Koran Sulindo – Candu menyebar dari Asia Barat ke India dibawa oleh pedagang-pedagang Arab sejak sebelum tahun-tahun Hijriah. Dari sana barang haram itu lantas berkembang ke Cina melalui Burma dan Yunan.
Orang-orang Eropa pertama yang mulai memperdagangkan candu adalah Portugis ketika mereka mulai menguasai bandar-bandar utama di Asia. Pasar segera meningkat pesat ketika orang-orang Inggris dan Belanda ikut terlibat dalam perdagangan ini.
Ketika kedua bangsa itu mulai merebut bandar-bandar lokal dari penguasa lokal, mereka bahkan mulai memberlakukan monopoli untuk komoditas tersebut.
Ketika Inggris menguasai India, East India Company berhasil memonopoli pasar candu dunia tahun 1781. Mereka juga menguasai perdagangan candu untuk Asia termasuk wilayah Nusantara.
Sejauh ini masih belum bisa dipastikan kapan candu mulai masuk ke Indonesia. Catatan paling awal mengenai penggunaaan barang-barang itu baru di ketahui sejak akhir abad ke-16 dan awal abad berikutnya.
Catatan JC Boud menyebut wilayah-wilayah pertama Nusantara yang mengenal candu adalah daerah-daerah pelabuhan seperti Aceh, Banten dan bandar-bandar rempah lainnya. Di wilayah pedalaman penggunaan candu umumnya digunakan oleh orang-orang timur asing seperti China dan golongan orang kaya lainnya.
Di Indonesia, penyebaran candu sejak semula telah dilakukan oleh VOC seiring dengan menguatnya kedudukan orang-orang Belanda di Jawa.
W Elout van Soetarwoude menyebut mereka makin aktif dalam perdagangan candu di Jawa semenjak perusahaan itu berhasil mendirikan pangkalan utama mereka di Batavia. Strategi penyebaran komoditas itu dilakukan bebareng dengan perluasan wilayah dan menyasar daerah padat penduduk seperti Jawa.
Baca juga
Mereka juga tak segan mengirim hadiah ‘persahabatan’ kepada penguasa-penguasa Jawa untuk merebut simpati mereka. Pada tahun 1636 tercatat mereka mengirimkan hadiah kepada tiga penguasa Jawa yakni Raja Mataram sebanyak 10 kati candu dan barang mewah. Jumlah yang sama juga dikirim kepada Bupati Tegal dan seorang pejabat Mataram bernama Sarapada sebanyak 5 kati.
Di tahun 1675 VOC juga mengirim beberapa kati hadiah serupa kepada pembesar Mataram di Karawang.
Kati merujuk pada satuan berat tradisional yang sepadan dengan 6 1⁄4ons yang ditimbang dengan menggunakan alat kati atau katian. Satuan kati masih digunakan secara informal untuk menimbang barang dagang, makanan dan barang-barang lainnya di pasar tradisional, di pulau Jawa, Indonesia dan di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya.
Karena hadiah-hadiah itulah VOC kemudian diberi keleluasaan untuk melakukan perdagangan candu di beberapa daerah Mataram.
Puncak dari monopoli candu VOC itu terjadi setelah ditekennya perjanjian antara perusahaan itu dengan Amangkurat II taun 1677 yang memberikan jaminan perdagangan dan izin impor di wilayah Mataram.
Beberapa wilayah Mataram yang mengalami perkembangan pesat dalam perdagangan candu adalah wilayah pesisir Jawa dan pusat kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Daerah lain yang memberikan keuntungan besar adalah Kediri, Semarang dan Madiun.
Surakarta menjadi penyumbang terbesar duit haram bagi Hindia Belanda karena merupakan pusat kekuasaan Jawa yang dihuni oleh priyayi kaya dan orang-orang Cina. Kedua golongan inilah yang menjadi konsumen utama candu.
Menurut Peter Carey, pada tahun 1820 di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat pemegang izin menjual candu. Umumnya, pemegang izin merupakan pos cukai atau pasar-pasar tertentu.
Candu juga digunakan sebagai media ‘penghubung’ untuk upacara-upacara ritual tertentu seperti yang terjadi di Gunung Lawu di daerah Tawangmangu. Juru kunci lazim menggunakan candu untuk berkomunikasi dengan ‘penunggu’ gunung untuk mendapatkan keselamatan masyarakat sekitarnya.
Umumnya orang Jawa mengkonsumsi candu dengan berbagai cara tergantung dengan alat dan selera mereka.
Sementara orang kaya biasa mengisap candu mahal dengan badudan atau sejenis pipa yang dibuat khusus, rakyat kebanyakan mengisap candu campuran yang lebih rendah kualitasnya. Umumnya mereka juga mencampur candu yang lebih murah itu dengan gula dan daun awar-awar yang dirajang halus.
Pipa yang digunakan rakyat kebanyakan umumnya sekali pakai yang terbuat dari batang daun papaya atau buatan rumahan. Banyak juga di antara mereka yang mengisap tike atau tembakau yang direndam atau dibasahi candu dan melintingnya dengan daun jagung atau klobot.(TGU)