Koran Sulindo – Tak seperti warga dunia lainnya, masyarakat Republik Rakyat Demokratik Korea bakal menandai pergantian musim kali ini dengan menjadi saksi latihan militer besar-besaran antara AS dan Korea Selatan.
Tak ada yang lebih mengerikan dibanding menyaksikan dua pemimpin negara, yang sama-sama memiliki nuklir saling melempar ‘granat’ lisan satu sama lain. Seolah-olah kelangsungan hidup seluruh planet bukan tak penting lagi bagi mereka.
Namun, itulah yang dilakukan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea Kim Jong-un dalam setahun terakhir.
Rutinitas itu menjadi makin sering, terutama ketika Washington dan Seoul memulai latihan militer gabungan, atau pesawat-pesawat AS tiba-tiba muncul di langit Korea, selalu dibalas Pyongyang dengan test rudal balistik atau ujicoba nuklir. Lanjutannya selalu sama, tukar menukar ancaman dan ketegangan naik ke tingkat yang baru.
April lalu, misalnya, ketika Trump mengumumkan pengiriman gugus tugas kapal induk USS Carl Vinson ke Semenanjung Korea, AS baru saja menggebuk Suriah dengan serangan rudal atas tuduhan serangan senjata kimia. Itu pesan halus bahwa Pyongyang bisa diperlakukan sama.
Saat yang sama, Washington dan Seoul juge menggelar latihan bersandi Foal Eagle yang digambarkan sebagai salah satu latihan militer gabungan terbesar di dunia yang melibatkan puluhan ribu tentara AS.
Tidak Takut
Menanggapi kehadiran Carl Vinson, Rodong Sinmun yang menjadi corong Partai Pekerja yang berkuasa di Korea mengatakan , “Pasukan revolusioner kita siap untuk menenggelamkan sebuah kapal nuklir AS, kapal induk cukup dengan satu serangan tunggal.”
Menambah ejekannya, tepat pada Hari Kemerdekaan AS tanggal 4 Juli, Pyongyang berhasil melakukan uji coba rudal balistik pertamanya, Hwasong 14. Mereka juga menjanjikan bakal mengirim lebih banyak, “paket hadiah kepada orang-orang Yankee.”
Segera setelah peluncuran itu, Trump bereaksi melalui Twitter: “Korea Utara baru saja meluncurkan rudal lain, apakah orang ini memiliki sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan dengan hidupnya? Sulit dipercaya bahwa Korea Selatan dan Jepang akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin China akan melakukan tindakan yang berat terhadap Korea Utara dan mengakhiri omong kosong ini sekali dan untuk selamanya!”
Retorika penuh api itu berlanjut sampai Agustus, setelah Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat memutuskan sanksi baru pada Pyongyang sebagai tanggapan atas uji coba rudal itu. “Korea Utara tidak lagi mengancam AS. Mereka akan bertemu dengan api dan kemarahan dunia yang belum pernah dilihat,” kata Trump.
Dua hari kemudian, ia menambahkan komentar , “Mungkin pernyataan itu tidak cukup sulit solusi militer sekarang sepenuhnya ada, terisi dan terkunci.”
Rentetan ancaman Trump melalui twitter itu mengawali latihan militer tahunan Uli Freedom Guardian (UFG) tahunan, yang melibatkan lebih dari 50.000 tentara Korea dan 17.500 tentara AS. Latihan perang itu tentu saja mensimulasikan invasi skala penuh ke Pyongyang.
Peneiliti di Institut Amerika untuk Korea Utara, Kim Kwang Hak menyalahkan ledakan kemarahan Trump dan ancaman ‘solusi militer’ menjadi alasan Pyongyang beralih ke jalur cepat uji coba nuklir.
“Yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa gerakan militer macam selalu dilakukan setelah Trump berkicau di Twitter, ini dibaca sebagai kegagalan AS menangani Korea selama 25 tahun terakhir,” kata Hak seperti ditulis The Independent.
Bagi mereka yang puluhan tahun terakhir akrab dengan ancaman ‘opsi militer’, segala macam sampah itu jelas tak pernah membuat takut Pyongyang.
Dengan tensi tinggi yang tak pernah reda antara Washington dan Pyongyang, satu hal terpenting yang hilang adalah kesediaan untuk duduk dan menemukan jalan keluar dari kebuntuan.
Negara Nuklir
Meski bukan mainstream, tak semua orang di pemerintahan Trump menentang gagasan kuno yang baik itu, duduk di meja perundingan. Oktober lalu, Sekretaris Negara Rex Tillerson kepada wartawan mengaku AS tetap memiliki kemampuan berkomunikasi langsung dengan Korea Utara.
“Kami sedang menyelidiki, jadi tunggu saja,” kata Tillerson. “Kami bertanya, maukah kamu bicara? Kami memiliki jalur komunikasi ke Pyongyang. Kami tidak dalam situasi yang benar-benar gelap.”
Namun, bagi Trump berharap bisa berbicara dengan Pyongyang membuatnya cepat putus asa. “Saya mengatakan kepada Rex Tillerson, Sekretaris Negara kita yang luar biasa, bahwa dia menyia-nyiakan waktunya bernegosiasi dengan Little Rocket Man,” tulis Trump di Tweeter. “Hemat energi Rex, kita akan melakukan apa yang harus dilakukan!”
Sebelumnya, AS telah menolak rencana yang diusulkan Rusia dan China untuk ‘pembekuan ganda’ untuk menghentikan latihan AS-Korea Selatan di sisi lain berupaya mengerem uji senjata Pyongyang. Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley segera menolak rencana dan menganggapnya sebagai sebuah ‘hinaan.’
“Ketika sebuah rezim nakal memiliki senjata nuklir dan sebuah rudal balistik antar benua mengincar anda, anda tidak bisa mengambil langkah untuk menarik penjaga Anda,” kata Haley berbicara di DK PBB. “Tidak ada yang akan melakukan itu, tidak.”
Beberapa hari sebelum Haley mencak-mencak di DK PBB, Pyongyang menggelar uji termonuklir bawah tanah yang memicu gempa ‘kuat’ hingga 6,3 SR. Kantor berita resmi KCNA menyabut Institut Senjata Nuklir Korea berhasil menciptakan hulu ledak lebih canggih yang bisa dipasang pada rudal balistik antar benua.
Penolakan Haley mencari solusi diplomatik atas kebuntuan makin sulit dipahami.
Bukannya meredakan, Trump mempertajam pendekatan Haley dengan menyampaikan pidato ‘mengganggu’ di Majelis Umum PBB dengan menjanjikan ‘penghancuran total’ Korea jika negara itu terus mengancam kepentingan AS. “Jika orang baik tidak bangkit menghadapi orang-orang jahat, maka kejahatan akan menang,” kata Trump.
Mewujudkan retorikanya, bulan Oktober AS memulai latihan militer gabungan yang disebut dengan Latihan Pasukan Operasi Khusus Angkatan Darat Maritim atau MCSOFEX. Latihan itu menggandeng Seoul dan melibatkan jet tempur, helikopter, kapal angkatan laut dan kapal selam,tak ketinggalan kapal induk Amerika Serikat USS Ronald Reagan.
Pyongyang sekali lagi menambah taruhannya untuk menunjukkan mereka memiliki sarana untuk membela diri terhadap ancaman nyata AS. Tanggal 29 November, negara itu membuat dunia tertegun ketika meluncurkan rudal balistik baru, Hwasong-15 yang sanggup menempuh jarak 950 kilometer sebelum menceburkan diri di Laut Jepang.
Pyongyang menyebut Hwasong-15 mencapai ketinggian sekitar 4.475 kilometer, lebih dari 10 kali ketinggian Stasiun Luar Angkasa Internasional dan terbang selama 53 menit. Ketinggian dan jarak yang sama dikutip militer Korea Selatan.
Trump, yang mengaku tak terpengaruh peluncuran itu menyebut situasi itu masih bisa ditangani dan tetap enggan mengubah pendekatannya pada krisis di Semenanjung Korea.
Di sisi lain, Pyongyang justru mengumumkan mereka bersedia duduk untuk perundingan damai mengenai kondisi tersebut dengan syarat diakui sebagai kekuatan nuklir. “Mereka siap untuk berbicara, namun tim Korea Utara memiliki syaratnya sendiri sebagai kekuatan nuklir,” kata Vitaly Pashin, seorang anggota delegasi Rusia.
Pashin menambahkan kekuatan rudal Pyongyang dengan hulu ledak nuklirnya mampu mencapai target di AS kapan saja. Pyongyang juga kembali mengulangi klaim bahwa tujuan pengembangan teknologi rudalnya untuk “mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial negara …”[TGU]