Koran Sulindo – Tiongkok kini tumbuh menjadi kekuatan raksasa dunia baik dari segi persenjataan maupun ekonomi. Karena itu, selain Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Tiongkok kini menjadi emerging power yang sulit dibantah dalam hubungan internasional. Buktinya dari 2008 hingga 2014, ekonomi Tiongkok berkontribusi sebesar 30% bagi pertumbuhan ekonomi global.
Investasi Tiongkok di luar negeri saat ini telah memberikan kontribusi terbesar bagi ekonomi dunia. Dari situasi itu pula, puncak agenda ekonomi pemerintahan Xi Jinping di masa-masa mendatang adalah memastikan stabilitas keuangan negaranya. Rasio utang Tiongkok diprediksi untuk empat tahun ke depan mencapai 320% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dari saat ini yang berada pada posisi 251% dari PDB.
Sepanjang tahun lalu, Tiongkok berupaya menekan beban utang yang dapat membahayakan stabilitas keuangan negara. Karena itu, pemerintah pada 2017 memperketat aturan tentang pinjaman dan pembangunan properti di kota-kota besar negara itu. Dengan menetapkan aturan tersebut, Tiongkok disebut akan merasakan manfaatnya pada 2018 serta menjadi jaminan untuk kestabilan keuangan negeri tersebut.
Kendati telah mencapai “prestasi” sedemikian rupa, kesenjangan regional dan dalam negeri Tiongkok semakin melebar. Lantas apa yang salah dengan sistem ekonomi yang dinilai masih dalam rangka “komunisme itu”? Atau benarkah sistem ekonomi Tiongkok di bawah Jinping masih sesuai dengan cita-cita Mao Zedong, pendiri Partai Komunis Tiongkok?
Situasi yang dialami Tiongkok tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Sejak 1970-an, terutama sejak kematian Mao pada 1976, Deng Xiaoping yang memimpin Tiongkok kala itu mulai menerapkan politik ekonomi terbuka atau ia menyebutnya sebagai reformasi kapitalisme atau restorasi kapitalisme. Meski kebijakan tersebut berdampak luas terhadap rakyatnya, sejak itu pula Deng menikmati pertumbuhan ekonomi kapitalis yang menyebabkan kesenjangan melebar.
Nicholas R. Lardy, peneliti senior dari Peterson Institute for International Economics pada 2003 mengatakan, peningkatan pasar perdagangan global Tiongkok terjadi dalam 25 tahun sejak Deng membuka pintu politik ekonomi terbuka. Menurutnya, sejak itu kinerja perdagangan Tiongkok menjadi lebih kuat, meski pada saat yang sama perdagangan global sedang melambat. Selanjutnya pada 2001 dan 2002, itulah kali pertama Tiongkok melampaui pertumbuhan ekonomi Kanada dan Inggris. Selanjutnya pada 2003, perekonomian Tiongkok melampui perekonomian Prancis. Sejak itu pula, ekonomi Tiongkok menjadi terbesar ketiga di dunia.
Sebelum akhir 1970-an, kata Lardy, perdagangan komoditas Tiongkok seluruhnya direncanakan negara. Termasuk soal impor dan ekspor. Sejumlah perusahaan juga dikelola oleh negara terutama untuk komoditas yang berkaitan dengan rakyat. Itulah satu-satunya perdagangan resmi.
Ekspansi perekonomian Tiongkok juga mendapat perhatian dari kolumnis kenamaan The New York Times Fareed Zakaria. Menurut Fareed dalam Gejolak Dunia Pasca-Kekuasaan Amerika (2015), kendati Tiongkok bukan satu-satunya negara yang memiliki cadangan devisa di atas US$ 100 miliar, tapi hanya negeri ini yang memiliki cadangan devisa mencapai US$ 2,5 triliun. Kebanyakan memang dalam bentuk dolar. Yang membedakan Tiongkok dan AS saat ini adalah pemerintahnya banyak menimbun uang dalam bentuk investasi. Yang paling aman adalah dengan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah AS.
Menurut Fareed, tindakan Tiongkok itu praktis menyubsidi perilaku yang menyebabkan utang AS bertumpuk-tumpuk yaitu konsumsi. Tiongkok mendanai keborosan AS dan mengakumulasi obligasi dolar AS. Tiongkok disebut Fareed terlampau banyak menabung, sedangkan AS kelewat banyak membelanjakan uang. Sistem itu, kata Fareed, sepertinya seimbang. Tiongkok menjadi kreditor luar negeri AS yang terbesar, melampaui Jepang yang tidak lagi membeli obligasi AS banyak-banyak. Karena itu, Tiongkok kini memegang obligasi terbanyak di dunia terutama yang bertanda tangan Paman Sam.
Restorasi Kapitalisme
Sejak Tiongkok resmi mereformasi kapitalisme, terutama setelah kematian Mao, perdebatan mengenai negeri ini terbelah menjadi dua pandangan. Pihak yang masih setia dan mempertahankan pemikiran Mao menganggap apa yang terjadi di Tiongkok sekarang ini menuju negara turbo kapitalisme atau negara yang mempratikkan kapitalisme bahkan melewati apa yang terjadi di AS. Inilah yang disebut sebagai restorasi kapitalisme itu. Di sisi lain, Jinping masih saja menjajakan kebijakannya itu masih berpedoman terhadap komunisme.
Selain Menyasar Asia Tenggara, ekspansi modal Tiongkok telah menancap terlebih dulu di Afrika. Investasi tersebut oleh sebagian pihak menyebutnya sebagai bentuk penjajahan baru di Afrika atau apa yang disebut Bung Karno sebagai neo-kolonialisme. Itu sebabnya, Barat yang masih mendominasi negeri-negeri Afrika wajar tidak menyukai perkembangan modal Tiongkok di Afrika. Apalagi perusahaan Barat disebut tidak mampu bersaing dengan perusahaan asal Tiongkok.
Investasi Tiongkok di Afrika mencapai US$ 101 miliar pada 2014. Selama tahun itu pula perdagangan bilateral mencapai US$ 221,9 miliar. Tiongkok juga menawarkan pinjaman sekitar US$ 60 miliar, termasuk US$ 5 miliar dana hibah dan pinjaman tanpa bunga dan berbagai pinjaman-pinjaman lainnya.
Dalam bukunya Revolution and Counter-revolution: China’s Continuing Class Struggle Since Liberation, profesor emeritus Marygrove College Amerika Serikat (AS) Pao Yu Ching mengatakan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok itu menjadi penting untuk dianalisis secara kritis. Ini menjadi titik penting dalam sejarah negeri tersebut. Mempelajari sejarah pertumbuhan ekonomi negara ini sejak restorasi kapitalisme pada 1979, memberi kesempatan kepada kita untuk membongkar mitos pertumbuhan ekonomi Tiongkok itu.
“Padahal pertumbuhan itu karena modal kapitalis monopoli global. Lewat tulisan ini pula mempelajari ekonomi Tiongkok dalam jangka pendek justru penghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang,” tulis Pao Yu Ching.
Pao Yu Ching menuturkan, Tiongkok telah mengubah ekonominya dari sosialis yang mandiri menjadi ekonomi kapitalis dalam dua dekade terakhir. Dan sekarang sistem ekonomi kapitalisme di Tiongkok menyatu dengan sistem kapitalisme dunia. Secara sekilas pertumbuhan ekonominya yang cepat menegaskan strategi pembangunan atas atas saran kapitalis monopoli asing seolah-olah berhasil. Itu dianggap sebagai fakta dan menjadi rujukan bagi negara-negara berkembang di Asia termasuk Indonesia. Celakanya pertumbuhan demikian hanya menciptakan kesenjangan dan tidak berkelanjutan.
Pao Yu Ching karena itu menyimpulkan, apakah dari sistem sekarang, pertanyaan terpenting: akankah Tiongkok berperan melawan imperialisme demi pembebasan nasional mewujudkan sosialisme di masa mendatang? [Kristian Ginting]