Ilustrasi, suasana mudik Lebaran - Kompas
Ilustrasi, suasana mudik Lebaran - Kompas

Setelah dua tahun Idul Fitri dilewati tanpa mudik massal akibat pandemi Covid 19, masyarakat akhirnya diperbolehkan untuk mudik pada momen Idul Fitri tahun 2022.

Mudik secara epistemologi memiliki arti pulang ke kampung halaman yang dilakukan secara berulang. Istilah mudik sering diasosiasikan berasal dari kata ‘mulih disik’ atau pulang dulu dalam bahasa Jawa.

Menurut Umar Kayam, istilah mudik dipercaya sudah ada sejak jaman Majapahit. Saat para pengembara dan petani pulang ke kampung halamannya untuk berziarah dan membersihkan makam leluhurnya. Hal tersebut dilakukan berhubungan dengan tradisi meminta keselamatan dan rezeki.

Di era modern, istilah mudik lambat-laun mengalami pergeseran seiring dengan problem sosial yang semakin kompleks.

Mudik di era modern mulai terjadi di periode 1970-an. Saat itu, Jakarta menjadi tujuan terbesar dari pendatang dari berbagai daerah untuk mencari pekerjaan yang mendorong gelombang migrasi dari berbagai daerah di Indonesia, terutama Jawa dan sebagian Sumatera.

Potensi ekonomi

Pada libur Idul Fitri tahun ini, Presiden Joko Widodo menyebutkan jika penduduk Indonesia yang melakukan mudik diperkirakan mencapai 85 juta jiwa. Tidak kurang dari 47 persennya akan menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik. Sementara pemudik dari wilayah Jabodetabek sendiri diyakini mencapai 14 juta jiwa.

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menyatakan mudik tahun ini akan memberi kontribusi perputaran uang sekitar Rp72 triliun.

“Diprediksi 48 juta pemudik di tahun ini lantaran pemerintah telah melonggarkan peraturan, dan diperbolehkan mengambil  libur dan cuti bersama cukup panjang, maka diprediksi uang yang dikeluarkan oleh seluruh pemudik selama momen lebaran dapat mencapai Rp72 triliun,” kata Sandiaga dalam acara Weekly Press Briefing Kemenparekraf, Senin (18/4/22).

Sandi menambahkan jika peningkatan diperkirakan akan terjadi pada konsumsi untuk makanan dan minuman, pakaian, transportasi, hotel dan restoran pada momen mudik lebaran. Besaran sumbangan dari sektor tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 25 persen konsumsi rumah tangga.

Mudik dan kesenjangan pembangunan

Namun demikian, perlu diingat jika fenomena mudik adalah fenomena sosial ekonomi. Dimana kesenjangan pembangunan antar wilayah menjadi penyebab utamanya. Lebih dalam lagi adalah prioritas yang berbeda dalam membangun perkotaan dan membangun perdesaan di Indonesia.

Ada pertanian – pertanian kecil mandiri yang ditinggalkan juga masyarakat miskin yang kesulitan mendapatkan lapangan kerja di desa. Mereka memilih untuk menjadi bermigrasi menjadi buruh dan pekerja di perkotaan atau hingga luar negeri.

Hal ini dilihat dari laju urbanisasi Indonesia dengan salah satu yang tercepat di dunia. Menurut BPS, sebanyak 56,7persen penduduk Indonesia pada 2020 tinggal di perkotaan. Angka tersebut diproyeksikan akan bertambah menjadi 66,6 persen di 2035.

Sehingga mungkin benar, jika mudik tidak lagi sekedar silaturahmi tetapi juga eksistensi menunjukkan keberhasilan diri setelah bertaruh meninggalkan kampung halaman untuk bekerja keras di tempat lain. [WID]