Tak dapat dimungkiri, saat ini terdapat anggapan umum yang telanjur diterima kebenarannya secara meluas di masyarakat: politik itu dunia yang kotor, manipulatif, dan transaksional. Semua itu terjadi karena hari-hari ini integritas mungkin hal yang langka dalam dunia perpolitikan negeri ini.

Padahal, di manapun dan di masa apa pun, integritas telah diakui sebagai salah satu keutamaan dalam politik. Seperti ditulis Stephen L Carter, guru besar ilmu hukum di Yale University, Amerika Serikat, “integritas menciptakan kepercayaan yang kita perlukan dalam pergaulan sosial dan dalam pergaulan politik”.

Seperti asal katanya dari bahasa Latin, integer—yang mengandung arti ‘utuh’—seorang yang berintegritas adalah pribadi yang utuh, tidak terpecah-pecah. Integritas juga bermakna “keberanian menjalankan keyakinan-keyakinan yang kita yakini” serta “kerelaan untuk bertindak dan berbicara tentang hal yang kita anggap sebagai kebenaran”.

Integritas seorang politisi, seperti ditulis Ignas Kleden, seorang pemikir sosial Indonesia terkemuka, merupakan salah satu dari tiga komponen kualifikasi “yang diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat”. Integritas yang dimaksud di sini adalah kesadaran seorang politisi tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar. Karena, kalau dilanggar, dia berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri. Dua komponen kualifikasi lainnya adalah kompetensi, yaitu kemampuan dan keahlian dalam bekerja; dan konstituensi, yang berkaitan dengan jumlah orang memilih seseorang untuk mewakili mereka.

Kompetensi tanpa konstituensi telah melahirkan teknokrasi, yakni seseorang menduduki jabatan politik semata-mata karena keahliannya tanpa perlu mendapat dukungan dari orang-orang yang bersedia memilih dirinya. Itu dialami bangsa Indonesia pada masa-masa awal Orde Baru, yang menjadikan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama.

Akan halnya konstituensi tanpa kompetensi menyebabkan partisipasi politik yang luas tidak membawa ke persaingan yang sehat dan terbuka untuk mendapatkan kompetensi yang terbaik dalam suatu bidang, tapi menghasilkan suatu kompromi gampangan tentang pembagian jabatan dan posisi politis. Kompromi itu tidak tercapai lewat diskusi mengenai kemampuan riil seseorang, tapi lebih menyangkut keterwakilan golongan dalam spektrum politik. Situasi ini dialami sejak awal masa reformasi hingga sekarang ini. Itu terlihat dari banyaknya politisi yang menduduki jabatan birokrasi ataupun lembaga legislatif yang belum memenuhi persyaratan sumber daya manusia di bidang politik, baik itu karena tingkat pendidikannya yang terlalu rendah maupun karena pengalaman politiknya yang rendah.

Sungguhpun begitu, kompetensi dan konstituensi barulah ada artinya apabila kedua kualifikasi tersebut didukung suatu integritas politik yang memadai. Maksudnya: kesediaan dan kesanggupan seseorang untuk memainkan peran politiknya sambil berpegang kepada beberapa prinsip politik yang telah disepakati. Konsensus mengenai aturan permainan dalam politik dapatlah disebut moralitas politik, sedangkan kesediaan untuk berpegang pada moralitas tersebut dinamakan integritas politik.

Tanpa moralitas dan integritas, politik hanya membawa pada dua kemungkinan. Pertama: kecenderungan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, yang dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan. Oportunisme politik seperti ini dapat membuat seseorang bertahan lama dalam dunia politik, tapi tidak akan meninggalkan banyak jejak dalam sejarah politik di kemudian hari. Kedua: kecenderungan mengubah tawar-menawar politik—yang merupakan tukar-menukar argumentasi—menjadi tawar menawar dagang dengan memakai uang sebagai sarananya, yang kemudian dikenal dengan istilahmoney politics atau politik dagang sapi.

Jadi, jelaslah sudah, integritas seorang politisi merupakan syarat penting untuk membangun politik yang beradab. Tanpa itu, masa depan politik negeri ini bisa dipastikan masih akan suram. []