Koran Sulindo – Tak cukup dengan perang caci maki, permusuhan Turki dan Amerika Serikat melebar ke sektor ekonomi yang menghancurkan mata uang Turki.
Presiden AS Donald Trump memulai memulai keributan ketika menuntut Turki membebaskan Pastor Andrew Brunson yang ditahan ditahan pemerintah atas tuduhan mendukung kudeta Mohamed Fethullah Gulen.
Tak cuma menuntut, untuk menambah tekanannya pada Ankara, Washington juga memberlakukan sanksi keuangan berupa pengenaan bea masuk tinggi pada baja dan aluminium yang menjadi komoditas utama Turki.
AS juga secara sepihak membekukan dana dua menteri Turki di bank-bank Amerika.
Pengenaan bea masuk tinggi pada baja dan aluminium itu dengan segera membantu menghancurkan lira.
Tentu saja, dengan posisinya yang tak tergoyahkan di dalam negeri, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membalas tindakan sepihak itu dengan tak kalah sengitnya.
Menggunakan diksi-diksi yang kuat, dalam pidatoya Erdogan berhasil meyakinkan bahwa Turki akan muncul sebagai pemenang sekaligus berhasil membariskan seluruh rakyat di belakangnya.
Turki tak punya pilihan selain bertahan dan menang dalam perang tersebut. Bagi bangsa itu. menyerah sama saja menggadaikan kedaulatan yang berarti kembali pada ketergantungan akut dan dominasi Amerika.
Gambar-gambar paling nyata dari kemarahan publik di Turki bisa dilihat ketika mereka membakar dolar-dolar mereka di depan kamera televisi.
“Jangan lupa, jika mereka memiliki dolar mereka kita memiliki rakyat kita, Tuhan kita,” kata Erdogan dalam sebuah pidato yang dipenuhi kemarahan.
Tentu saja, perlu kapasitas otak yang lebih jenius untuk melunakkan hati Erdogan dibanding yang sekarang dimiliki Trump.
Sementara negara-negara Barat termasuk medianya menganggap Erdogan kepala batu, mereka melupakan bahwa Amerika juga memiliki Trump yang kadar ‘kewarasannya’ perlu dipertanyakan?
Benar, bahwa setelah kudeta yang gagal dua tahun lalu Erdogan memenjarakan sedikitnya 50.000 orang, namun ia masih ‘kalah’ dibanding Abdel Fattah al-Sisi di Mesir yang mengurung 60.000 orang saat memberangus Ikhawanul Muslimin yang didiamkan AS.
Media Barat juga bungkam ketika bom-bom Arab Saudi menjadi penyebab kematian mengerikan anak-anak di Yaman, atau ketika mereka tutup mulut pada kebiasaan tentara Israel menembak orang-orang tak bersenjata di Gaza.
Tapi, marilah berpikir waras sejenak. Benarkan segala keriuhan Turki vs AS ini hanya karena seorang pendeta berkewarganegaraaan AS itu?
Tidak! Turki dihukum karena dianggap mulai meninggalkan AS dan Barat serta berpaling kepada musuh utama mereka, Rusia dan Iran.
Beberapa daftar ‘kejahatan’ Erdogan yang dicatat AS di antaranya adalah niatnya membeli sistem pertahanan rudal S-400 buatan Rusia dan penolakan terhadap dukungan AS kepada Kurdi.
Ketika Turki mengirim senjata dan militan ke wilayah utara Suriah, AS toh baik-baik saja karena mereka lebih mengincar kejatuhan Bashar al-Assad. Baru setelah menyadari Assad tak mungkin lagi dijatuhkan, kalkulasi Washington berubah dan mulai cari gara-gara.
Di sisi lain, ketika Turki menembak jatuh jet tempur Rusia pada November 2015, Erdogan segera meringkuk di kaki Vladimir Putin karena ancaman boikot Moskow jelas tak bakal tertahankan Turki.
Rusia dan Iran jugalah yang memperingatkan rencana ‘kudeta Gulen’ pada Juli 2016 kepada Erdogan setelah mereka menyadap lalu lintas radio militer Turki.
Dan sekarang, Erdogan membantu Iran meringankan sanksi AS dengan mengumumkan bahwa Turki bakal terus mengimpor minyak dari Iran. Ini jelas menumpulkan semua sanksi ekonomi Washington pada Teheran.
Jadi, di Timur Tengah terlihat bahwa Erdogan yang berkawan dengan Putin dan para pemimpin tertinggi Iran di satu sisi berhadapan dengan AS dan Israel.
Di sisi lain dengan pemberlakuan embargo Arab Saudi yang gagal kepada Qatar, negara itu justru menjanjikan investasi senilai US$15 miliar ke Turki setelah janji Erdogan yang bakal ‘melindungi’ emirat kecil itu dari tetangganya yang lebih besar dan mengancam.
Jadi siapa yang paling diuntungkan dengan geopolitik terbaru di Timur Tengah itu? Mungkin saja itu Bashar al-Assad.
Saat ini dengan polisi militer Rusia berpatroli di perbatasan Suriah-Israel di Dataran Tinggi Golan, Rusia berani menjamin Israel bahwa tak ada tentara Iran setidaknya 75 km dari perbatasan Suriah.
Assad patuh kepada Putin karena ia butuh bantuan Rusia untuk menghancurkan kubu terakhir pemberontak di Idlib.
Dengan Qatar memiliki uang tunai untuk membangun kembali Suriah, negara kecil itu bisa memperluas pengaruhnya melintasi daratan Levant hingga jauh ke laut Mediterania.
Ini akan mengguyur Turki dengan uang miliaran dolar dari penjualan gas ke Eropa sekaligus membentuk aliansi strategis Doha dan Ankara. Berkah yang lain adalah aliansi baru ini bakal merukunkan kembali persahabatan keluarga antara Erdogan dan Assad? [TGU]