Sejarah Mataram Islam menyimpan banyak kisah tentang kepahlawanan, perjuangan, dan loyalitas yang mengakar kuat di antara para tokoh punggawa kerajaan. Namun, di balik gemerlap kisah heroik tersebut, terdapat sisi kelam yang menggambarkan betapa besar dampak dari ambisi pribadi dan pengkhianatan terhadap kestabilan sebuah kekuasaan.
Salah satu tokoh yang dianggap sebagai simbol dari pengkhianatan dalam sejarah Mataram adalah Tumenggung Endranata, atau yang dikenal juga dengan nama asli Ngabehi Mertajaya.
Pria yang awalnya dianggap setia ini akhirnya menjadi musuh dalam selimut, yang tindakannya tidak hanya menimbulkan kerugian besar, tetapi juga menorehkan luka dalam di hati Kerajaan Mataram dan Sultan Agung. Sejarahnya menjadi contoh nyata tentang dampak besar yang bisa ditimbulkan oleh ambisi pribadi dan politik devide et impera.
Latar Belakang Kehidupan Tumenggung Endranata
Sebagai putra dari Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Endranata dikenal sebagai punggawa yang setia pada awalnya. Ia berperan aktif dalam membantu Sultan Agung menaklukkan wilayah-wilayah strategis, termasuk Demak dan sekitarnya, demi memperluas kekuasaan Mataram.
Namun, kesetiaannya mulai goyah ketika ia tergoda oleh tawaran VOC, yang menggunakan politik adu domba untuk menguasai wilayah nusantara. Dengan mendekati VOC, Endranata mulai merencanakan tindakan-tindakan yang merugikan kerajaan.
Pengkhianatan Besar terhadap Sultan Agung
Melansir beberapa sumber, pengkhianatan Tumenggung Endranata mencakup dua aksi besar yang sangat merugikan Kerajaan Mataram:
1. Memicu Perang Saudara: Endranata mempengaruhi Sultan Agung untuk menyerang Adipati Pragola II, saudara iparnya yang menguasai wilayah Pati. Dengan menyebarkan fitnah bahwa Pragola II berencana memberontak, Endranata berhasil memprovokasi Sultan untuk menyerang. Tindakan ini memicu perang saudara yang menguras tenaga dan sumber daya Mataram serta menyebabkan kerugian besar bagi kedua pihak.
2. Membocorkan Rencana Strategis: Setelah kekalahan pertama Mataram dalam menyerang Batavia pada tahun 1628, Sultan Agung merencanakan serangan kedua dengan persiapan yang lebih matang.
Namun, Endranata membocorkan informasi strategis ini kepada VOC, termasuk lokasi-lokasi penting seperti lumbung pangan Mataram. VOC memanfaatkan informasi ini untuk menghancurkan persiapan Mataram, yang akhirnya berujung pada kegagalan serangan kedua. Kerajaan Mataram mengalami kerugian besar dan tidak berhasil mengusir VOC dari Batavia.
Tindakan-tindakan pengkhianatan Endranata ini berdampak serius terhadap stabilitas kerajaan dan mengakibatkan korban jiwa serta kerugian yang tidak sedikit bagi Mataram.
Akhir Hidup yang Memalukan
Setelah pengkhianatan Endranata terungkap, Sultan Agung segera menjatuhkan hukuman mati yang sangat keras. Hukuman tersebut dirancang sebagai bentuk penghinaan abadi bagi Endranata, yang dianggap sebagai pengkhianat terbesar.
Ia dimutilasi menjadi tiga bagian sebagai simbol dari penghinaan dan peringatan bagi siapapun yang berpikir untuk mengkhianati kerajaan:
1. Kepala: Dipajang di alun-alun Jayakarta (Jakarta sekarang) sebagai simbol peringatan bagi VOC dan para pengkhianat.
2. Kaki: Dibuang ke Laut Jawa, melambangkan pengusiran total dari tanah Jawa.
3. Badan: Dikubur di anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Peziarah yang mengunjungi makam raja-raja Mataram secara simbolis “menginjak” jasad Endranata, memberikan penghinaan abadi.
Posisi makam Endranata di tangga Imogiri ini menjadi bagian dari mitos lokal, bahwa jasadnya akan diinjak-injak sampai hari kiamat, sebagai hukuman bagi seorang pengkhianat.
Warisan dan Pelajaran Sejarah
Dalam sejarah Mataram Islam, Tumenggung Endranata dikenang sebagai contoh buruk dari akibat pengkhianatan dan politik adu domba. Tindakannya tidak hanya melemahkan kerajaan dan memecah-belah punggawa Mataram, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan petinggi kerajaan.
Kisah Tumenggung Endranata juga cermin dari realitas pahit bahwa pengkhianatan, adu domba, dan ambisi pribadi dapat menjadi senjata yang mematikan bagi sebuah bangsa.
Tindakannya menjadi pelajaran abadi bahwa kesetiaan dan integritas adalah nilai penting yang harus dijaga demi keberlangsungan kekuasaan dan keharmonisan dalam sebuah kerajaan.
Sejarah Mataram Islam telah mengabadikan namanya sebagai peringatan agar pengkhianatan tidak terulang kembali. Sebagai bangsa yang menghargai sejarah, kisah Endranata mengingatkan kita akan pentingnya bersatu melawan pengaruh asing yang dapat merusak keutuhan dan kekuatan bangsa, sekaligus menjaga nilai-nilai moral yang mampu menjadikan bangsa Indonesia berdiri kokoh hingga kini. [UN]