Yustinus Tri Subagya/akun Facebook Yustinus Tri Subagya

Koran Sulindo – Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah mengalami transnasionalisasi dalam soal modal, ideologi dan lain sebagainya. Meski begitu, juga ada penguatan di sisi lain.

Demikian yang diamati Yustinus Tri Subagya M.A., Ph.D.  dosen di Universitas Sanata Dharma Yogya. Pengamatan tersebut dituangkan dalam makalah  ‘Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Marjinalisasi Sosial di Kalimantan Tengah’ yang kemudian dipresentasikan saat Konferensi Internasional ‘Reviving Benedict Anderson – Imagined (Cosmopolitan) Communities’ yang berlangsung di Universitas Sanata Dharma, tanggal 13 – 14 Januari 2017.

“Saya kira mereka sekarang tidak membayangkan nasionalisme seperti masa lalu pada masa Soekarno. Tapi mereka lebih (membayangkan) pada keuntungan yang mereka peroleh,” kata Tri (50).

Tri mengungkapkan bila pengamatannya tersebut dengan mendasarkan pada teori Ben Anderson tentang ‘Imagined Communities’. Di sinilah Tri kemudian mencoba melihat nasionalisme dan melihat Indonesia dalam konteks lokalitas, yakni masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.

Untuk lebih memahami apa yang diamati oleh Tri yang menengarai adanya proses transnasionalisasi di kalangan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, wartawan Sulindo melakukan wawancara dengan Tri di ruang kerjanya di Universitas Sanata Dharma Yogya, Senin (16/1). Berikut petikannya:

Bisa Anda jelaskan kenapa terjadi proses transnasionalisasi di kalangan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah itu?

Saya tertarik membahas itu karena Ben Anderson mengatakan ada suatu yang dibayangkan oleh suatu komunitas sebagai gagasan bersama – imagined communities. Kemudian Ben Anderson juga melihat pergerakan orang di era global sudah tak berada, istilahnya berada dalam tempurung atau terisolasi. Orang sudah dengan cepat pergi ke sana ke mari. Problem yang saya lihat di masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah ada proses transnasionalisasi.

Mulai kapan terjadi proses transnasionalisasi itu?

Sebetulnya masyarakat Dayak itu awalnya tidak tunggal, namun mereka terbagi-bagi berdasarkan wilayah atau genealogi. Dengan demikian ada Dayak Katingan, Dayak Ngaju dan lain sebagainya. Namun pada zaman pemerintahan kolonial mereka disatukan menjadi satu Dayak, meski mereka masih tetap mengidentifikasikan diri berdasarkan wilayah atau garis keturunan.

Peristiwa tahun 1998 saat terjadi kerusuhan dengan etnis Madura,  suku Dayak yang ada kemudian terunifikasi. Jadi mereka ada imajinasi sebagai kesatuan atau yang menyatukan mereka dengan adanya musuh bersama.

Demikian pula kalau kita lihat pada tahun 1956, saat presiden RI pertama Soekarno ke Palangka Raya, pada saat itu terlihat semangat nasionalisme dan etnisitas kedaerahan bisa bertemu. Terlebih saat direncanakan Palangka Raya akan dijadikan sebagai ibukota RI. Di sini terlihat pula bagaimana masyarakat Dayak memberi kontribusi besar kepada negeri ini dengan menyumbangkan hasil hutan.

Nah, dalam hal hutan ini saya melihat pada zaman orde lama tidak banyak hutan yang dieksploitasi. Namun di era orde baru, tepatnya tahun 1967, ketika Gubernur Tjilik Riwut diganti, pembalakan hutan mulai berlangsung. Meski pengganti Tjilik Riwut juga orang Dayak, namun intervensi Jakarta  (Soeharto dan militer) maka hanya dalam waktu 32 tahun HPH menghabiskan hutan termasuk pembukaan lahan 1 juta hektar untuk tanaman padi. Nah, tanah-tanah yang terbengkalai ini dipandang tak punya nilai nyatanya masih diperebutkan di antaranya perusahaan-perusahaan transnasional sawit.

Di sini saya melihat proses pengelolaan sumber daya alam sejak zaman kolonial sampai zaman orde baru, dan sampai sekarang meski sudah ada perbaikan masih mengabaikan orang lokal. Hanya beda prakteknya.

Kalau pasca reformasi, Dayak diberi ruang tetapi kemudian mereka lebih banyak menjadi perantara beroperasinya perusahaan transnasional. Di sini elit-elit klas menengah yang bermain, namun perjuangannya untuk komunitas tak terlalu jelas apa yang diuntungkan secara ekonomi.

Bisa dibilang nasionalismenya luntur atau katakanlah direduksi faktor ekonomi?

Bisa juga dikatakan nasionalisme luntur. Tapi saya menduga ada proses yang terputus bagaimana memahami Indonesia hadir di sana. Ini yang saya amati. Sekarang, misalnya, pemerintahan Jokowi mencanangkan program transmigrasi kembali. Dulu pada masa Soeharto mereka diterima. Juga pada masa Soekarno diterima dengan baik. Tapi sekarang ada penolakan. Orang merasa terancam untuk harus berkompetisi akibat sumber daya alam yang semakin terbatas. Namun mereka tidak sadar di sana telah hadir para pengusaha. Saya menduga seperti itu. Ada proses perebutan sumber daya alam tidak adil. Elit lokal yang tampil banyak menjadi broker atau mediator ketiimbang mengelola sendiri. Kalaupun mengelola sendiri di bawah bayang-bayang perusahaan. Mungkin mereka tidak memiliki infrastrukturnya, namun bukan berarti tidak bisa.

Di sini saya melihat pengelolaan sumber daya alam dikelola lebih berorientasi pasar, dan tidak memberi tempat pada masyarakat lokal menjadi tuannya sendiri.

Ini ke depannya bisa membahayakan keutuhan NKRI?

Hipotesa saya jelas ini akan membahayakan dengan akan munculnya konflik horizontal nantinya. Kalau dulu yang menjadi sasaran orang Madura, maka ke depan konfliknya akan lebih rumit tetapi polanya lebih kurang sama, konflik horizontal.

Kemudian soal nasionalisme mungkin tak dibayangkan lagi. Orang sekarang sudah bisa melintas batas (kosmopolitan). Maka saya menduga nasionalisme akan mereka pahami selama menguntungkan. Tapi sebagai sebuah gerakan justru harus kita temukan bagaimana praktek-praktek itu dikembangkan. Bagaimana orang-orang lokal itu disodorkan mengenai pentingnya menjadi sebuah negara atau bernegara sebàgai sebuah bangsa.

Kira-kira apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan atau membangkitkn lagi rasa nasionalisme?

Terus terang saya belum sampai situ. Tapi kalau kita lihat nasionaliame yang dilontarkan Ben Anderson bahwa hal itu sebagai proyek bersama, bukan sebagai sesuatu yang diwariskan, tapi dibentuk dan diolah. Bahkan nasionalisme ini menjadi satu kebutuhan bersama. Jadi untuk mengembalikan itu ya saya kira dalam proses sosial harus meletakkan prioritas penting pada masyarakat lokal untuk melihat bahwa Indonesia itu menjadi rumah bersama, kebutuhan bersama untuk membangun negeri ini.
Hanya saja kalau rezim otoritarian dengan P4 dan lain-lain. Di satu sisi hal itu perlu namun bukan sebagai proses indoktrinasi. Harus dibuat model yang berbeda. Mungkin memberikan pendidikan kesetaraan, konsensus bersama.

Kalau kita lihat pemerintahan Jokowi sekarang menekankan pembangunan di luar Jawa. Sudah tepat?

Ini policy yang tepat. Hanya pendekatannya yang harus berbeda. Bukan sentralistis lagi, tapi berikan kepercayaan pada pemerintah daerah. Juga proses sosial di masing-masing daerah harus diperhatikan sehingga benar-benar menjadi partisipasi. [Yuyuk Sugarman]