Tokoh-Muhammadiyah-Di-Balik-Sejarah-Berdirinya-Kementerian-Agama
Tokoh-Muhammadiyah-Di-Balik-Sejarah-Berdirinya-Kementerian-Agama (hajinews.id)

Rapat pleno fraksi Islam dalam Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Banyumas pada awal November 1945 berlangsung alot. Di rapat timbul diskusi dan perdebatan menyangkut usulan perlunya dibentuk suatu kementerian yang mengakomodasi persoalan umat Islam.

Abu Dardiri sebagai anggota KNI utusan Muhammadiyah kokoh dengan gagasannya tersebut. Dia berpendapat, kementerian itu nantinya mengurus masalah pernikahan, talak, rujuk, ibadah haji, wakaf, pengadilan agama, politik umat Islam, serta urusan madrasah dan pondok pesantren, yang menjadi perhatian fraksi Islam.  

Rapat pleno KNI Banyumas akhirnya menyetujui usul pengadaan Kementerian Agama. Usul ini akan diajukan dalam Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang berlangsung pada 25 November 1945 di Jakarta. Rapat juga sepakat mengutus KH. Abu Dardiri dan Haji Soleh Su’aidy untuk memperjuangkan usulan tersebut dalam Sidang BPKNIP. 

Berangkat ke Jakarta, kedua tokoh tersebut ditemani Sukoso Wirjosaputro yang juga anggota KNI Banyumas. Di pundak ketiga tokoh inilah usul pengadaan Kementerian Agama dari KNI daerah Banyumas dibebankan.

Empat hari sebelum sidang BPKNIP digelar (11 November), KH. Abu Dardiri dan Haji Soleh Su’aidy menemui beberapa tokoh nasional anggota KNIP. Keduanya menyampaikan usulan KNI Banyumas yang menghendaki pembentukan Kementerian Agama yang berdiri sendiri. 

Beberapa tokoh anggota KNIP meresponnya secara positif, bahkan memberikan dukungan atas usulan KNI Banyumas tersebut. Tokoh-tokoh anggota KNIP yang mendukung pembentukan Kementerian Agama antara lain Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo.

Kartosudarmo selain tercatat sebagai anggota KNIP juga Konsul Muhammadiyah Betawi. Hubungan ideologis antara Kartosudarmo dengan KH. Abu Dardiri inilah yang memungkinkan proses komunikasi politik berjalan lancar. Usul pembentukan Kementerian Agama yang semula aspirasi KNI Banyumas semakin mudah diterima karena merupakan bagian dari aspirasi umat Islam pada umumnya.

Dalam sidang BPKNIP pada 25 November, rekomendasi dari KNI Banyumas berhasil menjadi keputusan bersama yang akan diteruskan kepada pemerintah. KNIP kemudian menyampaikan usulan tersebut kepada pemerintah. Pada 3 Januari 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan membentuk Kementerian Agama Republik Indonesia, dengan HM. Rasyidi sebagai menteri agama pertama.

Kini Abu Dardiri pun dicatat sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam proses politik di BPKNIP hingga akhirnya terbentuk Kementerian Agama. Wajahnya tampak bulat bersih. Kulitnya sawo matang. Dia selalu memakai kacamata minus dan mengenakan peci hitam. Mengenakan jas hitam necis menunjukkan ia seorang yang berdedikasi tinggi. Pembawaannya sangat tenang dan berwibawa sehingga banyak orang menghormatinya. 

Lahir di Gombong pada 24 Agustus 1895, Dardiri termasuk pemuda terpelajar. Dalam “Riwayat Hidup KH. Abu Dardiri” karya HM. Junus Anis ditulis, saat muda Dardiri pernah bekerja sebagai pegawai kereta api S.D.S., lalu pindah bekerja di pabrik gula. 

Ia menetap di Purbalingga lalu merintis usaha percetakan yang menggunakan peralatan sederhana, masih menggunakan bahan batu (steendrukkerij). Kapasitas produksinya hanya 300-500 lembar per hari. 

Pada 1920, ketika Muhammadiyah cabang Purbalingga berdiri, Abu Dardiri terpilih sebagai ketua. Sambil menjalankan bisnis percetakan, ia berjuang di bawah payung Muhammadiyah cabang Purbalingga. Bisnis percetakannya terus berkembang. Ia juga berhasil mendirikan percetakan di Jakarta dan Gombong.

Pada 1940, Muhammadiyah daerah Banyumas menyelenggarakan konferensi daerah untuk memilih konsul. Dalam konferensi tersebut, Abu Dardiri mendapat suara terbanyak (94 suara), disusul Hasan Miharja (83 suara), dan Soeparman (74 suara). Abu Dardiri terpilih sebagai Konsul Muhammadiyah Banyumas yang membawahi seluruh karesidenan ini.

Pada 1943, Abu Dardiri pindah dari Purbalingga, dan menetap di Purwokerto demi mengemban tugasnya sebagai Konsul Muhammadiyah daerah Banyumas. Jabatan Konsul pada waktu itu masuk dalam struktur Hoofdbestuur (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Dia menyerahkan jabatan ketua Muhammadiyah Purbalingga kepada H. Djawawi Hasjim dan KH. Sjarbini.

Pada masa penjajahan Jepang, selain tetap menjalankan roda bisnis percetakan dan berjuang di Muhammadiyah, Dardiri mendapat amanat sebagai Kepala Jawatan Agama untuk wilayah Karesidenan Banyumas. Memasuki masa kemerdekaan, pada 1945, Dardiri terpilih sebagai Ketua Partai Masyumi Purwokerto. 

Ia juga masuk dalam Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Banyumas sebagai ketua muda. Dalam KNI Banyumas inilah kiprah Abu Dardiri sangat menentukan dalam proses memperjuangkan usul pembentukan Kementerian Agama. Pada waktu itu, untuk mengakomodasi persoalan-persoalan umat Islam, pemerintah menampungnya dalam Kementerian Pengajaran.

 Sebagaimana ditulis majalah Suara Muhammadiyah edisi Agustus 1967, Abu Dardiri meninggal dunia pada 1 Agustus 1967 di kediamannya di Jalan Ragasemangsang, Purwokerto. Ia wafat dalam usia 72 tahun, meninggalkan dua orang istri dan lima orang anak. [AT]