Foto: Yuyuk Sugarman

Koran Sulindo –  Dua penerima nobel, Dr. Sir Richard John Roberts (bidang kedokteran, 1993) dan Prof. Sheldon L. Glashow (bidang fisika, 1979), dianugerahi gelar doktor kehormatan (honoris causa, Dr. H.C.) oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (10/2).  Acara pemberian gelar ini didahului dengan kuliah umum oleh Robert dan Glashow.

“Karya dua ahli ini sangat fenomental, berefek bagi keselamatan manusia dan lingkungan. Kami, UGM, tidak ragu lagi memberikan gelar honoris causa kepada Dr. Sir Richard J. Roberts dan Prof. Sheldon L. Glashow,” kata Rektor UGM, Prof Dwikorita Karnawati, saat menggelar jumpa pers.

Hal sama juga diungkapkan promotor bagi Sir Richard John Roberts, Prof. Sofia Mubarika H., M.Med.Sc., Ph.D. Menurut dia, Roberts layak menerima gelar doktor honoris causa atas prestasi dan dedikasinya pada ilmu pengetahuan dan riset secara global, serta upayanya memberikan kesetaran layanan sosial dan kesehatan, perdamaian dunia, dan pengembangan universitas, khususnya di negara berkembang.

Mubarika mengatakan, Roberts melakukan banyak riset yang kemudian mengantarkan dirinya mendapatkan penghargaan Nobel bersama koleganya, Phillip Sharp, dalam fisiologi atau kedokteran dalam rekayasa RNA dan pembelahan gen. “Risetnya mengawali revolusi pemahaman struktur dan fungsi genom, bukan hanya di dalam virus dan bakteri, tapi juga manusia,” kata Mubarika.

Ditambahkan Mubarika, Roberts juga merupakan tokoh terkemuka dalam diseminasi enzim restriksi dan penemuan-penemuan lain. Mengembangkan socio-entrepreneurship, New England Biolabs (NEB), menjadi perusahaan pertama yang menjual enzim restriksi di dunia. Hasilnya dipakai untuk mendanai banyak riset. Namun, NEB tetap menjadi perusahaan swasta yang independen dan mendukung lembaga-lembaga akar rumput, menjaga diversitas biologi dan budaya, ekosistem, dan mendukung komunitas daerah.

Pemberian gelar doktor kehormatan ini, Roberts menilai sebuah kehormatan. “Saya berharap apa yang saya lakukan bisa menginspirasi dan menggerakkan orang di Indonesia untuk berbuat sesuatu bagi keberlanjutan umat manusia. Gagal dalam riset bukan alasan untuk menyerah,” tutur Roberts. [YUK]