KISAH tak sedap dari perkebunan sawit terus terkuak setelah gonjang ganjing harga minyak goreng dan permainan harga tandan buah sawit (TBS) petani. Kali ini praktik perampasan tanah oleh perkebunan besar sawit dengan iming-iming menjadi plasma di Kabupaten Buol, Sulawesi tengah berujung pada penderitaan dan kriminalisasi petani.
Akibat haknya sebagai petani plasma tak kunjung diberikan oleh perusahaan perkebunan, para petani memutuskan menggelar aksi “pasang spanduk” di jalan dan depan rumah mereka. Aksi ini ditujukan untuk memberi pesan pada perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) agar mengembalikan lahan mereka yang sudah di jadikan kebun sawit plasma oleh perusahaan.
Pesan itu juga disampaikan pada pihak pemerintah untuk bertanggung jawab menyelesaikan konflik antara petani plasma dengan PT HIP. Sebab pemerintahlah yang memberikan ijin masuknya PT HIP ke Buol dan merampas lahan-lahan petani.
Tuntutan tersebut mereka ajukan karena kemitraan plasma yang dijalankan dan dikelola PT HIP telah merugikan petani.
Dengan melakukan aksi “pasang spanduk” petani berharap perusahaan mengembalikan tanah mereka. Mereka ingin kehidupan mereka yang diambil perusahaan lewat kemitraan plasma dikembalikan pada mereka.
Tanah diserahkan, hak tak didapat
Kasus yang menimpa petani di Buol ini terjadi sejak tahun 2000-an ketika mereka diajak bergabung sebagai petani plasma. Salah satunya kelompok plasma Amanah yang tanahnya dijadikan kebun plasma sejak tahun 2007.
Menurut para petani plasma, sejak sawit ditanam hingga sekarang, mereka tidak mendapatkan hasil. Anehnya justru petani dibebani utang yang jumlahnya semakin besar tanpa petani tahu rincian penambahan utang itu untuk apa.
Sementara petani hanya bisa menonton truk-truk PT HIP mengangkut hasil sawit dari kebun plasma mereka. Petani menuding PT HIP tidak transparan dalam mengelola kebun plasma. Pihak perusahaan hanya memberi informasi tentang utang petani plasma tanpa menjelaskan atau memberi hasil dari tanahnya.
Sudah bertahun-tahun para petani menantikan hasil dari kebun plasma mereka. Sebagian besar petani plasma tersebut adalah petani transmigran yang lahan pertaniannya sangat terbatas dan kini mereka tidak lagi memiliki lahan pertanian karena lahan sudah diplasmakan.
Dengan tidak menerima hasil para petani semakin kesulitan untuk menyambung hidup karena mereka tidak lagi memiliki lahan pertanian sebagai sumber kehidupan, sementara harga kebutuhan pokok semakin melambung. Petani juga kesulitan membiayai pendidikan anak.
Janji palsu kesejahteraan
Merasa menyesal para petani meminta tanah mereka dikembalikan oleh perusahaan. Mereka terkenang pada janji manis perusahaan akan memberikan kesejahteraan dari hasil kebun plasma.
Listan, ketua Koperasi plasma Awal Baru berkisah bahwa mereka dijanjikan bagi hasil melimpah.
“Waktu perusahaan datang, mereka menjanjikan petani akan sejahtera dengan plasma.” ujar Listan.
Begitu pula Sri Subekti, seorang petani plasma dari Desa Winangun sempat terbuai oleh iming-iming kesejahteraan dari PT HIP.
“Ketika Ibu (Hartati Murdaya) datang, petani dijanjikan kalau mengikuti plasma akan mendapatkan hasil meskipun tidak bekerja. Dengan memiliki 30 pohon sawit saja sudah bisa membiayai pendidikan anak. Ketika saya menyerahkan sertifikat tanah, mereka bilang, ah ibu nanti setiap tahun bisa membeli mobil.” kenang Sri Subekti.
Janji kesejahteraan yang disampaikan PT HIP hanyalah harapan kosong. Sudah belasan tahun kebun plasma berjalan dan petani tidak menerima hasil. Bahkan Wati, petani plasma dari Desa Winangun dengan kecewa mengatakan, “Sampai petani mati utang tidak akan lunas karena terus bertambah.”
Perusahaan juga dituding ingkar, Jam’an, sekretaris koperasi plasma “Plaza” menyatakan PT HIP menjanjikan akan membangun kebun plasma untuk para anggota koperasi Plaza seluas 1.000 hektar, namun yang dibangun ternyata hanya 400 hektar saja.
Para petani kini merasa sangat menyesal sudah menyerahkan lahan untuk kebun plasma karena mereka sangat dirugikan.
“Kalau saja kebun keluarga kami tidak diplasmakan dan ditanami jagung, maka kami bisa mendapatkan hasil setidaknya Rp 20 juta setiap musim tanam. Kalau ditanami cengkeh hasilnya bisa Rp100 juta/hektar/tahun atau sekitar Rp8 juta/hektar/bulan. Kami merasa rugi besar dengan plasma ini karena tidak dapat hasil.” ujar Saryono, petani plasma anggota koperasi Amanah.
Perjuangan petani
Bertahun-tahun sudah para petani memperjuangkan hak mereka dengan menempuh berbagai cara. Mulai dari mendatangi pemerintah daerah sampai datang ke Jakarta untuk bertemu pemilik perusahaan di Jakarta. Namun mereka pulang dengan tangan hampa.
Para petani juga sudah berulang kali melakukan protes pada PT HIP lewat berbagai cara, termasuk memblokir kebun plasma mereka. Namun pihak PT HIP hanya merespons dengan janji-janji dan juga ancaman akan mengerahkan polisi untuk menangkap dan memenjarakan para petani.
Bahkan para petani dari koperasi plasma “Awal Baru” mendapatkan kriminalisasi akibat memanen hasil kebun mereka pada November 2021, setelah petani menyampaikan surat pemutusan kerja sama kemitraan dan melakukan aksi “memanen buah sawit” di kebun plasma mereka. Ironisnya mereka ditangkap polisi dan dipenjarakan dengan tuduhan mencuri buah sawit.
Pertemuan terakhir para petani plasma dari koperasi plasma “Amanah” di Desa Winangun dengan pemilik PT HIP, Hartati Murdaya Po, yang dilakukan secara online juga tidak membawa hasil. Petani tetap saja dijanjikan akan mendapatkan hasil dan sekaligus diancam akan ditangkap dan dipenjarakan apabila para petani menentang perusahaan.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi para petani plasma menuntut lahan mereka dikembalikan. Mereka tidak lagi menuntut perusahaan memberikan hasil dari kebun plasma tetapi mereka ingin tanah mereka dikembalikan. Sebab tanah itulah satu-satunya sumber penghidupan petani.
Tanah adalah nafas hidupnya para petani. Dengan melakukan aksi pasang spanduk, para petani plasma juga menyampaikan “SOS” pada siapa pun pihak yang dapat membantu mereka mendapatkan kembali tanah yang jadi satu-satunya sumber penghidupan para petani. [PAG]