OPINI – Beberapa waktu terakhir, sejumlah warga di daerah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan kembali dibuat resah. Seekor hewan buas, diduga kuat seekor macan tutul Jawa (Panthera pardus melas), meneror ternak milik warga.
Kambing-kambing yang dikandangkan dekat dengan hutan ditemukan raib, sebagian hanya tersisa bagian tubuhnya. Fenomena ini bukan baru terjadi sekali, dan tampaknya akan terus berulang jika tidak segera ditangani secara holistik.
Salah satu lokasi yang menjadi korban keganasan ini adalah Desa Tugu Mulya, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Beberapa ternak warga dilaporkan hilang dalam kondisi mengenaskan. Kejadian ini menambah panjang daftar konflik antara manusia dan satwa liar di wilayah yang semestinya menjadi penyangga ekosistem hutan.
Niki, perwakilan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Cirebon, turut mengomentari peristiwa tersebut. Ia menyebutkan bahwa, “Kawasan hutan pemukiman yang ditebang juga bisa jadi alasan mereka turun gunung.” Pernyataan ini menegaskan fakta bahwa hilangnya habitat satwa liar adalah pemicu utama eskalasi konflik ini.
Macan tutul adalah predator nokturnal yang secara alami menghindari interaksi dengan manusia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perjumpaan antara manusia dan satwa liar ini semakin sering.
Mereka tidak datang menyerang karena ingin; mereka datang karena terpaksa. Kawasan hutan yang dahulu menjadi tempat tinggal dan sumber pangan mereka telah dirambah, ditebang, dan diubah fungsi menjadi permukiman, kebun, bahkan industri.
Habitat mereka menyusut drastis, ruang jelajah mereka terpotong, dan rantai makanan mereka terganggu. Dalam kondisi demikian, turun ke permukiman manusia adalah soal bertahan hidup.
Di sisi lain, kondisi kandang ternak warga juga menyumbang besar terhadap munculnya konflik ini. Banyak kandang dibangun terlalu dekat dengan batas hutan—bahkan beberapa hanya berjarak puluhan meter.
Umumnya kandang itu berdiri sendiri, jauh dari rumah warga, dan nyaris tanpa pengawasan malam hari. Sementara macan tutul, yang aktif dari malam hingga dini hari, menemukan situasi ini sebagai kesempatan mudah untuk memangsa. Seekor kambing yang tak dijaga dan dikurung dalam kandang terbuka menjadi sasaran empuk predator sekelas macan tutul.
Situasi ini ibarat bom waktu. Di satu sisi, warga kehilangan ternak, mengalami kerugian, dan diliputi ketakutan. Di sisi lain, satwa liar kehilangan ruang hidup dan menjadi target balas dendam. Maka, pertanyaannya bukan siapa yang harus disalahkan, tetapi bagaimana akar masalah ini bisa diurai dan dicegah sejak hulu.
Solusi sementara seperti memasang lampu sorot otomatis, membangun pagar berduri, atau menyewa penjaga malam memang dapat mengurangi risiko.
Namun langkah-langkah ini hanya menambal, bukan menyembuhkan. Yang lebih krusial adalah membangun kesadaran kolektif bahwa deforestasi yang tidak terkendali adalah biang keladi dari konflik manusia dan satwa liar.
Pemerintah daerah harus memperketat izin alih fungsi lahan, khususnya yang menyentuh kawasan penyangga hutan. Di sisi lain, masyarakat perlu didorong untuk menerapkan sistem kandang kolektif yang lebih terpusat, dekat dengan pemukiman, dan memiliki pengawasan yang memadai.
Pendekatan partisipatif yang melibatkan warga, tokoh adat, dan pihak konservasi harus dijalankan, agar solusi yang dibangun tidak sekadar teknis, melainkan juga kontekstual.
Lebih jauh lagi, konflik ini memperlihatkan kegagalan kita dalam menjaga batas antara manusia dan alam. Bahwa hewan buas turun ke kampung bukan semata-mata karena liar, tetapi karena manusia lebih dulu menyerobot rumah mereka.
Maka, jika hari ini kambing warga yang hilang, besok bisa jadi giliran kita yang kehilangan rasa aman, kehilangan keseimbangan ekosistem, bahkan kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang katanya hidup “selaras dengan alam”.
Macan tutul bukan penjahat yang mengintai dari balik rimbun malam. Ia adalah cermin dari krisis yang kita ciptakan sendiri. Jika kita terus bersikeras membangun tanpa batas dan merambah tanpa arah, maka cepat atau lambat, alam akan menggugat. Dan ketika alam menggugat, tak ada pagar, lampu, atau jeruji besi yang bisa melindungi kita sepenuhnya. [UN]


