Koran Sulindo – Tepat tujuh tahun yang lalu konflik Suriah meledak menyusul Arab Spring yang menyapu Timur Tengah. Setelah Tunisia, Mesir, Libya lalu Yaman, giliran Suriah dilanda aksi protes besar.
Mengutip narasi standar Barat, kebrutalan pemerintah Bashar al-Assad adalah satu-satu pihak yang harus bertanggung jawab. Dan untuk itu tidak ada jalan lain, Assad harus mundur sama seperti Ben Ali di Tunisia atau Husni Mubarak di Mesir.
Jika Assad menolak, ia bakal menemui nasib seperti pemimpin Libya, Moammar Gadafi.
Di Suriah, benar ada ketidakpuasan meluas namun tanpa campur tangan Barat dan sekutu regionalnya ketidakpuasan itu jelas bisa diatasi tanpa perlu banyak pertumpahan darah.
Menghadapi tuntutan langsung dari orang-orang Suriah, pemerintah Assad menunjukkan itikad untuk kompromi. Pada akhir Maret 2011, BBC melaporkan pemerintah setidaknya telah membebaskan lebih dari 200 tahanan politik. Juga amnesti yang diumumkan bulan Mei dan Juni.
Tak hanya itu, mendorong perubahan di negaranya Assad bahkan mengakui dalam sebuah pidato di televisi bahwa tuntutan reformasi itu sah adanya.
Setahun berikutnya, pada bulan Februari 2012 Assad juga meneken konstitusi baru yang mengakhiri monopoli kekuasaan Partai Ba’ath selama 40 tahun.
Pada pasal 8 dari konstitusi yang baru itu disebutkan bahwa, “Sistem politik negara harus didasarkan pada prinsip pluralisme, dan menjalankan kekuasaan secara demokratis melalui kotak suara.”
Jelas langkah ini bahkan lebih maju dibanding seperti semua tetangga-tetangga Suriah. Arab Saudi yang meski otoriter dan opresif tetap dipuji dan menikmati perlindungan permanen negara-negara Barat khususnya AS.
Meski baru pada musim panas tahun 2011 pemimpin Barat secara terbuka menuntut Assad harus mundur, pada kenyataannya perubahan rezim di Suriah telah menjadi agenda mereka dalam waktu yang lama.
Menurut bocoran kabel diplomatic yang dirilis WikiLeaks, pada awal Desember 2006, pejabat AS sudah mulai serius membahas bagaimana mengacaukan pemerintah Suriah.
Kabel dari Duta Besar AS Suriah William Roebuck mendiskusikan “potensi kerentanan” pemerintah Assad dan “kemungkinan cara untuk mengeksploitasi mereka.”
Salah satu cara yang sangat mungkin adalah menghidupkan sentimen klasik Syiah dan Sunni. Pada bagian judul Play on Sunni fears of Iran influence Roebuck menulis, “Ada kekhawatiran di Suriah bahwa orang-orang Iran aktif pada penganut Syiah, sementara kebanyakan orang miskin adalah Sunni.”
“Meski sering dibesar-besarkan, ketakutan semacam itu mencerminkan unsur komunitas Sunni di Suriah yang semakin marah pada penyebaran pengaruh Iran di negara mereka melalui kegiatan pembangunan masjid sampai bisnis.”
Merujuk pada komunike itu, tahun 2006 adalah tahun di mana Israel yang merupakan sekutu terdekat AS sedang menggelar operasi tempur di Lebanon. Namun memiliki superioritas militer, Israel gagal mengalahkan Hizbullah.
Jika Israel menginginkan kesuksesan di masa depan, aliansi Suriah-Hizbullah-Iran harus dipatahkan terlebih dahulu.
Pada sebuah wawancara televise, bekas Menteri Luar Negeri Prancis Roland Dumas menyebutkan bahwa Inggris telah mempersiapkan orang-orang bersenjata untuk dikirim ke Suriah dua tahun sebelum demonstrasi anti-pemerintah pertama kali meletus di tahun 2011.
Tentu saja, AS dan sekutunya harus berpura-pura bahwa apa yang sebenarnya kejar di Suriah adalah ‘demokrasi’. Tapi apakah mereka benar-benar menginginkan ‘demokrasi’ itu?
Setidaknya melalui reformasi yang digagas Assad atau mendukung oposisi untuk perubahan demokrasi damai dibanding pemberontakan bersenjata.
Alih-alih mengajak ke meja perundingan, negara-negara Barat justru membanjiri Suriah dengan senjata dan memfasilitasi masuknya pejuang radikal dari semua penjuru dunia.
Tercatat, biaya intervensi Barat di Suriah untuk mendongkel Assad nilainya sangat besar. Washington Post pada Juni 2015 menulis, “Dari US$ 1 miliar, operasi terkait Suriah menyumbang sekitar $ 1 dari setiap $ 15 keseluruhan anggaran CIA. Pejabat AS mengatakan bahwa CIA melatih dan melengkapi hampir 10.000 pejuang yang siap dikirim ke Suriah dalam beberapa tahun terakhir.”
Pada saat yang sama, upaya untuk menyelesaikan konflik secara diplomatis berkali-kali disabotase oleh desakan bahwa “Assad harus mudur” seperti rencana yang digagas Sekjen Kofi Annan pada tahun 2012.
“Rencana perdamaian Annan mendapat tanggapan positif dari kedua belah pihak pada akhir Maret, namun AS secara terbuka menjanjikan jutaan dolar bagi Tentara Pembebasan Suriah; untuk peralatan militer, gaji tentara dan menyuap pasukan pemerintah untuk membelot. Dengan kata lain, mereka ketakutan bahwa perang saudara mereda dan memutuskan untuk melembagakannya,” tulis Dan Glazebrook di Harian Al-Ahram.
Pendekatan ini jelas menjadi standar khas betapa munafiknya negara-negara Barat. Sementara mereka memperingatkan bahaya terorisme garis keras Islam di dalam negeri, mereka memanfaatkan keuntungan yang dibuat oleh kelompok serupa di Suriah.
Sebuah laporan rahasia AS yang diumumkan pada Agustus 2012 mengakui bahwa “Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan Al-Qaeada Irak (AQI) adalah kekuatan utama yang mendorong pemberontakan di Suriah.”
Laporan itu juga mengatakan bahwa “AQI mendukung oposisi sejak awal sekaligus meramalkan pembentukan kerajaan Salafi di Suriah Timur.”
Hanya dengan intervensi Rusia pada bulan September 2015 saja, Suriah yang sekuler dan mengkomodasi semua golongan terbukti menjadi satu-satunya game changer.
Intervensi secara efektif membendung kemajuan pesat ISIS di Suriah sekaligus membuat AS dan sekutu-sekutunya menyerah dengan keinginan mengubah rezim.
Tapi apakah mereka akhirnya membiarkan pasukan Suriah yang dibantu Rusia dan Iran mendapatkan kembali kendali wilayah-wilayah yang hilang oleh kelompok-kelompok militan. Tidak, karena mereka masih terus mencari peluang.(TGU)