Koran Sulindo – Kembali terjadi aksi terorisme, Selasa (8/5/2018) lalu, di Indonesia. Namun, kali ini, aksi teror tersebut terjadi di dalam penjara dengan pengamanan maksimum di Markas Komando Brigade Mobil (MAKO Brimob) di Depok, Jawa Barat.
Lebih dari 150 narapidana teroris bertindak rusuh menyusul protes mereka terhadap perlakuan keamanan di penjara yang dijaga pasukan anti-teror. Dalam kegentingan yang berlangsung 36 jam, narapidana teroris mengambil lusinan senjata api dan membunuh lima polisi dengan cara menggorok leher mereka. Seorang narapidana teroris juga terbunuh dalam kerusuhan tersebut.
Video dan foto yang tidak terkonfirmasi berseliweran di media sosial. Kantor berita Amaq yang terhubung dengan Islamic State (IS), mengklaim bahwa IS berada di balik penyerangan tersebut. Dari 155 narapidana teroris di penjara tersebut, setidaknya sepuluh adalah pendukung IS.
Banyak yang berpikir bahwa tindakan teroris yang baru bisa dikendalikan pada Kamis lalu itu adalah baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Kami bicara dengan dua ahli untuk memahami penyebab di balik tindakan brutal ini dan bagaimana Indonesia dapat mencegah serangan yang mirip berulang.
Manajemen Penjara yang Buruk
Leopold Sudaryono dari Australian National University berpendapat bahwa manajemen penjara yang buruk menyulut kejadian tersebut.
“Ini adalah puncak bongkahan es dari kegagalan pemerintah mengelola fasilitas penjara,” kata kandidat doktor yang sedang menulis disertasi mengenai manajemen penjara di enam provinsi di Indonesia.
Banyak masalah dalam penjara-penjara Indonesia mulai dari fasilitas yang buruk, korupsi, dan terlalu sesaknya sel-sel penjara.
Riset Leopold menemukan bahwa makanan yang diberikan kepada para narapidana di penjara jauh dari layak.
“Mereka menyebutnya “Nasi Cadong”, isinya hanya nasi, sayuran, dan kadang-kadang satu lauk. Makanan tersebut harganya sekitar Rp15.000, sementara anggaran aslinya ditetapkan Rp40.000,“ ujarnya.
Kerusuhan pecah sesudah seorang tahanan marah ketika seorang penjaga menolak mengirimkan makanan yang dititipkan oleh keluarga, menurut laporan media.
“Mungkin terdengar remeh, tapi isu makanan telah menjadi masalah klasik dalam penjara Indonesia,” kata Leo.
Korupsi yang merajalela di penjara juga menjadi sumber masalah. Korupsi tidak hanya menyebabkan pada layanan yang buruk tapi juga memberi celah pada tahanan untuk melanggar aturan.
Merupakan pengetahuan umum bahwa tahanan di penjara-penjara Indonesia bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan asalkan mereka mau membayar. Hal ini menyebabkan penggunaan narkotika di penjara-penjara di Indonesia. Tahanan juga dapat mengakses telepon seluler yang sebenarnya dilarang di dalam sel.
Tindakan korup semacam ini menyebabkan pemberontakan di penjara, termasuk kerusuhan di penjara yang sama pada 2017. Kerusuhan terjadi setelah gawai milik tahanan, yang mengaku telah mendapat izin dari penjaga, disita.
Kurangnya Penjagaan di Penjara Tingkat Tinggi
Kelebihan jumlah narapidana juga menjadi masalah. Data terbaru dari Search for Common Ground menunjukkan ada 254.000 tahanan di 477 penjara yang hanya memiliki kapasitas untuk menampung 115.000 tahanan.
Masalah terlalu banyak narapidana ditambah dengan relatif rendahnya jumlah polisi membuat penjara-penjara rentan konflik.
“Penjara dengan keamanan tingkat tinggi di Indonesia gagal memenuhi rasio satu penjaga untuk (menjaga) empat tahanan,” kata Leopold.
Penjara dengan keamanan tingkat tinggi dikhususkan untuk pelanggar kejahatan berat seperti terorisme dan kasus narkoba.
Indonesia berencana memiliki lima fasilitas penjara keamanan maksimum untuk teroris dan narapidana narkoba di masa depan, menurut Leopold. Sejauh ini, dua penjara semacam itu ada di Nusa Kambangan, Jawa Tengah, sementara tiga lainnya masih dalam proses.
“Penjara-penjara ini harus mengikuti persyaratan khusus, termasuk ketebalan dinding dan pengaturan keamanan,” katanya.
Dari persyaratan untuk penjara keamanan maksimum, sulit untuk mengatakan bahwa penjara di Depok dapat masuk kategori tersebut, kata Leopold.
Leopold percaya bahwa semua masalah keamanan di penjara Mako Brimob adalah bom waktu yang akhirnya meledak pada Selasa lalu.
Kebangkitan Terorisme Gaya Baru
Selain manajemen penjara yang buruk, Noor Huda Ismail dari Monash University memandang bahwa serangan teroris di dalam penjara dipicu oleh munculnya generasi teroris baru.
“Mereka lebih brutal dan tidak berkompromi, berbeda dari pendahulu mereka,” Noor Huda menjelaskan.
Organisasi teroris sebelumnya seperti Jamaah Islamiyah yang bertanggung jawab atas Bom Bali terikat oleh semangat dan nilai-nilai kolektif, katanya. Para pelaku insiden di Depok lebih individualis.
“Mereka terhubung melalui media sosial. Mereka membangun pemahaman tentang perang jihad dari apa yang mereka lihat di Facebook,” katanya.
Noor Huda percaya bahwa para teroris jenis baru ini lebih radikal daripada senior mereka karena mereka direkrut lewat media sosial.
“Mereka membangun imajinasi tentang bagaimana jihad harus dilakukan dari media sosial,” kata Noor Huda.
Ini menjelaskan terjadinya tindakan menggorok leher polisi penjaga dalam insiden itu.
“Mereka mungkin terinspirasi oleh tindakan IS di media sosial,” katanya. Ia menambahkan metode seperti itu belum pernah dilakukan oleh teroris Indonesia sebelumnya.
Tindakan Pencegahan
Untuk menghadapi generasi teroris baru, ketika penyebaran propaganda terorisme terjadi lintas batas melalui Internet, Noor Huda mengatakan bahwa pemerintah harus menggunakan pendekatan multidimensi yang melibatkan semua aspek di masyarakat.
“Para pemimpin agama, pendidik, dan orang tua harus memainkan peran penting untuk mencegah generasi muda dari pengaruh terorisme,” katanya.
Sementara itu, Leopold menyarankan perbaikan dalam manajemen penjara di Indonesia untuk menghindari kejadian serupa di masa depan.
Karena kurangnya sumber daya, ia menyarankan pemerintah mengubah pengaturan penjara untuk narapidana teroris dengan mengumpulkan mereka di satu penjara.
Di bawah sistem saat ini, pemerintah memenjarakan narapidana teroris di penjara yang memiliki fasilitas yang berbeda-beda. Saat ini, ada 271 narapidana teroris yang tersebar di 68 pusat penahanan di seluruh Indonesia.
Dengan menempatkan narapidana teroris di satu penjara, pemerintah juga dapat menghentikan proses rekrutmen narapidana lain untuk menjadi anggota mereka.
Leopold menyerukan kepada pemerintah untuk merombak manajemen penjara dengan meningkatkan layanan dan memberantas praktik-praktik korupsi.
“Memberi mereka layanan yang buruk akan memberi mereka pembenaran atas tindakan teroris mereka. Kita harus berhenti memberi mereka alasan dengan memberi mereka layanan yang layak dan manusiawi di penjara,” katanya. [Ika Krismantari, Deputi Editor, Politik + Masyarakat The Conversation Indonesia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia di bawah lisensi Creative Commons.