Ilustrasi/affant.deviantart.com

Suluh Indonesia – September itu, 10 tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno agak gundah. Sudah sekitar 13 tahun terakhir ia berkeliling Indonesia. Jika dihitung dari awal Presiden pertama Republik Indonesia itu masuk pergerakan pada awal 1920-an, jumlah tahun itu bertambah banyak. Berpuluh tahun ia naik turun panggung, berpidato, menyalakan api semangat perjuangan rakyatnya, sering di panggung yang tak berbatas dengan khalayak.

Namun malam itu, di lapangan depan gedung Gubernuran Jawa Timur, ada jarak antara Bung Karno dengan para pendengarnya. Terlalu jauh. Ia meminta pimpinan acara membolehkan penonton lebih mendekat. “Sebab, saudara-saudara tahu isi hati bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung Karno, kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya,” kata Bung Karno.

Kokrosono adalah putra mahkota kerajaan Mandura, yang kelak bernama Baladewa, tokoh pro Pandawa yang dimatikan dalam kisah Mahabharata sebelum perang Bharatayuda berlangsung.

Acara yang dihelat Kongres Rakyat itu diberi judul, ”Apa Sebab Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila.”

Pidato Soekarno di Surabaya pada 24 September 1955 itu intinya bercerita ada empat kali perubahan sistem politik di tanah air dalam 10 tahun terakhir, namun Pancasila tak pernah diusik-usik.

“Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini, permohonanku kepada Allah SWT ialah, saudara-saudara bisa membaca di dalam dada bung Karno memohon kepada Allah SWT supaya negara Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila,” kata Soekarno, dalam acara yang diselenggarakan hanya empat hari sebelum pemilihan umum memilih anggota DPR dan tiga bulan sebelum Pemilu Konstituante itu.

Bung Karno meminta rakyat tidak memperdebatkan Sang Merah Putih sebagai bendera Republik Indonesia. Bapak Bangsa itu juga berkata jika meninggal nanti, cukup bahagia karena tatkala hidup di dunia ikut andil ikut membentuk negara republik Indonesia, membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia.

“Negara yang bernama Republik Indonesia itu, adalah wadah untuk masyarakat Indonesia dari sabang sampai marauke. Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka ragam, beraneka adat-istiadat, beraneka suku.”

Baca juga Merajut Kebhinekaan, Pancasila Harus Jadi Pedoman

Anggur Tua dalam Botol Baru

Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, sebuah gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Seperti ditulis Yudi Latif, Bhinneka Tunggal Ika; Suatu Konsepsi Dialog Keragaman Budaya, nama Indonesia sebagai proyek nasional memang baru diperkenalkan sekitar 1920-an, seperti tercatat dalam pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) dimana Bung Karno terlibat, atau Sumpah Pemuda. Tetapi mereka bukan muncul dari ruang hampa. Akar pada tanah air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang menyertainya ribuan tahun telah hadir di Nusantara.

Secara geopolitik, Negara Republik Indonesia, seperti pernah dikatakan oleh Soekarno, adalah “negara lautan” (archipelago) yang ditaburi oleh pulau-pulau, atau dalam sebutan umum dikenal sebagai “negara kepulauan”. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Di antara lautan dan daratan itu, konsep kewilayahan Indonesia tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat, oleh karenanya, bangsa Indonesia merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.

Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Menurut A. Syafii Ma’arif (2011), sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini.

Para pendiri negara juga mencantumkan banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang keberagaman. Salah satu pasal tersebut adalah tentang pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Bhinneka Tunggal Ika mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman.

Pada Peringatan Hari Pancasila tiga tahun lalu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengatakan Pancasila terbukti mampu menjadi rujukan bersama yang memungkinkan berbagai kelompok dapat hidup dalam Bhinneka Tunggal Ika.

“Bhinneka Tunggal Ika ini adalah corak sosial paling stabil dari bangsa Indonesia,” kata Megawati, saat memimpin upacara peringatan hari lahirnya Pancasila di Tugu Proklamasi, Jakarta, 1 Juni 2013.

Pancasila disebutnya menekankan pada titik-titik persamaan nilai dan praktek sosial yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan aneka suku bangsa dan agama di Indonesia. Nilai-nilai dan praktek sosial ini telah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk sebagai sebuah bangsa.

Seperti diungkapkan lewat sejarah banyak bangsa, menurut Megawati, kegagalan dalam mengelola kemajemukan bisa berakibat pada kebangkrutan politik berupa bubarnya negara. Belum lagi hancurnya kemanusiaan yang merupakan nilai etis tertinggi yang harus dicapai semua peradaban.

Bhinneka Tunggal Ika bisa dicari akarnya dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad XIV (era Kerajaan Majapahit). Tantular seorang penganut Buddha Tantrayana, namun hidup aman dan tentram dalam kerajaan Majapahit yang bernafaskan agama Hindu.

Proklamator dan  Wakil Presiden  Pertama RI, Mohammad Hatta, secara tegas mengatakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ciptaan Bung Karno. “Setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 11 Pebruari 1950.”

Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan itu disisipkan di pita yang dicengkram kaki-kaki Garuda.

Baca juga Sang Garuda Pancasila

Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya, dan bahasa.

Kapal Udara Kebhinnekaan

Bung Karno terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara.

“Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden, rakayat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong-borong darah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Republik Indonesia, agamanya Kristen,” kata Bung Karno.

Ia terbang lagi, ke Sibolga, yang penduduknya beragama Kristen. Terbang lagi ke Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan, yang mayoritas beragama Islam. Demikianlah pulau di Jawa, kebanyakan penduduk beragama Islam, di sana Kristen, di sini Kristen. Terbang lagi kapal udara itu ke Banjarmasin, kebanyakan Islam.

Di Banjarmasin dan Samarinda Bung Karno bertemu utusan-utusan dari suku Dayak, rakyat Dayak yang sembilan hari sembilan malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia itu. Agama mereka seperti leluhurnya.

“Benar apa tidak perkataanku, Saudara-saudara, bahwa Bangsa Indonesia adalah beraneka agama? Bahwa bangsa Indonesia ini beraneka adat-istiadat, beraneka suku pula. Beraneka suku, beraneka agama, beraneka adat-istiadat,” tegas Bung Karno

[Didit Sidarta]

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 7 November 2016)