Koran Sulindo – Di tengah suhu kawasan yang memanas dan juga pernyataan-pernyataan Presiden Amerika Serikat yang seakan ingin memantik api perang dengan banyak negara, terutama dengan Korea Utara, TNI Angkatan Darat memastikan pada tahun 2018 ini tidak akan membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) baru. “Alutsista yang baru, jenis baru, tidak ada sampai dengan tahun 2019,” ungkap Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Mulyono di Markas Besar TNI AD, Jakarta, Kamis (8/2).
Diakui Mulyono, kebijakan tersebut dibuat oleh dirinya selaku KSAD. Karena, dirinya hingga tahun 2019 mendatang akan fokus melengkapi sarana dan prasarana serta alat-alat pendukung alutsista yang telah didatangkan dan yang akan tiba. “Sehingga sampai dengan 2019, semua [alutsista] harus bisa dioperasikan, itu kebijakan saya,” ujarnya.
Pada tahun 2018 ini, TNI AD akan kedatangan sejumlah alutsista yang telah dibeli pada tahun-tahun sebelumnya, antara lain helikopter Apache, mobil peluncur roket ASTROS, dan sejumlah peralatan tempur lain. Untuk helikopter Apache, dari 8 heli yang dipesan, TNI AD baru mendapatkan 3 unit. Ketiga unit itu pun, kata Mulyono, baru tiba Desember 2017 lalu dan belum sempat diuji terbang karena masih harus dirakit kembali. Sisanya, sebanyak 5 unit akan tiba April 2018 mendatang. “Tetapi untuk yang uji di negaranya sudah pernah dilakukan,” ujar Mulyono.
Memang, dalam terjadi penurunan anggaran untuk Kementerian Pertahanan pada 2018 bila dibanding dengan tahun 2017 lalu. Dan, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara pada September 2017 lalu, , anggaran pembelian alutsista dan alat komunikasi khusus (almatsus) sebesar Rp 4,5 triliun berasal dari utang. Anggaran tersebut sudah dimasukkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 tepatnya terdapat di Kementerian Pertahanan Rp 3,5 triliun dan Polri Rp 1 triliun. Anggaran untuk alutsista pada 2018 itu tidak sampai 10% dari total anggaran untuk Kementerian Pertahanan, yang totalnya Rp 105,7 triliun.
“Jadi untuk Kementerian Pertahanan dan kepolisan, itu pinjaman dalam negeri untuk pembiayaan pembelian alutsista dari domestik,” katanya saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Jakarta, 25 September 2017. Ia menegaskan, utang tersebut bukan berasal dari luar negeri, namun dari perbankan nasional.
Padahal, Indonesia telah menandatangani kontrak pembelian 11 unit pesawat tempur SU-35, Gen 4.5, lengkap dengan persenjataannya, dengan nilai US$ 600 juta dolar atau kira-kira Rp 7,9 triliun, meski memang pembayarannya dengan skema tahun jamak (multiyears). Namun, itu baru satu matra. Dan, TNI Angkatan Udara pada tahun 2018 ini hanya mendapat anggaran kurang dari Rp 2 triliun. Jadi, bisa dibayangkan, bagaimana sempitnya ruang untuk pengelolaan anggaran di TNI AU.
Masalah yang hampir sama juga tampaknya dialami matra yang lain. Buktinya, ya, seperti diungkapkan di atas: TNI AD tidak akan membeli alutsista baru pada tahun ini.
Bagaimana dengan TNI Angkatan Laut? Pada 26 Januari 2018 lalu, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi mengungkapkan, pihaknya mengajukan permintaan penambahan 35 kapal perang Indonesia untuk memenuhi jumlah standard alutsista TNI, untuk memperkuat alutsista matra laut TNI.
“Kami harapmemenuhi standard-lah, sekitar 186 kapal,” tutur Ade di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur. Permintaan tersebut, lanjutnya, telah diajukan ke Kementerian Pertahanan.
Namun, Kementerian Pertahanan tentu harus meminta persetujuan Kementerian Keuangan. Penambahan jumlah kapal perang nantinya juga bergantung pada keputusan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sekarang ini, kata Ade lagi, jumlah kapal perang TNI AL ada 151 unit. Padahal, di tahun 1960-an, Indonesia memiliki 162 kapal perang.
Laksamana TNI Ade juga berharap TNI AL mendapat tambahan kapal selam baru. Pada masa Presiden Soekarno, 1960-an, Indonesia membeli 12 kapal selam jenis Whiskey Class. Kedua belas kapal selam tersebut sampai sekarang ini masih dipakai. Karena itu, Ade berharap, TNI AL memiliki kapal selam tambahan dengan jumlah yang sama. “Jumlah kapal selam yang diharapkan tidak usah banyak-banyak. Sama seperti dulu saja, 12 kapal,” tuturnya.
Masalahnya, uangnya dari mana? Sementara itu, utang luar negeri kita juga terus naik. Hingga akhir triwulan III-2017 atau akhir September 2017, jumlah utang luar negeri pemerintah dan Bank Indonesia mencapai US$ 175,91 miliar. Angka ini tumbuh 8,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Selain itu, menurut informasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, beberapa utang jatuh tempo dalam periode 2018 dan 2019. Pada 2018 ini, utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar Rp 420 triliun. Jika dijumlah: Rp 810 triliun, kurang-lebih. Jumlah ini merupakan yang tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. [RAF]