Koran Sulindo – Setelah bersengketa selama kurang-lebih sepuluh tahun, Timor Leste dan Australia akhirnya menandatangani perjanjian batas maritim di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 6 Maret 2018 lalu. Perjanjian tentang zona maritim di Laut Timor yang dibahas di Komisi Konsiliasi PBB itu berdasarkan mekanisme di bawah Konvensi Hukum Laut 1982.
Menurut Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop, Timor Leste akan mendapatkan keuntungan yang substansial dari perjanjian itu. “Ini menyangkut miliaran dolar dari proyek sumber daya semacam itu,” tutur Bishop seusai penandatanganan kesepakatan tersebut di PBB, sebagaimana diberitakan ABC Australia. Dengan perjanjian tersebut, Timor Leste—yang merupakan salah satu negara termiskin Asia—memang akan memperoleh pembagian pendapatan dari ladang minyak lepas pantai Greater Sunrise di Laut Timor.
Greater Sunrise terletak di 150 kilometer tenggara Timor Leste dan 450 kilometer barat laut Darwin, Australia. Ladang minyak tersebut ditemukan pada tahun 1974 dan diperkirakan telah meraup keuntungan US$ 40 hingga US$ 50 miliar.
Diungkapkan Menteri Urusan Perbatasan Timor Leste Hermenegildo Augusto Cabral Pereira, pengembangan ladang gas melalui jalur pipa yang akan sampai ke pantai selatan negaranya akan menjadi “game changer“. Menurut dia, proyek semacam itu akan memberi “efek transformasional” pada sosio ekonomi negara, yang 65% dari total 1,5 juta populasinya itu adalah “golongan muda pencari pekerjaan”.
Namun, di sisi lain, kesepakatan itu bisa berimplikasi pada hak-hak maritim Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa 1982. Karena itu, pemerintah Indonesia akan mempelajari perjanjian perbatasan antara Australia dan Timor Leste tersebut dengan saksama, agar dapat memastikan kesepakatan itu tidak merugikan Indonesia. “Pemerintah Indonesia menyambut baik penggunaan jalan damai di bawah Konvensi Hukum Laut 1982 dalam menyelesaikan perbatasan maritim di antara kedua negara,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Christiawan Nasir lewat siaran pers, Rabu lalu (7/3).
Ia menegaskan, meski bukan pihak dalam proses rekonsiliasi itu, Indonesia mengamati secara saksama. “Karena sifatnya selama ini rahasia, Pemerintah Indonesia baru akan mempelajari secara terperinci perjanjian yang ditandatangani tersebut setelah dokumen ini dibuka untuk publik,” tutur Arrmanatha. Pemerintah Indonesia, lanjutnya, mereservasi hak-haknya atas hasil konsiliasi tersebut, yang mungkin dapat memengaruhi hak berdaulat Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982.
Namun, Pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Malcom Turnbull mengatakan tidak mau melakukan negosiasi ulang soal batas wilayah maritim dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan, negosiasi ulang batas wilayah maritim dengan Indonesia tak perlu. ”Kami memiliki pemahaman yang matang tentang batas-batas dengan Indonesia yang telah melayani kedua negara dengan baik selama beberapa dekade,” tutur Bishop kepada Fairfax Media, Kamis (8/3).
Selama konsiliasi dengan Timor Leste, tambahnya, Australian telah mempertimbangkan kepentingan Indonesia dan telah memberi penjelasan kepada Indonesia mengenai persyaratan perjanjian di antara Australia dan Timor Leste.SEKRETARIS Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Indonesia Damos Dumoli Agusman sebelumnya mengatakan, perjanjian batas wilayah Indonesia dan Australia bisa dibicarakan ulang. Karena, kesepakatan batas wilayah Australia dan Timor Leste berkonsekuensi terhadap perubahan batas wilayah dengan Indonesia. “Perjanjian Perth tidak dapat berlaku seperti sekarang, antara lain yang mencakup wilayah yang sekarang milik Timor Leste dan obyek konsiliasi,” ujar Agusman kepada Fairfax Media juga.
Pada tahun 1997, Australia dan Indonesia melakukan pembicaraan yang dikenal sebagai Perjanjian Perth—meskipun Indonesia belum meratifikasi—dan menetapkan sebagian besar batas maritim kedua negara di titik median yang disepakati. Dengan adanya perjanjian itu, hak penangkapan ikan di Indonesia meluas lebih jauh ke selatan daripada hak dalam perjanjian tahun 1972. Begitu pula hak untuk menjelajahi dasar laut, yang diyakini memiliki kandungan minyak dan gas.
Rencananya, Presiden Joko Widodo akan melakukan pertemuan bilateral setengah jam dengan Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada pertemuan puncak ASEAN-Australia di Sydney pada 17-18 Maret 2018 mendatang. Tapi, belum jelas apakah pertemuan kedua pemimpin itu akan membahas masalah batas maritim kedua negara atau tidak.
Bila Indonesia dapat meminta negosiasi ulang, Australia harus mengizinkan Indonesia mengklaim hak atas cadangan minyak dan gas di Laut Timor. Karena, batas laut di pertengahan antara Australia dan Timor Leste berimplikasi pada perbatasan Australia yang jauh lebih panjang dengan Indonesia. Dan, kemungkinan seperti ini telah lama dihindari oleh pemerintahan di Australia sebelumnya.
Pada tahun 2002, ketika Timor Leste merdeka, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer telah memperingatkan, penetapan ulang batas-batas maritim dengan Timor Leste akan berisiko “mengurai” ribuan kilometer perbatasan laut dengan Indonesia. “Batas-batas maritim kita dengan Indonesia mencakup ribuan kilometer. Itu masalah sangat besar bagi kita dan kita tidak ingin mau masuk dalam negosiasi ulang,” katanya.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1977, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusamaatmadja menyatakan Australia telah merugikan Indonesia atas perundingan perbatasan pada tahun 1971. Itu sebabnya kemudian ada Perjanjian Perth pada tahun 1997, untuk menyepakati titik median sebagai penentu Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, sehingga hak penangkapan ikan nelayan Indonesia jauh lebih jauh ke selatan daripada hak atas kekayaan dasar laut (minyak dan gas). Tapi, pemerintah Indonesia belum pernah meratifikasi perjanjian tahun 1997, meski menyatakan menghargainya. [RAF]