Koran Sulindo – Peran perempuan dalam politik di lembaga legislatif belum dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan politik. Sebab, perempuan anggota legislatif belum sepenuhnya memiliki keleluasaan dan kebebasan dalam berkomunikasi serta masih belum adanya kesetaraan gender di lembaga tersebut.

Demikian dikemukakan Hastanti Widy Nugroho, mahasiswa S3 Filsafat Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, dalam disertasinya yang berjudul “Konsep Politik Perempuan Hannah Arendt dalam Perspektif Filsafat Politik”, yang diajukan saat menempuh ujian terbuka untuk memenuhi derajat gelar doktor ilmu filsafat di perguruan tinggi itu, Rabu lalu (25/5). “Dominasi laki-laki masih terasa kental dalam hubungan komunikasi antaranggota lembaga legislatif,” ujar Hastanti.

Kemampuan nalar perempuan, lanjutnya, tidak cukup untuk dapat melakukan tindakan politis ketika duduk di kursi legislatif.  “Sebaliknya, kelebihan yang dimiliki perempuan yang lebih menguasai wilayah privat sebenarnya dapat memperkaya wilayah publik dalam merevisi pengertian kekuasaan yang selama ini identik dengan kekerasan,” ungkapnya.

Dalam pemikiran Hannah Arendt, menurut Hastanti, politik perempuan menekankan konsep tentang cinta dan kemampuan memaafkan sebagai salah satu etika feminin yang dimiliki perempuan. Adapun strategi perjuangan yang harus dikembangkan perempuan melakukan tindakan politik di ruang publik dilakukan untuk mendapatkan posisi setara dengan laki-aki. ”Dalam pandangan Arendt, kekuasaan tanpa kekerasan dan teror,” ujarnya.

Hastanti berpendapat, kekuasaan khas perempuan yang mengedepankan nilai-nilai feminin harus terus dipromosikan sebagai penyeimbang bagi dominasi laki-laki. “Bukan hanya dalam tataran konseptual, namun dalam ranah kehidupan sehari-hari,” katanya.[YUK]