Presiden Soekarno (tengah) diapit oleh Perdana Menteri Tiongkok Chou En Lai (kiri) dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser (kanan) di sela-sela Konferensi Asia-Afrika, 1955.
BangEmirOL
Emir Moeis

Koran Sulindo – Akhir-akhir ini, kita sangat disibukkan oleh informasi mengenai membanjirnya tenaga kerja asing dari Tiongkok, yang sebagian besar tanpa izin. Bahkan, ada yang mengatakan, jumlah mereka sampai jutaan orang. Tentunya itu merupakan hal yang sangat mustahil.

Aneh, memang, kenapa kok sekarang masyarakat gempar dengan tenaga kerja asing dari Tiongkok? Bukankah ini hal yang biasa?

Ketika Indonesia mulai membangun industri otomotif, banyak orang Jepang datang. Begitu pula ketika mulai banyak dibangun gedung, berapa banyak tenaga kerja dari Jepang yang datang.

Ketika di Jakarta dibangun Gelanggang Olahraga Senayan, tenaga kerja dari Rusia juga banyak datang. Ketika membangun Jakarta By Pass, tenaga kerja dari Amerika Serikat membanjiri Jakarta, termasuk operator alat beratnya. Demikian pula ketika dibangun Waduk Jatiluhur, banyak sekali tenaga kerja dari Prancis yang datang.

Kita tak mempersoalkan itu. Karena, kita memang masih membutuhkan teknologi mereka. Tapi, kenapa sekarang diramaikan seolah-olah Tiongkok ingin mengeruk Republik Indonesia dan pandangan semacam ini datang juga dari petinggi militer? Suatu hal yang absurd!

Sekarang kita tengok masa lalu, menatap sejarah dengan cermat. Sejak dulu hubungan Tiongkok dengan Nusantara sudah terjalin erat. Bahkan, sejak zaman prasejarah telah ada hubungan tersebut. Arkeolog menemukan, manusia Peking (Sinanthropus Pekinensis) yang hidup 500 ribu tahun lalu memiliki ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus Erectus yang ditemukan di Indonesia. Alat-alat yang digunakan pun sama. Juga banyak temuan artifak di Nusantara yang berupa benda-benda yang diduga berasal dari daratan Tiongkok.

Jauh setelah itu, kita dapat melihat bagaimana hubungan Kerajaan Sriwijaya di Palembang dengan Tiongkok. Banyak biksu dari Tiongkok berkunjung ke Sriwijaya untuk melakukan pertukaran budaya dan seni serta untuk belajar bahasa Sansekerta dan belajar agama Buddha.

Terjalin pula hubungan Kerajaan Samudra Pasai di Aceh dengan kerajaan Tiongkok pada masa Dinasti Yuang. Di Jawa, Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Tiongkok pada masa Dinasti Ming juga memiliki hubungan yang erat. Malah, hubungan Majapahit dengan Tiongkok sangat intens, dengan saling mengirimkan banyak utusan.

Lalu, ada pula jejak sejarah tentang datangnya Laksamana Cheng Ho ke Nusantara.  Ia menjalankan misi diplomatik dan persahabatan yang ditugaskan oleh Kaisar Cheng Zhu.

Adakah mereka ingin menduduki Nusantara?

Memasuki abad ke-20, Tiongkok merupakan bangsa yang senasib dengan kita, menjadi obyek jajahan, pemerasan, dari negara-negara Barat dan Jepang, yang terus berlanjut sampai tahun 1948. Rasa senasib ini pula yang membuat kedekatan historis Indonesia dan Tiongkok semakin erat.

Tiongkok dikucilkan oleh negara-negara Barat dan Soekarno mengundang Tiongkok ke Konferensi Asia-Afrika, yang dihadiri oleh Perdana Menteri Tiongkok Chou En Lai. Bung Karno dan Chou En Lai adalah dua tokoh yang dikenal anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Dua tokoh ini juga menginginkan sosialisme sesuai dengan karakter negeri masing-masing.

Bangsa Tiongkok tentu tak akan melupakan Konferensi Asia-Afrika. Karena, Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 merupakan event internasional pertama bagi Tiongkok untuk berpartisipasi.

Tahun 1962, Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games IV. Tiongkok oleh International Olympic Committee (IOC) tidak diperbolehkan untuk ikut. Malah Taiwan yang hanya seperseratus dari Tiongkok yang diikutkan oleh IOC. Namun, sebagai simpati kepada Tiongkok, Bung Karno melarang kontingen Taiwan untuk datang ke Bumi Indonesia. Bangsa Tiongkok tak akan melupakan peristiwa ini.

Bukan hanya Taiwan, tapi juga kontingen Israel. Larangan kepada Israel merupakan sikap penghormatan Bung Karno kepada negara-negara Arab.