Kampanye tolak politik uang yang dilalukan masyarakat pada Februari 2018. Foto: Antara.

Koran Sulindo – “Kekuasaan cenderung korup,” kata sejarawan Inggris awal abad ke-20 dan dikenal dengan nama populernya, Lord Acton, “dan kekuasaan yang absolut, korupnya juga absolut.”

Dengan tabiat kekuasaan yang seperti itu, kata Lord Acton lagi, orang yang tadinya hebat dan baik hampir selalu menjadi orang yang jahat jika berada dalam lingkar kekuasaan.

Itulah sebabnya, kekuasaan dan orang-orang yang diberi amanah untuk menjalankan roda kekuasaan harus diawasi. Siapa atau lembaga apa yang mengawasi mereka?

Di Indonesia, karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, yang mengawasi mereka adalah rakyat Indonesia. Untuk menjalankan tugas dan kewajiban tersebut, rakyat memilih wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif (DPR, MPR, DPD, dan lembaga sejenis di tingkat provinsi serta kabupaten/kota), parlemen. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” demikian bunyi sila keempat dari Pancasila, dasar negara Indonesia.

Selama puluhan tahun, sejak pemilihan umum (pemilu) pertama pada tahun 1955 sampai kemudian rezim di bawah Presiden Soeharto tumbang pada tahun 1998, rakyat Indonesia tak memilih langsung calon wakil-wakilnya di parlemen. Mekanisme pemilihan wakil rakyat dilakukan oleh partai politik. Bahkan, pada masa awal Reformasi, tahun 1999, mekanismenya juga masih seperti itu. Baru pada Pemilu 2004, rakyat bisa memilih langsung calon wakil-wakilnya di parlemen serta calon presiden dan wakil presidennya.

Demokrasi terasa benar-benar bergulir. Namun, mengapa pada akhirnya watak kekuasaan seolah tak berubah dan hanya dipegang oleh segelintir orang, di antaranya yang memiliki kekayaan berlimpah, yang dikenal dengan istilah oligarki?

Tak bisa dinafikan, semua itu punya kaitan juga dengan dinamika partai politik, yang menjadi salah satu elemen penting dalam demokrasi. Tujuan didirikan partai politik sendiri antara lain memang untuk dapat berkuasa, yang dengan kekuasaannya itu berkesempatan berperan besar dalam mewujdukan cita-cita bangsa dan negara, sebagaimana tertuang dalam dasar negara dan konstitusi, melalui program-program kerja yang dijalankan.

Idealnya, program-program kerja partai politik merupakan hasil penggodokan dari aspirasi seluruh kadernya. Dan, pengembangan demokrasi dalam pemilihan umum (pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu legislatif, dan pilkada) secara langsung bergantung pada bekerjanya sistem-sistem seleksi tingkat partai politik, seleksi adiministratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta seleksi politis dan hati nurani rakyat (lihat: Suharizal. 2011. “Reformasi Pemilukada: Beberapa Gagasan Menuju Penguatan Pemilukada”, dalam Jurnal Konstitusi Volume IV No. 1, Juni 2011).

Memang, seperti diungkapkan ilmuwan politik dari Amerika Serikat, Richard S. Katz dan Peter Mair, yang dikutip dari buku Anomali Keuangan Partai politik: Pengaturan dan Praktek (Perludem, 2011), partai politik memiliki tiga wajah. Wajah pertama adalah wajah di ranah publik (public office). Wajah kedua wajah di masyarakat (konstituen). Wajah ketiga ada pada kelembagaannya (organisasi).

Semua itu terjadi karena, dalam sistem politik yang demokratis, partai politik memiliki

peran penting dan strategis yang me-mediasi ranah masyarakat dan negara dan institusi penjaga sistem dan nilai-nilai demokrasi. Untuk itu, sudah seharusnya partai politik menjadi garda terdepan proses demokratisasi dan pendorong pembaruan tata-pemerintahan.

Namun, apakah yang ideal itu telah dijalankan partai politik?

Harus diakui, partai-partai politik di Indonesia kini lebih banyak diatur oleh sekelompok kecil orang, para elite-nya. Sesuatu yang lazim juga di dalam satu partai politik adalah adanya beragam kelompok kepentingan, faksi.

Jadinya, suara yang dominan dalam partai politik semacam itu adalah suara dari faksi yang sedang memegang kekuasaan. Aspirasi dan kepentingan seluruh kader, yang lintas faksi, akhirnya menjadi tak banyak didengarkan dan dipertimbangkan lagi dalam pengambilan keputusan.

Pada gilirannya, apa yang terjadi di partai politik juga akan berpengaruh pada watak para pengambil keputusan strategis negara, yang tentu saja banyak diisi oleh kader partai politik yang memenangkan pemilu dan koalisinya. Ini wajar dan merupakan keniscayaan.

Masalahnya muncul ketika partai politik tidak mandiri dalam mendapatkan dan mengelola keuangan, seperti terungkap dalam buku Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) di atas, yang merupakan buku laporan atas studi tentang keuangan partai politik di Indonesia. Padahal, uang dalam politik (money is politics) adalah sebuah keniscayaan juga. Karena, tanpa uang, politik tidak bergerak, tumbuh, dan berkembang seperti juga dengan ekonomi dan pembangunan.

Yang diharamkan dalam demokrasi adalah politik uang (money politics). “Menggunakan dan memobilisasi uang untuk mengintervensi proses politik dan kebijakan publik dapat menyebabkan pengaruh yang tidak wajar (undue influence) sehingga melanggar prinsip-prinsip demokrasi,” demikian ditulis dalam pengantar buku yang diterbitkan Perludem itu.

Namun, studi yang dilakukan Perludem (bekerja sama dengan Yayasan Manikaya Kauci, Komite Pemantau Legislatif, dan Kemitraan untuk Integritas dan Pembaruan

Tata-Pemerintahan, yang didukung oleh Kemitraan-Partnership for Governance Reform in Indonesia) pada tahun 2011 tersebut memperlihatkan, kedua aspek itu (money is politics dan money politics) sering tidak dipahami oleh elite dan pengurus partai politik. Akibatnya, menurut studi tersebut, tata-cara penggalangan dan pengelolaan uang di partai politik pun sering terlihat tidak wajar, tertutup, dan diwarnai penyimpangan di sana-sini.

Dengan kondisi seperti itu akhirnya selalu terbuka peluang bagi para elite dan para pemilik modal untuk selalu berada dalam posisi yang menentukan dan punya kewenangan yang besar, baik di partai politik maupun di pemerintahan. Dalam tataran pemerintahan, jelaslah kondisi yang seperti itu menjadi sangat tidak sehat, karena suara rakyat banyak, rakyat sebagai satu kesatuan bangsa dan negara, menjadi cenderung terabaikan. Padahal, di negara kita yang tercinta ini, sebagaimana telah disinggung di bagian awal tulisan ini, Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir orang dan para pemilik modal saja. [Kelvin Esarel Amroy Saputra, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Tirtayasa, Banten]

Catata Redaksi: Koran Suluh Indonesia menerima kiriman artikel dan opini dari mahasiswa, yang akan dimuat bila dinilai layak. Artikel atau opini bisa dikirimkan ke e-mail redaksi, dengan disertai biodata dan nomor telepon penulis yang dapat dihubungi. Redaksi Koran Suluh Indonesia berhak menyunting artikel dan opini yang akan dimuat.