Ilustrasi

Koran Sulindo – Akhir September itu seberang Istana Negara, Jakarta dipenuhi petani dari Banten, Rumpin [Bogor], Pengalengan [Jawa Barat], Wonosobo dan Blora [Jawa Tengah]. Itulah cara Front Perjuangan Rakyat [FPR] memperingati Hari Tani Nasional ke-56. FPR menuntut pelaksanaan reforma agraria sejati. Reforma agaria sejati merupakan usaha untuk menggantikan aturan kolonial yang memberikan kesempatan luas bagi kolonial, tuan tanah dan investasi untuk merampas dan memonopoli tanah rakyat.

“Karena hanya dengan reforma agraria sejati dan industri nasional, rakyat Indonesia akan mampu meraih kemandirian, kedaulatan dan kemerdekaan sejati. Namun, reforma agraria sejati setelah era Bung Karno, tidak lagi menjadi agenda kebijakan pemerintah,” kata Koordinator Umum FPR Rudi HB Daman di Jakarta beberapa waktu lalu.

Berbicara reforma agraria sejati tentu tidak bisa dilepaskan dari Undang Undang Pokok Agraria [UUPA] 1960. Kelahiran UU ini menggantikan UU Kolonial Agraria 1870 yang sangat feodalistik. Sejarah pembentukan UUPA merentang panjang melewati jalan terjal dan berliku. Usaha pembentukan UUPA dimulai dari pembentukan Panitia Agraria di Yogyakarta pada 1948. Secara umum juga dikenal dengan Panitia Agraria Yogyakarta. Kala itu, ibu kota republik mesti dipindahkan ke Yogyakarta karena agresi Belanda setelah Proklamasi 1945.

Berdasarkan buku Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Agraria 1948-1965 yang diterbitkan STPN Press pada 2014 menuliskan, panitia ini dibentuk melalui penetapan Presiden RI pada 21 Mei 1948. Langkah ini sebagai bentuk keseriusan Bung Karno atas masalah agraria di Indonesia, sebuah negara yang baru tiga tahun itu. Ketuanya adalah Sarimin Reksodihardjo [Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri] dan beranggotakan pejabat-pejabat lintas kementerian, jawatan, anggota-angota badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat [KNIP], organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adar dan wakil dari serikat buruh perkebunan.

Setelah ditetapkan, Panitia ini hanya bekerja selama 2,5 bulan. Dalam laporannya, Panitia ini banyak menghadirkan ahli. Setidaknya tercatat 25 ahli hingga Juni 1948, akan tetapi baru dua orang yang menyumbangkan pemikirannya. Pendeknya, Panitia ini kemudian berhasil melahirkan UU Penghapusan Konversi Tahun 1948. Setelah itu, presiden membubarkan Panitia tersebut. Akan tetapi, UU Penghapusan Konversi ini dianggap tidak cukup memadai untuk menyelesaikan berbagai persoalan agraria terutama tanah di Indonesia. Itu sebabnya, pemerintah kembali membentuk panitia yang serupa ketika ibu kota kembali dipindahkan ke Jakarta.

Berdasarkan skema yang telah dibuat Panitia Agraria Yogyakarta, sesungguhnya persoalan pokok hak tanah di republik mulai tampak. Skema itu memperlihatkan soal subyek dan obyek, juga menampilkan skema hak atas tanah bagi warga asing. Dalam skema itu muncul dua subyek, warga negara dan bukan warga negara. Akan tetapi, entah mengapa skema hak tanah secara komunal tidak muncul secara detail. Padahal, pada poin pertama rekomendasi Panitia kepada pemerintah berkaitan dengan pengakuan hak ulayat.

Panitia Agraria Jakarta dibentuk berdasarkan penetapan Presiden Nomor 36 Tahun 1951. Panitia kembali di pimpin Sarimin Reksodihardjo yang juga merangkap sebagai anggota. Sementara Wakil Ketua dijabat Sadjarwo, Kepala Bagian Politik Umum dan Planning Kementerian Pertanian. Tugas Panitia ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan Panitia sebelumnya: merencanakan dasar-dasar baru hukum tanah. Sarimin akhirnya digantikan Singgih Praptodiharjo karena diangkat sebagai Gubernur Nusa Tenggara.

Pada periode itu pula Presiden Soekarno menetapkan seorang Menteri Agraria yang dijabat Gondakusumo. Namun, baru 20 November 1951 Gondokusumo menduduki jabatan tersebut. Tidak lebih dari lima bulan, Gondokusumo meninggal dan posisi menteri ini dibiarkan kosong hingga Kabinet Sukiman jatuh pada 3 April 1952.

Persoalan agraria kembali menjadi perhatian serius pada Kabinet Burhanuddin Harahap tatkala Goenawan menjabat sebagai Menteri Agraria. Namun, karena umur kabinet ini singkat, maka pekerjaan untuk menyelesaikan persoalan agraria kembali diserahkan kepada Panitia Negara Urusan Agraria yang dibentuk pada 14 Januari 1956. Panitia ini diketuai Soewatijo Soemodilogo yang ketika itu menjabat sebagai Sekjen Kementerian Agraria. Tugas panitia ini menyiapkan Rancangan Undang Undang Pokok Agraria dalam waktu setahun.

Berbeda dari Panitia sebelumnya, boleh dibilang Panitia kali ini lebih fokus dan targetnya jelas dan tegas. Bahkan hasil pekerjaan mereka harus dilaporkan kepada Menteri Agraria setiap triwulan. Dan benar dari lembaga ini pulalah lahir UUPA yang sangat penting bagi sejarah Indonesia terutama dalam persoalan yang menyangkut sumber daya alam. Secara resmi, hasil Panitia diajukan sebagai rancangan UU kepada Dewan Perwakilan Rakyat [DPR]. Selanjutnya rancangan tersebut dikenal sebagai “Rancangan Sadjarwo”. Penetapan UUPA pada 24 September itu kemudian ditetapkan Presiden Soekarno sebagai Hari Tani Nasional

Tonggak Penting
Karena itu, penetapan UUPA boleh disebut tonggak sejarah paling penting dalam sejarah agraria Indonesia. Cita-cita yang melandasinya adalah menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah untuk meningkatkan kehidupan kaum tani. Bahkan program landreform yang menjadi inti dari UUPA sebagai dasar pembangunan semesta. Bung Karno di berbagai kesempatan menyebutnya sebagai satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia.

Syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara.

Namun, 56 tahun berselang, nasib UUPA semakin tidak jelas. Struktur penguasaan agraria dan tanah di Indonesia justru kian timpang. Bahkan pemerintahan yang dimulai era Orde Baru di bawah Soeharto hingga kini justru menerbitkan berbagai UU baru yang mempermudah dan membenarkan perampasan dan monopoli tanah seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan dan lain sebagainya.

Menurut Koordinator FPR Rudi, pihaknya mengumpulkan data kepemilikan tanah dalam jumlah besar yang dikuasai hanya segelintir orang. Untuk perkebunan sawit, misalnya, tuan tanah besar telah mengantongi izin yang mencapai 29 juta hektare, termasuk luas lahan perkebunan yang dikuasai negara. Sedangkan kawasan hutan terdapat 531 konsesi hutan skala besar di atas lahan sekitar 36 juta hektare. Di sektor pertambangan terdapat sekitar delapan ribu izin pertambangan di atas lahan sekitar 2,5 juta hektare hingga Juni 2012. Secara nasional kepemilikan atau monopoli tanah itu terdiri atas 16 grup tuan tanah besar termasuk pemerintah.

Sementara kondisi kehidupan kaum tani juga tidak jauh berbeda dengan masa kolonialisme. Penindasan yang disertai kekerasan terus menimpa kaum tani. Catatan FPR hingga Mei 2016, sedikitnya terdapat 59 kasus yang terjadi di 18 provinsi dengan jumlah korban kekerasan mencapai sekitar 256 orang, korban penembakan sekitar 39 orang, korban penangkapan 581 orang, korban kriminalisasi 82 orang dan korban tewas 10 orang. Dalam dua bulan terakhir, sekitar 200 petani kecil dikriminalisasi dengan tuduhan pembakar lahan.

“Ini ironis. Bayangkan kaum tani yang berjumlah 65 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, rata-rata hanya memiliki lahan sekitar 0,25 hektare,” kata Rudi. Lantas bagaimanakah ujung UUPA? Dari fakta tersebut, akankah UUPA bernasib seperti Bung Karno? (Kristian Ginting)