingga 2004, partai selalu gagal menduduki kursi nomor satu di DPR.

Karena fakta itu, lalu muncul istilah PDI Perjuangan acap memenangi pemilihan legislatif, tapi nyatanya tidak pernah “berkuasa”. Dengan kata lain, PDI Perjuangan hanya jago dalam pemilihan legislatif, tapi tidak untuk eksekutif. Pendeknya, menang tapi tidak berkuasa. Atas fenomena itu, benarkah PDI Perjuangan demikian?

Dalam buku Gerak Sejarah Partai Banteng: PNI, PDI, PDI Perjuangan eksistensi partai ini disebut tidak terlepas dari pergerakan nasional bangsa Indonesia. Sejak berseminya kesadaran politik sejumlah anak bangsa pada awal abad ke-20, sudah memunculkan berbagai organisasi kemasyarakatan yang merupakan cikal bakal partai politik di negeri ini.

Pernyataan tersebut tampaknya terlalu berlebihan jika mengkaitkan PDI Perjuangan dengan sejarah pergerakan nasional yang dulu masih bernama Hindia Belanda. Mungkin sah-sah saja jika ingin mengkaitkan PDI Perjuangan dengan PNI yang dibentuk Bung Karno pada 1927. Tapi, sebelum PNI muncul, sudah ada partai yang secara konsisten memperjuangkan kemerdekaan Republik yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dari perjalanan sejarah itu, PNI juga kerap mengalami hambatan dan naik turun. Dan kadang sudah berganti muka; dengan kata lain, PNI tidak selamanya menjadi partai yang setia pada ideologi partai yang dinamakan Bung Karno marhaen itu. PNI di bawah pimpinan Bung Hatta dan Syahrir, misalnya, partai tersebut cenderung menjadi lembaga pendidikan. Lalu, setelah proklamasi kemerdekaan, PNI lama kembali menemukan jati dirinya sebagai partai marhaen sehingga mampu menjadi partai pemenang dan terbesar pada 1955.

Hanya berselang satu dekade, PNI yang radikal itu kemudian hancur karena peristiwa pembantaian umat manusia oleh rezim fasis militer Soeharto. Beberapa pimpinannya bahkan hilang tanpa kabar atau dihukum mati karena dituduh terlibat dalam peristiwa 1965/66. Salah satunya adalah Sekjen PNI Surachman. Di bawah rezim fasis militer Soeharto, terutama tentang penyederhanaan sistem kepartaian yang prosesnya berlangsung sejak 1966 membuahkan gagasan fusi partai sebagai tonggak baru yang mewarnai kehidupan kepartaian di Indonesia.

Masih menurut buku itu, Soeharto pada awal 1970 di hadapan pimpinan 9 partai politik dan Golkar – yang kemudian menjadi peserta Pemilu 1971 – mengemukakan saran-sarannya mengenai pengelompokan partai-partai. Pengelompokan itu sebagai berikut, pertama, golongan nasionalis; kedua, golongan spirituil; ketiga, golongan karya.

Fusi
Mulanya gagasan itu disambut positif PNI dan Partai IPKI. Selanjutnya, Parmusi melalui ketuanya, Djarnawi Hadikusumo mengakui, gagasan Soeharto itu sejalan dengan rencana Kongres Umat Islam pada 1969. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Subchan ZE menyatakan, manfaat dari usaha tersebut sebagai penyederhanaan proses pengambilan keputusan, sehingga alternatif pendapat di masyarakat bisa diperkecil.

“Parkindo dan Partai Katolik menolak dikelompokkan ke ‘golongan spirituil’ lebih suka dikelompokkan ke ‘golongan nasionalis’. Awalnya muncul gagasan untuk membentuk partai sendiri yang menjadi gabungan dari Parkindo dan Katolik, tapi tiddak mendapat sambutan luas,” kata Sabam Sirait, politikus senior PDI Perjuangan seperti dikutip buku itu.

Setelah sempat tersendat, perkembangan selanjutnya, tepatnya pada 9 Maret 1970, terbentuklah “kelompok nasionalis” yang terdiri atas gabungan PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba. Kelompok ini awalnya menamai diri mereka sebagai “Kelompok Demokrasi Pembangunan”. Kelompok ini merupakan cikal bakal dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara “kelompok spirituil” yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti adalah cikal bakal Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Setelah Pemilu 1971, pemerintah mendesak agar partai-partai politik segera mengadakan fusi. Bahkan MPR hasil Pemilu 1971 menyatakan secara tegas pada pemilu selanjutnya hanya akan ada 3 peserta pemilu. Karena paksaan itu, maka Kelompok Demokrasi Pembangunan segera bermusyawarah untuk membentuk sebuah partai baru. Akhirnya kesepakatan untuk menamai kelompok tersebut menjadi PDI tercapai pada 10 Januari 1973.

Setelah resmi menjadi PDI, partai ini memeroleh suara sekitar 8,6% suara atau 29 kursi di DPR pada Pemilu 1977. Kemudian, 5 tahun berselang hasil perolehan suara PDI turun menjadi 7,88% suara atau hanya 24 kursi di DPR. Menurut Sabam Sirait, jebloknya perolehan suara PDI selama 2 kali pemilu pada awal-awal terbentuknya partai itu lantaran tidak adanya kesatuan gerak dari semua pihak di partai dalam melaksanakan program yang sudah disepakati bersama. Belum adanya kesepakatan mengenai posisi partai dalam hubungannya dengan masyarakat, pemerintah dan kekuatan sosial politik lainnya.

Untuk mengatasi masalah itu, PDI merasa perlunya mendidik kader secara berkesinambungan. Gagasan agar PDI menjadi partai kader pun dilaksanakan sebagaimana hasil Kongres II partai. Tapi, tentu saja itu bukan perkara mudah. Apalagi PDI terbentuk dari beragam latar belakang. Wajar kemudian tidak ada satu ideologi yang menyatukan para kader partai.

Pendek cerita, pemerintah lalu mencampuri urusan internal PDI. Campur tangan itu dengan menunjuk Soerjadi (mantan Ketua GMNI dan Sekretaris Fraksi PDI) menjadi Ketua Umum. meski tidak pernah menjadi pengurus, Soerjadi dinilai sosok yang “bersih” dari konflik partai di masa lalu. Tokoh-tokoh senior PDI “dibuang” dan mulai merekrut orang-orang muda termasuk mengajak anak-anak Bung Karno masuk ke dalam PDI.

Tanpa ia duga, ide Soerjadi itu mendapat sambutan dari tokoh-tokoh senior PDI. Awalnya, ia mengajak Guntur Soekarnoputra. Guntur menolak ajakan itu. Kemudian, Soerjadi mengajak Megawati Soekarnoputri lewat Taufiq Kiemas yang sudah masuk ke PDI sejak 1982. Setelah itu, Guruh Soekarnoputra mengikuti jejak Megawati. Benar saja, strategi Soerjadi jitu. Terbukti PDI mendulang suara hingga 10,87% suara atau sama dengan 40 kursi di DPR pada 1987. Kemudian, Pemilu 1992, PDI mendapat suara 14,9% suara atau 56 kursi di DPR. Sejak masuknya keluarga Bung Karno ke PDI, partai ini kemudian identik dengan wong cilik.

Kesuksesan PDI itu kemudian mendapat reaksi negatif dari Soeharto. Ia mulai menilai Soerjadi tak bisa dikendalikan. Terutama karena pernyataan-pernyataan Soerjadi selama kampanye yang dinilai menyudutkan “Keluarga Cendana”. Salah satu pernyataan Soerjadi yang dinilai kelewat batas adalah membatasi masa jabatan presiden yang hanya boleh 2 kali. Pernyataan Soerjadi itu justru dianggap ingin mengebiri UUD 1945. Pendek cerita, Soerjadi berhasil dijungkalkan pemerintah.

PDI ke PDI Perjuangan
Akan tetapi, sejarah justru berkata lain. Kekosongan kepemimpinan di PDI justru membuka jalan bagi Megawati untuk memimpin partai itu. Dengan berbagai perjalanan yang berliku dan tajam, Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada 1993 menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum. Secara resmi pengurus PDI di bawah Megawati bertemu dengan Presiden Soeharto pada 1994 di Bina Graha. Setelah setahun memimpin PDI, pemerintah fasis militer Soeharto berupaya menggoyang Megawati dengan berbagai isu. Puncaknya adalah “kerusuhan 27 Juli 1996”.

Megawati Soekarnoputri ketika menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid [Foto: Istimewa]

Banyak kader yang setia kepada Megawati ditangkapi dan terjadinya dualisme kepengurusan di PDI. Satunya di bawah pimpinan Soerjadi dan satunya lagi di bawah Megawati. Sementara pemerintah hanya mengakui kepemimpinan Soerjadi. Perubahan politik di Indonesia bergerak cepat. Setelah peristiwa 27 Juli 1996 itu, Soeharto kembali terpilih menjadi presiden pada 1997. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, penolakan terhadap Soeharto semakin besar. Setelah melewati berbagai peristiwa, gerakan demokratis rakyat berhasil memaksa Soeharto turun dari jabatannya pada Mei 1998.

Merespons perubahan politik itu, PDI pro-Megawati lantas mengadakan Kongres partai di Bali pada Oktober 1998. Setelah itu partai ini resmi berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Untuk menghadapi pemilu, partai ini secara resmi mendeklarasikan namanya menjadi PDI Perjuangan pada 7 Juni 1999. Ribuan orang mendatangi deklarasi tersebut. Itu dilakukan karena Presiden Habibie hanya mengakui satu PDI di bawah pimpinan Soerjadi. Pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan berhasil meraih 33,7% suara atau setara 153 kursi DPR.

Akan tetapi, kemenangan itu tidak membuat PDI Perjuangan menjadi partai berkuasa. Buktinya ketua DPR pada masa itu dipimpin Akbar Tanjung dari Partai Golkar. Sementara Megawati Soekarnoputri hanya berhasil menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah itu, pada Pemilu 2004, justru Partai Golkar berhasil menyalip PDI Perjuangan untuk perolehan suara di parlemen. PDI Perjuangan hanya berhasil menempati posisi kedua dengan perolehan suara yang menurun drastis 18,9% suara atau 109 kursi di DPR.

Selanjutnya pada Pemilu 2009, perolehan suara PDI Perjuangan semakin melorot menjadi urutan ketiga yaitu 14,03% suara atau 95 kursi di DPR. Periode 2004 hingga 2014 sebagai penanda 10 tahun PDI Perjuangan mengambil peran sebagai oposisi terhadap pemerintah. Beruntung selama periode itu, PDI Perjuangan masih mampu menempatkan kadernya Taufiq Kiemas dan dilanjutkan Sudarto Danusubroto sebagai Ketua MPR.

Kemenangan di parlemen baru diraih lagi pada Pemilu 2014 dengan 18,95% suara atau dengan raihan 109 kursi DPR. Tetapi, lagi-lagi sejarah itu sepertinya berulang. PDI Perjuangan gagal menempatkan kadernya untuk menempati posisi puncak di parlemen. Pun demikian dalam hal kekuasaan eksekutif. Kendati PDI Perjuangan mengklaim Presiden Joko Widodo sebagai kader, nyatanya Jokowi cukup intim dengan partai-partai pendukung pemerintah seperti Partai Golkar, misalnya. Bahkan hanya kader Partai Golkar pula yang diperkenankan menjabat menteri sekaligus ketua umum partai.

Dari gerak sejarah partai, mulai zaman pergerakan nasional hingga melewati rezim fasis militer Soeharto, tak berlebihan rasanya jika PDI Perjuangan disebut sebagai partai pemenang. Kendati menang dan mampu melintasi zaman, istilah PDI Perjuangan tak pernah berkuasa tampaknya menjadi benar bukan? [Kristian Ginting]