Tradisi Yang Masih dan Terus Hidup di Tana Toraja, Sulawesi Selatan

SUKU TORAJA merupakan salah satu suku diantara 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia (menurut sensus BPS tahun 2010) . Masyarakat Suku Toraja ini hidup di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Mendiami sebagian wilayah pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan dan mempertahankan gaya hidup khas yang masih menunjukkan gaya hidup Austronesia.

Istilah Austronesia sebenarnya mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar.

Di Sulawesi Selatan sendiri masih ada empat kelompok etnis utama yaitu; 1.Suku Bugis, meliputi pembuat kapal dan pelaut; 2.Suku Makassar yang terdiri dari pedagang dan pelaut; 3.Suku Mandar yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, pembuat kapal dan juga pelaut; serta 4.Suku Toraja sebagai petani di dataran tinggi.

Suku Toraja

Sebelum abad ke-20, suku Toraja sebagai salah satu suku yang ada di Sulawesi tinggal di perdesaan terpencil dan masih menganut animisme serta belum tersentuh oleh dunia luar. Barulah pada awal tahun 1900-an para misionaris Belanda datang, kemudian menyebarkan agama Kristen di antara masyarakat suku ini. Hingga kini penganut kristiani masih mendominasi di Tana Toraja.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti ‘orang yang berdiam di negeri atas’. Kemudian pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja memang dikenal akan ritual pemakaman, rumah adat Tongkonan dan ukiran kayunya.

Keunikan yang menonjol dari Suku Toraja yaitu sistem kemasyarakatannya  yang menunjukkan karakteristik perkembangan awal dari masyarakat Austronesia. Hal tersebut dapat dilihat dari  pengetahuan mereka akan kosmologi, upacara-upacara yang kerap mereka lakukan, pengaturan rumah, juga teknik pembangunan rumah.

Sejak tahun 1990-an masyarakat suku ini mengalami transformasi budaya, dari masyarakat tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Tradisi Suku Toraja

Permukiman Tradisional masyarakat Toraja ini terdiri dari 10 permukiman tradisional yang tersebar di Kabupaten Tana Toraja. Di dalam setiap permukiman dapat ditemui kompleks rumah tradisional (tongkonan), perkuburan (liang), tempat upacara dengan menhir (rante), sawah, hutan bambu, dan ilalang tempat menggembalakan kerbau dan babi.

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Suku Toraja dengan ciri rumah panggung dari kayu, di mana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Sedangkan atap rumah Tongkonan dilapisi ijuk hitam. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Sekilas mirip bangunan Rumah Gadang di Minangkabau atau rumah adat Batak.

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa merupakan satu keluarga besar. Maka dari itu setiap Tongkonan memiliki nama yang dijadikan nama desa.

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku ini. Ritual yang berhubungan dengan Tongkonan sangat lah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangkan hubungan dengan leluhur mereka.

Permukiman suku ini jika diamati, rumah-rumah tampak berjejer mengarah ke utara, hal tersebut melambangkan leluhur mereka yang berasal dari utara. Dipercayai jika nanti saatnya meninggal, mereka akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.

Berdasarkan penelitian ada yang mempercayai bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tonkin, Tiongkok, yang kebetulan memang terletak di sebelah utara pulau Sulawesi. Kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan. Sebagian lagi lebih mempercayai bahwa orang Toraja hanya sebagai salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia.

Ada yang menarik pada proses penanganan jenazah di dalam adat masyarakat Toraja. Jenazah yang baru mati biasanya tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah Tongkonan. Agar tidak berbau dan membusuk, mayat pun dibalsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Sebelum upacara penguburan dilakukan,  mayat  dianggap sebagai ‘orang sakit’ dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut erong yang berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara untuk para bangsawan berbentuk rumah adat.

Ornamen rumah Tongkonan yang berupa tanduk kerbau terdiri dari empat warna dasar, yaitu hitam, merah, kuning dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Warna hitam melambangkan kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Serta putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci.

Permukiman Tradisional Tana Toraja adalah tradisi yang masih dan terus hidup, serta sudah diwariskan antar generasi selama kurang lebih 700 tahun, bahkan dapat ditarik jauh hingga ke masa prasejarah. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi pun ikut mengalami perubahan. Masyarakat Toraja yang dulunya hidup di perbukitan, kini berpindah ke dataran rendah.

Adat penguburan juga mengalami perubahan. Pada waktu sebelumnya, jasad dan bekal kubur disimpan di dalam peti mati dengan pola hias yang rumit. Namun, suku Bugis sebagai pendatang sempat merusak bekal kubur dan peti mati. Maka sejak masa-masa itu masyarakat Toraja membuat peti mati yang lebih sederhana dan menempatkannya pada dinding tebing yang tinggi.  [S21]