Prsiden AS Donald Trump saat berada di Irak.

Koran Sulindo – Kunjungan diam-diam Presiden Donald Trump ke Irak menemui tentara AS mesti dilihat sebagai tindakan aneh dan ganjil.

Menyusul pengumuman menarik pasukan dari Suriah dan Afghanistan yang memicu perpecahan dengan tokoh senior di Pentagon, Trump terlihat seperti tengah menjalankan langkah putus asa meyakinkan sikap militer.

Kunjungan itu bahkan dilakukan untuk mencegah kudeta terhadap kepresidenannya.

Selama dua tahun menjabat sebagai presiden tak sekalipun Trump pernah mengunjungi tentara AS di zona tempur aktif manapun, berbeda dengan para pendahulunya di Gedung Putih.

Ketidakpeduliannya yang nyata pada pasukan AS di luar negeri berkali-kali telah memicu kekhawatiran media dan lawan-lawan politiknya. Dalam sebuah editorial baru-baru ini, New York Times bahkan memperingatkan Trump dengan kalimat sarkas,  “Put Down the Golf Clubs, Visit the Troops.”

Publik juga masih ingat, cemoohan media AS kepada Trump selama perjalanannya ke Prancis November silam ketika ia menolak memberikan penghormatan pada korban Perang Dunia ke-2 hanya dengan alasan “karena hujan.”

Semua preseden itu berbalik 180 derajat ketika pada Malam Natal, 25 Desember, Trump dan istrinya Melania justru meninggalkan kenyamanan Gedung Putih, naik Air Force One dan dalam semalam terbang 6.000 kilometer ke Irak.

Mengenakan jaket bomber, Trump tampaknya cocok gaya-gaya militerisme saat berada di Irak. “Kami menang melawan teroris, kan,” katanya kepada pasukan.

Media AS menggambarkan perjalanan itu sebagai kejutan atau diselimuti kerahasiaan. Terlalu rahasianya, bahkan pemerintah Irak tak diberitahu sebelum kedatangan Trump.

Pertemuan terburu-buru diusulkan dengan Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi batal terwujud karena Irak diberi pemberitahuan hanya beberapa jam sebelum presiden AS mendarat.

Total, Trump dan seluruh delegasinya itu menghabiskan waktu hanya 3jam 15 menit di Irak. Ia dilaporkan berbicara dengan pasukan AS di Pangkalan Udara Al-Asad, yang terletak dekat ibukota Baghdad.

Trump segera terbang kembali ke Washington, berhenti sebentar mengisi bahan bakar di Jerman.

Rumor yang beredar kunjungan Trump adalah peristiwa ad hoc yang tergesa dan dilakukan secara mendadak, sebagai reaksi atas siklus berita selama seminggu terakhir.

Harian New York Times menulis, “Perjalanan, terselubung dalam kerahasiaan, datang kurang dari seminggu setelah Trump mengganggu status quo militer dan membuat marah beberapa sekutu politiknya ketika mengumumkan rencana menarik semua pasukan dari Suriah dan sekitar setengah dari Afghanistan. Keputusan presiden di Suriah menyebabkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Jim Mattis.”

Pengunduran diri Mattis yang diikuti pejabat senior Pentagon lainnya, Brett McGurk sekaligus menunjukkan bahwa ada tekanan balik serius dari militer pada perintah Trump menarik tentara AS dari Suriah dan Afghanistan.

Tak hanya itu, lawan-lawan politik Trump baik dari partainya sendiri di Republik maupun di Demokrat diberi liputan luas menyuarakan protes terhadap perintah itu. Seperti yang dilaporkan CNN  bahwa, “pengunduran diri James Mattis memicu curahan kecemasan dan kemarahan.”

Sementara para senator berbaris mengutuk Trump dianggap kehilangan ‘the adult in the room’ dan ‘a voice of stability’, Mattis justru menuai pujian sebagai ‘harta nasional’ dan ‘kompas moral -nya. Pujian ini jelas tak sesuai dengan catatan kejahatan perang Mattis yang dilakukan saat menjabat jenderal Marinir selama pengepungan Fallujah di Irak pada tahun 2004, atau humor psikopatnya yang memuji ‘kesenangan menembak orang.’

Tentu ini bukan kali pertama, Trump dikecam sebagai pengkhianat oleh musuh politiknya di Washington dan media. Itu hanya mengingatkan cara dia menuai fitnah setelah pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki awal tahun ini. Trump lagi-lagi dituduh ‘memberikan hadiah kepada Putin’ dengan rencananya menarik pasukan AS dari Suriah.

Mengabaikan penasihat keamanan nasional dan ‘para jenderal’ atas pengumuman penarikan dari Suriah dan Afghanistannya, Trump nyata-nyata telah berselisih dengan intelijen militer. Ini bisa memicu media anti-Trump memanfaatkan kesempatan dengan menyulut pertikaian dengan Pentagon sekaligus menganggap Mattis sebagai ‘pemimpin hebat’ yang ketidakhadirannya bakal menurunkan semangat tentara.

Sejatinya, secara signifikan tak ada yang berubah dari sikap AS di Timur Tengah, bahkan setelah Trump mengumumkan penarikan tentara AS dari Suriah dan Afghanistan. Salah satunya karena Trump berjanji  bahwa pasukan AS tak akan meninggalkan Irak sekaligus bakal melancarkan serangan ke Suriah dari Irak di masa depan, jika dibutuhkan.

Dengan kata lain, Trump sebenarnya tak sedang menunjukkan skala mundur militerisme AS di Timur Tengah seperti yang dituduhkan kritikus dan lawan-lawan politiknya. Trump tak lebih merasionalisasi kekuatan imperialis AS dan membuatnya lebih ramping sekaligus lebih kejam, untuk dioperasikan di luar basis-basis seperti Irak.

Perhatikan bahkan ketika pemerintah Irak tidak diajak berkonsultasi tentang rencana Neo-kolonial ini yang jelas-jelas menujukkan hegemoni arogan Washington, tak peduli siapapun yang menjadi bos di Gedung Putih.

Perjalanan Trump ke Irak tak lebih untuk memberi tahu para jenderal –jenderal AS bahwa tentara mereka tetap sanggup melakukan perang di mana pun demi kepentingan kapitalisme AS dengan Trump sebagai alat yang masih tetap bisa diandalkan bagi imperialisme Amerika. [TGU]