Setahun kemudian, November 1963, Bung Karno mencanangkan New Emerging Forces (Nefos) dan menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Tiongkok berpartispasi penuh dan menjadi juara umum. Malah, banyak rekor dunia dipecahkan oleh atlet-atlet Tiongkok di Ganefo.

Ada 2.200 atlet dari 48 negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa yang ikut Ganefo. Ada 450 wartawan dari berbagai negara yang hadir di Senayan. Ganefo diboikot negara-negara Barat, tapi tetap berlangsung sukses. Peristiwa Ini menunjukkan, bahkan di dunia olahraga, Barat menunjukkan sikap rasis, meninggalkan kaidah-kaidah olahraga dan sportivitas hanya demi pride dan kesombongannya.

Bung Karno kemudian juga ingin membuat Conference of The New Emerging Forces (Conefo) untuk menyaingi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tiongkok mendukung sepenuhnya.

Hubungan mesra ini berakhir di pengujung tahun 1965, ketika terjadi Peristiwa 30 September dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalangnya. Di kemudian hari, 50 tahun kemudian, timbul keraguan siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan adanya gerakan tersebut. Sebagian analisis mengungkapkan, gerakan itu adalah permainan Barat.

Rusia mengatakan, kalau PKI melakukan gerakan tersebut, itu adalah kesalahan terbesar yang dilakukan partai komunis di dunia. Akan halanya Tiongkok adalah pihak yang dirugikan, karena hubungan diplomatiknya dengan Indonesia menjadi putus serta hilang pula transaksi ekonominya dengan Indonesia. Lebih dari itu, yang paling penting: Tiongkok kehilangan dukungan Republik Indonesia, yang saat itu mutlak dibutuhkan Tiongkok.

Dua puluh tahun setelah Gerakan 30 September 1965, Tiongkok bangkit. Bahkan, sebelumnya telah diakui Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara Cina di dunia.

Liberalisasi ekonomi yang dijalankan tanpa meninggalkan ideologi sosialismenya ternyata membuat Tiongkok menjadi amat-sangat maju, menjadi raksasa ekonomi dunia, yang membuat ketar-ketir Amerika Serikat, yang mengklaim diri sebagai polisi dunia.

Pada tahun 2014, Joko Widodo terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, yang didukung oleh kekuatan PDI Perjuangan, yang berideologi marhaenisme (sosialisme), sama sebagaimana Bung Karno dulu. Mulailah Jokowi melakukan tindakan-tindakan ekonomi yang drastis, seperti membuat kereta api cepat, membangun pembangkit listrik tenaga uap, serta membangun berbagai proyek infrastruktur lain dengan bantuan dari Tiongkok.

Jokowi juga sudah mulai melirik alat utama sistem pertahanan dari Rusia dan Tiongkok. Kenapa kita tidak mendapat pesawat tempur  Hawk dari Inggris, padahal kita sudah bayar lunas? Kita diembargo. Begitu pula pesawat tempur F-16 dari Amerika Serikat tidak kita dapatkan padahal sudah dibayar lunas, karena kita diembargo. Bukankah ini keterlaluan? Bayangkan, negara kaya mengemplang negara yang sedang tumbuh. Ini yang dulu membuat Presiden Ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, mengamuk dan akhirnya membeli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia.