Koran Sulindo – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjanjikan pertemuannya dengan pemimpin Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) Kim Jong Un bakal digelar bulan Mei atau Juni mendatang.
Dalam pernyataannya yang disampaikan di Gedung Putih, Trump menyebut sejauh ini rencana pertemuan masih belum mengalami perubahan.
Trump menambahkan melalui pertemuan tersebut ia berharap hubungan tegang penuh persaingan antar kedua negara itu bakal diwarnai dengan nuansa yang lebih ramah.
“Saya mengharapkan aka nada saling menghormati antar kedua belah piak dan mudah-mudahan tercapai kesepakatan untuk denuklirisasi,” kata Trump kepada wartawan sebelum mengikuti rapat kabinet.
“Ini akan menjadi hubungan yang jauh berbeda dibanding yang sudah terjadi selama bertahun-tahun yang lalu.”
Sebelumnya, melalui kontak-kontak rahasia dengan pejabat AS wakil DPRK menyebut pemimpin mereka Kim Jong Un menyatakan kesiapannya untuk membahas isu de-nuklirisasi di Semenanjung Korea dalam pertemuannya dengan Trump.
Kontak yang melibatkan pejabat Departemen Luar Negeri AS itu difasilitasi oleh misi PBB dan termasuk menggunakan saluran-saluran intelijen meski sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari DPRK.
Pembicaraan tingkat langsung pada level tertinggi antara DPRK dan AS pertama kali tercetus bulan Maret silam setelah Trump menyambut baik undangan DPRK.
Meski banyak pihak yang tak serta merta mempercayai rencana itu bisa terlaksana, namun perkembangan berikutnya menunjukkan tanda-tanda pembicaraan bakal tetap berlangsung. Sinyalemen itu dikuatkan dengan lawatan rahasia Kim Jong Un ke Bejing akhir-akhir ini untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping.
Para analis berpendapat lawatan Kim ke Beijing itu kemungkinan besar dimaksudkan untuk meminta dukungan China menjelang pertemuan Kim dan Trump, sekaligus sebagai langkah antisipasi jika pembicaraan diplomatik gagal.
Menemui Xi Jinping, Jong Un jelas ingin memiliki ‘asuransi’ untuk pertemuan puncak dengan Presiden Trump yang meskpun sangat penting tetapi juga sangat berisiko.
Kegagalan dalam pertemuan itu, AS bisa menyatakan diplomasi telah buntu dan beralih pada pendekatan yang lebih koersif seperti serangan militer.
Selain bersifat sebagai ‘asuransi’ hanya dengan Cina, DPRK memiliki perjanjian pertahanan bersama yang menyebut kedua pihak setuju untuk “segera memberikan bantuan militer dan bantuan lain dengan segala cara jika terjadi perang atau serangan asing.”
Beijing meski mendukung langkah internasional untuk mengendalikan perkembangan senjata nuklir Pyongyang, namun di sisi lain tetap membutuhkan Korea yang stabil sebagai kawasan penyangga di perbatasan timur lautnya.(TGU)