Ilustrasi : Aksi peringatan hari tani menuntut hak atas tanah - Tempo
Ilustrasi : Aksi peringatan hari tani menuntut hak atas tanah - Tempo

“Tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan, apalagi pengisapan dari modal asing terhadap rakyat Indonesia,” demikian antara lain dikatakan Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1960, yang dikenal sebagai pidato “Jalannya Revolusi Kita”.

Tanggal 24 September setiap tahunnya di peringati sebagai Hari Tani Nasional oleh kaum tani dan seluruh rakyat Indonesia.

Hari Tani Nasional (HTN) ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui KEPPRES Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal 24 September dipilih karena sebagai momentum penting dan bersejarah dalam tatakelola Agraria baru Indonesia, yaitu disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).

Penetapan UUPA dinilai sebagai tonggak paling penting dalam sejarah agraria Indonesia. Karena, pada masa-masa awal revolusi kemerdekaan, struktur agraria berciri monopoli tanah yang menjadi warisan feodalisme dan kolonialisme menjadi masalah utama yang membelenggu kaum tani.

Bung Karno pun dalam berbagai kesempatan menyebut reforma agraria yang menjadi inti dari UUPA sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.

Sejarah mencatat, sepanjang perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan kolonialisme Belanda, “Reforma Agraria” telah menjadi salah satu semangat dan aspirasi sejati rakyat yang menghendaki terwujudnya keadilan atas hak kepemilikan tanah dan kebebasan akses atas sumber daya alam di Indonesia.

UUPA lahir dengan tujuan untuk merombak dan menata ulang struktur Agraria Indonesia warisan kolonialisme Belanda – yang timpang dan sarat akan kepentingan segelintir orang dan kelompok, tidak berpihak pada kaum tani.

UUPA Nomor 5 Tahun 1960 menjadi dasar untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme agar cita-cita menjadikan masyarakat adil dan makmur dapat tercapai. Dan UUPA tahun 1960 ini menjadi awal mula program reforma agraria.

Usaha untuk menyusun sistem baru atau Undang-Undang soal penataan Agraria ini sudah di mulai pemerintahan Soekarno pada tahun 1948 yaitu dengan dibentuk Panitia Agraria Yogya. Namun, usaha tersebut kandas karena pergolakan politik yang keras. Beberapa panitia pernah terbentuk, namun kerap kali gagal. Di antaranya Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, Panitia Sunaryo 1958, dan Rancangan Sadjarwo 1960.

Maka Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) tahun 1960, menjadi satu kemenangan besar bagi kaum tani dan rakyat Indonesia secara umum.

Prinsip dasar UUPA terabaikan

Ada lima prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya UUPA, yakni pembaruan hukum agraria kolonial menuju hukum agraria nasional; untuk menjamin kepastian hukum; untuk menghapus hak asing dan konsesi kolonial atas tanah di Indonesia; untuk mengakhiri pengisapan feodal dan perombakan struktur penguasaan tanah, dan; sebagai wujud implementasi atas Pasal 33 UUD 1945.

Pasal 33 UUD 1945 memberi kewenangan bagi negara untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun, jalannya sejarah mencatat hal yang berbeda dari tujuan mulia UUPA. Undang-undang itu sampai sekarang belum sepenuhnya mampu dijalankan oleh berbagai pemerintahan yang diberi amanat menyelenggarakan jalannya negara.

Bahkan, pada masa pemerintahan rezim Presiden Soeharto diterbitkan tiga undang-undang yang bertentangan dengan semangat UUPA, yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan—yang semuanya diterbitkan pada tahun 1967, tak lama setelah Bung Karno dijatuhkan dari kursi kepresidenannya.

Dengan kehadiran tiga undang-undang itulah konflik yang berhubungan dengan agraria semakin sering terjadi dan meluas. Karena, dengan berbekal ketiga undang-undang tersebut, Presiden Soeharto melakukan pembangunan yang massif dan memberikan hak penguasaan lahan secara besar-besaran kepada korporasi dan segelintir orang. Lahan pertanian rakyat juga sering menjadi korban “perampasan” (land grabbing). Dalihnya: diperlukan pengadaan lahan demi kepentingan umum.

Yang membuat miris, konflik terkait agraria tersebut masih terus marak sampai sekarang. Padahal, sejak tahun 2016 lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Kepala Staf Kepresidenan telah menerbitkan surat keputusan untuk membentuk kepanitiaan penggagas reforma agraria.

Dalam surat keputusan itu ada lima agenda pokok yang akan dilaksanakan, yakni penyelesaian konflik agraria; memperjelas obyek sasaran reforma agraria; pemberdayaan masyarakat; merancang peraturan, dan; membentuk lembaga reforma agraria di tingkat daerah.

Kenyataannya, jumlah konflik agraria ini meningkat dari tahun ke tahun, bahkan meluas. Penggusuran dan perampasan tanah telah menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia tidak bertanah. Monopoli dan perampasan tanah secara masif terus terjadi di masa pemerintahan presiden Jokowi dengan motif pembangunan infrastruktur, perluasan perkebunan skala besar dan pertambangan besar.

Soal reforma agraria, misalnya. Menurut salah seorang pimpinan serikat tani, Rahmat, apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi mengutamakan sertifikasi lahan untuk kepentingan jaminan bank sekaligus usaha untuk meyakinkan investor asing atas keterjaminan lahan dan keamanan. Apa yang dilakukan pemerintah sama sekali tidak mengurangi monopoli tanah yang dikuasai segelintir orang.

Rahmat mengatakan, program-program seperti pembangunan infrastruktur, reforma agraria dan perhutanan sosial hanya mengilusi rakyat. Program reforma agraria dan perhutanan sosial pemerintah justru sebaliknya: menegaskan monopoli sekaligus mempercepat perampasan tanah rakyat.

Akan tetapi menurut Rahmat, kaum tani dan rakyat Indonesia semakin sadar program-program tersebut hanya memberi keuntungan bagi investor asing dan tuan tanah besar.

Disinilah arti penting Peringatan Hari Tani Nasional, yaitu untuk merengkuh semangat perjuangan kaum tani dan rakyat Indonesia yang tiada putusnya dan terus berkobar hingga hari ini.

Hingga kini kaum tani masih harua berjuang untuk memperoleh dan mempertahankan hak atas tanah, berjuang menentang monopoli dan perampasan tanah yang semakin agresif di pedesaan dan perkotaan, serta menuntut segera dilaksanakannya reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional sebagai jalan utama menyelesaikan masalah pokok Rakyat Indonesia. [PTM]