Ukraina, yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet, telah berdiri sebagai negara merdeka. Namun ia masih berada di bawah bayang-bayang Rusia.
Karena terletak di perbatasan, Ukraina menjadi titik fokus ketegangan antara Timur dan Barat. Hubungannya dengan Rusia tetap rumit dan penuh dengan konflik, karena adanya perbedaan tujuan politik.
Tidak seperti mitos yang didengungkan oleh Barat, tekad supremasi geopolitik Rusia di kawasan Eurasia pasca-Soviet tidak dicetuskan oleh Vladimir Putin, melainkan pendahulunya yang berpikir ke depan, Boris Yeltsin.
Merangkum dari buku berjudul Ukraina: The Road to Armageddon oleh Nino Oktorino, dalam dekrit kepresidenan yang diberi judul “Arahan Strategis Federasi Rusia Berkaitan dengan Negara-negara Persemakmuran Merdeka” tertanggal 14 September 1995 yang kemudian diterapkan pada zaman Putin itu disebutkan bahwa:
“Di wilayah CIS terkonsentrasi kepentingan paling vital Rusia di bidang ekonomi, pertahanan, keamanan, dan pembelaan hak-hak (warga negaranya)”.
Rusia dipandang sebagai sebuah “kekuatan utama yang membangun sebuah sistem internasional baru berkaitan dengan wilayah eks-Soviet,” dan sebagai bagian integral dari usaha ini harus bertindak “mendorong proses integrasi dalam CIS”.
Dalam sebuah bagian mengenai keamanan yang memiliki kata-kata tajam, Yeltsin menetapkan bahwa kebijakan Rusia “diambil berdasarkan pelaksanaan kewajiban negara-negara CIS untuk menghindari persekutuan dan blok yang diarahkan terhadap siapa pun dari negara-negara ini,” NATO harus menjauhkan diri, dan negara-negara CIS harus seia sekata dengan Rusia untuk menolak penyusupan.
Dekrit tersebut mengizinkan kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan OSCE dalam mengelola konflik antar wilayah, tetapi menggarisbawahi “kebutuhan untuk membuat mereka mengerti bahwa kawasan ini merupakan sebuah wilayah pengaruh Rusia.”
Kebijakan Doktrin Monroe ala Rusia ini menekankan bahwa semua republik bekas Uni Soviet dianggap sebagai “near abroad” (halaman belakang), dan bagian dari ruang pengaruh eksklusif Rusia.
Setiap usaha dari kekuatan asing mana pun—entah Amerika Serikat, China, Iran, Jerman, atau Turki—yang berusaha memasuki kebun belakang Rusia dianggap sebagai pencurian, sebuah provokasi berbahaya.
Ketika pada tahun 1995 ΝΑΤΟ mengumumkan rencana memperluas keanggotaannya, Rusia bereaksi sebagaimana reaksi Amerika saat Kruschev menempatkan rudal balistik Soviet di Kuba pada masa Perang Dingin.
Bukan Hal yang Aneh
Kendati dikritik sebagai sebuah kebijakan neo-imperialis, konsep “kebun belakang” merupakan suatu bagian alamiah dari riilpolitik.
Banyak kemaharajaan yang runtuh di masa lalu telah melindungi disintegrasinya dengan menciptakan sebuah “kebun belakang”.
Persemakmuran Inggris merupakan sebuah contohnya. Bahkan, kekuatan besar masa kini, seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China, memiliki, dan mati-matian menjaga, ruang pengaruhnya (Amerika di Karibia, sementara China di Asia Tenggara).
Jadi, apa yang dilakukan Rusia bukanlah sebuah hal yang aneh.
George Bush dan Bill Clinton
Sebagai catatan, pada akhir Perang Dingin, para pemimpin Amerika maupun Eropa Barat membuat Rusia percaya bahwa mereka lebih suka apabila Uni Soviet tetap tidak terbagi (dengan kekecualian negara-negara Baltik, yang dianggap Barat berhak memisahkan diri).
Melihat contoh dari kekuatan Sentral tahun 1919, mereka merasa cemas bahwa disintegrasi Uni Soviet akan menyebabkan kekacauan geopolitik.
Karena itu tidak mengherankan apabila pada tahun 1991, dalam pidatonya di Kyiv, Presiden George H. W. Bush menyarankan agar republik-republik Soviet non-Rusia tetap memelihara sebuah federasi demokratis dengan Moskow.
Baru pada masa kepresidenan Bill Clinton, Amerika melibatkan diri secara agresif dalam proses pembangunan bangsa di negara-negara eks-Uni Soviet.
Harapan Putin
Ketika Vladimir Putin menjabat sebagai presiden Rusia pada tahun 2000, ia mewarisi visi Rusia sebagai sebuah kekuatan besar dari pemerintahan Yeltsin dan hak Rusia untuk mendominasi bekas wilayah Uni Soviet sebagai wilayah pengaruhnya.
Namun, ia berharap mencapai tujuan itu lewat cara-cara politik dan ekonomi, tanpa mengubah etnik, bahasa, dan budaya Rusia di “kebun belakang” menjadi alat dominasi Rusia di sana.
Ukraina Adalah Bagian dari Rusia
Untuk menjaga agar “kebun belakang” Rusia tidak terusik, Putin pergi ke pertemuan NATO di Bukares pada bulan April 2008 untuk berkampanye menentang pemberian keanggotaan NATO bagi Ukraina dan Georgia.
Ia mendapatkan dukungan dari Jerman dan Prancis, sehingga pengambilan keputusan ditunda hingga bulan Desember 2008.
Dari semua bangsa baru di “kebun belakang”, tidak ada yang lebih terikat dengan Rusia dibandingkan Ukraina.
Seorang duta besar Rusia untuk Amerika Serikat mengatakan bahwa hubungan Rusia dengan Ukraina “sama dengan hubungan antara New York dan New Jersey.”
Seorang wakil menteri luar negeri memperingatkan: “Ingatlah, apa pun yang terjadi antara kami dan Ukraina adalah sebuah urusan keluarga, dan setiap ketidaksepakatan yang kami miliki hanyalah sebuah pertengkaran keluarga.”
Seorang politisi terkemuka Amerika, Henry Kissinger, setuju:
“Barat harus mengerti bahwa, bagi Rusia, Ukraina tidak akan pernah menjadi sebuah negara asing…. Bahkan para pembangkang politik terkenal seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan Joseph Brodsky bersikeras bahwa Ukraina adalah sebuah bagian integral dari sejarah Rusia, dan, bahkan, Rusia.” [BP]