WILAYAH Mangir di era akhir kejayaan Demak adalah daerah yang tak pernah tunduk kekuasaan manapun, juga pada Pajang maupun Mataram.
Wilayah itu dianggap meneruskan tradisi Majapahit sebagai daerah perdikan yang bebas pajak dan merdeka.
Meski bisa dianggap sebagai sebuah ‘kerajaan’, yang membedakan dengan kerajaan lain, Mangir sama sekali tak pernah berniat meluaskan wilayahnya. Jauh berbeda dengan tetangga dekatnya yang ekspansif, Mataram di masa Panembahan Senapati.
Sebagai daerah yang merasakan sepenuhnya daulat, kontan saja Mangir menolak ketika tiba-tiba utusan Mataram nyelonong memerintahkan mereka patuh dan tunduk.
Menuai penolakan tersebut Panembahan Senopati, raja Mataram kala itu langsung murka dan menganggap Ki Ageng Mangir sebagai pembangkang.
Senopati menganggap wilayah perdikan di depan hidungnya sebagai slilit atau sisa makanan yang nyangkut di sela-sela gigi.
Kenyang perang sejak muda, Senapati sejatinya ingin langsung saja menggilas Mangir dengan kekuatan tentara.
Hanya saja, pengalaman menaklukkan Arya Penangsan di Jipang Panolan serta pemusnahan sisa-sisa keturunan Jaka Tingkir di Pajang menunjukkan bahwa perang butuh biaya mahal dan ongkos politik yang tinggi.
“Perang tidak untuk Mangir,” begitu pikir Panembahan Senopati dan wilayah itu harus diperlakukan dengan cara tersendiri yang lebih ‘berbudaya’ dan ‘manusiawi’.
Enggan secara terbuka melawan trah Majapahit itu, Senapati mengirim putri sulungnya Retno Pambanyun untuk merayu Ki Ageng Mangir yang memang masih muda.
Pambayun menyamar sebagai ronggeng yang berkeliling hingga ke Mangir. Rencana Senapati itu berjalan mulus, Mangir jatuh cinta pada Pambayun yang segera mengandung setelah ijab.
Melalui Pembayun inilah belakangan sikap Ki Ageng Mangir mulai melunak kepada Senopati dan Mataram.
Sebagai menantu, ia bahkan bersedia menghadap Panembahan Senapati. Sayangnya, niat baik itu menjadi akhir hidupnya. Senopati menghantam kepala Ki Ageng Mangir ketika ia sedang mengaturkan sembah. Retno Pambayun yang mengetahui suaminya dibunuh oleh ayahnya menjadi murka.
Kisah tragis Babad Ki Ageng Mangir terbitan Volkslektuur itulah yang kemudian diinterprestasi ulang oleh Tjipto Mangunkusumo dan menyebutnya sebagai ‘seni yang revolusioner’ sekaligus menyebarkannya dalam bentuk toneel atau ketoprak agar lebih mudah dicerna rakyat banyak.
Tjipto berencana mementaskan kisah itu pada acara Kongres NIP-SH, 20 Maret 1920, tepat di puncak serangan kampanye anti raja-raja yang digagasnya.
Lalu apa yang Tjipto maksud dengan ‘revolusioner’ dan apa yang ‘revolusioner’ dalam cerita itu?
Bentuk teatrikal untuk menebar gagasan seperti yang dilakukanTjipto itu bukan barang baru.
Meskipun tidak ada yang tahu cerita-cerita apa yang pernah dilakonkan di Hindia Belanda, tapi toneel atau ketoprak sebagai bentuk propaganda pergerakan barangkali sudah ada setua ‘pergerakan’ itu sendiri.
Kualitas revolusioner dalam menggunakan kisah-kisah babad jalan ceritanya dihapal masyarakat setidaknya menunjukkan kualitas revolusioner Tjipto dalam dua hal.
Pertama, Tjipto menampilkan sosok Panembahan Senopati pendiri Mataram sebagai ksatria palsu. Tokoh ini dalam cerita itu ditampilkan sebagai ‘keji, dan pengecut dan memiliki kebiasaan culas.
Jika pendirinya adalah ksatria gadungan, maka seluruh keturunannya termasuk Susuhunan Pakubuwana X dan Mangkunegara VII juga pasti ksatria gadungan. Klaim moral dan historis raja-raja Mataram atas kerajaan oleh karenanya harus ditolak.
Kedua, dan justru yang lebih penting dari lakon yang dipentaskan Tjipto ini adalah dibongkarnya tipu muslihat Panembahan Senopati. Dalam ketoprak biasanya cerita dikisahkan sedemikian rupa sehingga bagaimanapun pemberontakan bisa dikalahkan dan ketenangan kembali berkuasa.
Sebaliknya dalam kisah Tjipto itu meskipun raja sudah mengalahkan Ki Ageng, ketentraman tidak pernah terjadi karena Retno Pambayun menjadi murka karena tipu muslihat Panembahan Senopati kemudian diketahuinya.
Bila mana sesuatu disebut sebagai tipu muslihat? Disebut muslihat jika setidaknya ada tiga pihak di dalamnya. Pertama harus ada yang menggunaan tipu muslihat, dalam hal ini adalah raja. Kedua, harus ada pihak yang tertipu, dalam hal ini Ki Ageng.
Lebih dari itu dibutuhkan satu pihak lagi yang bisa melihat bahwa tindakan itu adalah tipu daya sekaligus menyatakannya.
Pihak ketiga ini adalah pihak yang bisa mengungguli baik pihak pertama dan kedua yang sedang berkonflik. Dalam hal ini Putri Raja dan juga Tjipto, si pencerita adalah pihak yang membongkar tipu muslihat itu dan menjadikan peristiwa itu dimengerti sebagai tipu muslihat.
Kondisi itu secara hirerarkis menempatkan Tjipto berada di posisi puncak dan memaparkan hierarki di bawahnya. Struktur bercerita inilah yang revolusioner.
Mengomentari lakon Ki Ageng Mangir dalam sebuah pidatonya, Haji Mohammad Misbach mengatakan lakon yang dipentaskan itu merupakan bagian kegiatan Sarekat Hindia menyusun sejarah sekaligus memperlihatkan kebiasaan aneh di kalangan kelas atas dan raja-raja Jawa.
Ia mencontohkan kebiasaan raja-raja yang tak menunjukkan watak perikemanusiaan itu dan gemar menyiksa orang-orang.
“Melihat orang-orang buta yang berkejar-kejaran dan menabrak pohon itu membuat mereka senang. Mereka juga tahu orang-orang buta itu makan daging tikus dan kemudian bertanya daging apa yang sedang dimakan itu. Mereka yang tak satupun tahu itu daging tikus hanya menjawab bahwa rasanya enak. Sambil tertawa, mereka memberi tahu bahwa itu daging tikus,” kata Misbach.
Residen Surakarta AJW Harloff menanggap pertunjukan itu ‘cukup jujur’ dan memberikan izin. Namun, kalangan pro-kerajaan segera merasa pertunjukan itu menjadi ancaman.
Pangeran Hadiwidjojo diam-diam mempelajari rencana Tjipto itu dan mengirim mata-mata di kalangan Sarekat Hindia. Bahkan, beberapa hari sebelum kongres ia memperingatkan residen bahwa pertunjukan itu akan ‘mempermalukan keraton’ dan seluruh pangeran akan merasa dipermalukan karena leluhur mereka dibuat malu jika pertunjukan itu tetap digelar.
Mereka juga mengancam bisa membuat keributan dalam pertunjukan itu. Ancaman itulah yang membuat Residen Harloff kemudian membatalkan izinnya.
Tetapi, tindakan itulah yang membuat sang residen justru masuk dalam perangkap Tjipto. Lakok Ki Ageng Mangir didasarkan pada buku Babad Ki Ageng Mangir, yang diterbitkan oleh pemerintah dan jalan ceritanya juga sama.
Melarang ketoprak lakon itu berarti Harloff melawan kebijakan pemerintah. Tjipto tak terima dan segera menuding Harloff tidak konsisten.
Dengan menggelar lakon itu, Tjipto secara frontal sudah menyerang sunan, menjungkirbalikan hierarki, dan sekaligus membuat marah residen. Dengan memperlihatkan tipu muslihat sunan dan Senopati, Tjipto seolah-olah sedang bercerita kepada ‘orang-orang buta’ bahwa sebenarnya sunan dan Senopati itu gadungan.
Dalam hal ini, seperti nama surat kabarnya Panggoegah,Tjipto benar-benar bertindak sebagai penggugah. Ia membuat orang melihat apa yang sebelumnya tidak dapat mereka lihat.
Dan ketika orang mulai bisa melihat, maka mereka melihat posisi Tjipto ada ‘di atas’ sunan berikut segala hierarki yang djungkirbalikkan.
Di tengah makin tajamnya polarisasi akibat kampanye anti-raja yang digelar Tjipto, untuk pertama kalinya rapat umum yang digelar Sarekat Hindia di Solo 15 Oktober 1919 itu dihadiri 2.000 orang.
Di sisi lain, meski diselenggarakan oleh Tjipto tokoh utama dalam rapat itu justru Soewardi Soerjaningrat dan Tjokroaminoto.
Sebagai ketua hoofdbestuur NIP-SH, Soewardi segera mengimbau ‘kerja sama dan gotong royong’ antara Sarekat Hindia dan Sarekat Islam yang segera disambut baik oleh Tjokro.
Meskipun Soewardi dan Tjokro sama sekali tak menyinggung serangan Tjipto kepada Sunan, bangsawan Solo dan pemerintah Hindia, penampilan bersama SH dan SI dan janji mereka untuk bekerjasama harus dipahami sebagai terbentuknya front baru. Front ‘perkumpulan kaum kromo’ melawan kekuatan pro-kerajaan dan kebangsawanan. [TGU]
* tulisan ini pertama dimuat pada Juni 2019