Tiga Salah Kaprah Penerapan PSBB

Ilustrasi/SOPA Images-Sipa USA-Risa Krisadhi

Koran Sulindo – Untuk mencegah laju penyebaran COVID-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 31 Maret 2020, hampir sebulan sejak kasus COVID-19 pertama kali ditemukan di Indonesia.

PSBB atau bisa diartikan sebagai lockdown parsial merupakan salah satu intervensi yang dilakukan pemerintah setelah sebelumnya mengimbau masyarakat untuk menjaga jarak (physical distancing). Kebijakan ini membatasi mobilitas masyarakat, salah satunya dengan menutup sekolah-sekolah dan kantor-kantor, guna memutus rantai penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19.

Saat ini, COVID-19 sudah menyebar ke seluruh 34 provinsi di Indonesia. Hingga 23 April, jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 bertambah menjadi [7.418 kasus dan 635 meninggal (https://www.covid19.go.id/)

Tim ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memperkirakan jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 bisa menyentuh 2,5 juta orang dengan jumlah korban mencapai 240.244 jiwa.

Namun hingga saat ini baru 18 provinsi yang mendapatkan izin dari pemerintah pusat untuk menerapkan PSBB.

Selain itu, banyak daerah yang menunjukkan penerapan yang tidak efektif. Beberapa ruas jalan di Jakarta masih macet meski penerapan PSBB sudah memasuki minggu kedua.

Sebagai ahli kesehatan masyarakat, saya melihat pelaksanaan PSBB ini di Indonesia memiliki setidaknya tiga masalah dan berikut solusinya.

Proses Birokrasi yang Rumit

Semua bermula dari proses penetapan PSBB di daerah-daerah yang harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan.

Untuk mendapatkan persetujuan, setiap pemerintah daerah harus memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya jumlah kasus yang memadai dan penyebaran kasus yang cepat dan kejadian penularan virus lokal di wilayah tersebut. Meski dalam persyaratan tersebut, tidak disebutkan dengan jelas parameternya.

Akibatnya beberapa daerah seperti Fakfak dan Sorong di Papua Barat, Mimika di Papua, Tegal di Jawa Timur, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, dan Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur telah mendapatkan penolakan atas permohonan mereka untuk menerapkan PSBB di daerah mereka.

Pemerintah pusat berargumen bahwa persetujuan dari pusat penting agar tindakan yang dilakukan oleh pusat dan daerah dalam menangani penularan COVID-19 selaras dan efektif.

Namun dengan proses birokrasi yang cukup memakan waktu, saya ragu niat baik tersebut akan terwujud.

Bahkan setelah mendapat persetujuan, pemerintah daerah belum otomatis dapat menerapkan PSBB secara langsung. Mereka harus menyiapkan diri untuk menyebar informasi tentang pemberlakuan PSBB di daerahnya kepada masyarakat.

Waktu adalah segalanya dalam aksi pencegahan COVID-19. Keterlambatan keputusan yang diambil pemerintah dapat berakibat fatal karena memberikan kesempatan untuk virus menyebar semakin besar. Hal seperti ini terjadi di Iran dan Amerika Serikat.

Untuk memangkas birokrasi, pemerintah bisa saja menerapkan PSBB secara serentak dilakukan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali atau lockdown total.

Hal tersebut sudah secara terbukti secara efektif di Australia. Pemerintah Australia telah menerapkan pembatasan sosial secara serentak di seluruh negara bagian.

Namun penerapan di tiap negara bagian berbeda tergantung pada tingkat besaran kasus dan kesiapan daerah tersebut dalam memberikan dukungan kepada masyarakat. Misalnya, penerapan lockdown di negara bagian New South Wales lebih ketat karena daerah tersebut memiliki jumlah kasus terbanyak di Australia, mencapai sekitar 44% dari total kasus COVID-19 di Australia. Orang yang melanggar harus membayar denda A$11.000 atau Rp107 juta atau menghadapi tuntutan penjara selama enam bulan.

Tanpa Disertai Basis Riset

Penerapan PSBB di Indonesia bermasalah karena tidak dilandasi dengan basis data dan riset.

Belajar dari beberapa negara yang sampai saat ini cukup sukses dalam menghambat laju penyebaran COVID-19, mereka selalu menggunakan basis data dan riset dalam melakukan pembatasan mobilitas masyarakat.

Dalam laman resmi pemerintah Australia untuk COVID-19, mereka menyertakan hasil riset terkait dengan kesiapan fasilitas kesehatan ketika lockdown diterapkan. Riset tersebut untuk mempersiapkan rumah-rumah sakit terhadap kemungkinan jumlah pasien kritis yang membludak selama lockdown.

Sampai saat ini, pemerintah belum memiliki perhitungan seperti ini. Untuk itu, pemerintah harus lebih melibatkan peneliti dan ilmuwan untuk memastikan bahwa kebijakan PSBB yang diterapkan benar-benar efektif.

Taiwan adalah contoh sukses yang lain. Walaupun hanya berjarak 150 kilometer dari asal virus berasal yaitu Cina, Taiwan hanya membukukan 426 kasus dan 6 kematian. Salah satu pilar kesuksesan Taiwan dalam penanganan COVID-19 adalah kemampuan mereka untuk menghasilkan kebijakan yang berbasis data dan informasi.

Bahasa yang Rumit

Cara pemerintah dalam mengkomunikasikan pandemi COVID-19 ke masyarakat banyak menuai kritik. Beberapa ahli menilai bahasa yang digunakan pemerintah terlalu rumit dan tidak mudah dipahami oleh kebanyakan masyarakat.

Keberhasilan berkomunikasi dengan masyarakat selama merupakan kunci keberhasilan upaya pemerintah dalam menanggulangi laju penyebaran COVID-19. Jika masyarakat tidak mengerti pentingnya penerapan PSBB, bagaimana mereka bisa memahami pentingnya mematuhi anjuran pemerintah untuk membatasi gerak mereka.

Banyaknya pelanggaran yang terjadi selama PSBB ini kemungkinan besar berasal dari ketidakpahaman masyarakat selain juga pengawasan yang kurang efektif.

Polisi mencatat bahwa terjadi 18.974 pelanggaran dalam sepekan setelah pemberlakuan PSBB di Jakarta.

Hasil penelitian yang dilakukan paska pandemi H1N1 pada tahun 2009 menunjukkan bahwa masyarakat dapat secara sukarela menjalankan arahan dari pemerintah ketika mereka memahami dengan baik apa dampak dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Untuk memperbaiki gaya komunikasi pemerintah, Indonesia bisa belajar dari Selandia Baru. Perdana Mentri Jacinda Ardern menggunakan bahasa yang sederhana, bahkan dalam siaran persnya, untuk menjelaskan skenario yang dipilih negara tersebut dalam menerapkan lockdown total. Penanganan COVID-19 di Selandia Baru banyak menuai pujian.

Dalam membangun sistem pengawasan yang efektif, pemerintah perlu membangun kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat.

Keterlibatan dan kepatuhan warga sangat menentukan tingkat kesuksesan pembatasan sosial dalam menekan laju persebaran COVID-19. Sebuah penelitian di Australia menunjukkan penerapan lockdown di negara tersebut bisa efektif jika melibatkan 80% penduduk selama 13 minggu.

Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaan PSBB termasuk dalam aspek pengawasannya.

Di negara bagian Queensland, Australia, masyarakat dapat melaporkan melalui aplikasi apabila mereka menyaksikan ada warga atau pelaku bisnis yang melanggar peraturan yang telah diberlakukan. [Febi Dwirahmadi; Lecturer in Global Health, Griffith University] Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.